Hijaubiru

Jumat, 01 September 2023

Jalan ke Kebun Raya Mangrove Gunung Anyar
September 01, 2023 2 Comments

 


(Di-update 2025) Bicara soal wisata, Surabaya bukan termasuk pilihan pertama untuk wisata alam. Kota-kota sekitarnya macam Malang atau Mojokerto alamnya jauh lebih bagus. Maka ketika dengar ada kebun raya di Surabaya, saya sempat mengernyitkan kening. ‘Surabaya sebelah mana yang tanahnya cukup luas buat dijadikan kebun raya?’

 

Usut punya usut, ternyata ini bukan kebun raya biasa tapi kebun raya mangrove. Artinya lahan hijau ini berlokasi di tepian pantai yang banyak ditumbuhi pohon mangrove. Oh, masuk akal kalau gitu, sebab Kota Pahlawan ini memang sudah lama punya hutan mangrove seperti Mangrove Wonorejo atau Mangrove Gunung Anyar. Tempat terakhirlah yang kemudian dijadikan Kebun Raya Mangrove Surabaya. Jadi memang bukan tempat yang 100% baru, tapi dinaikkan statusnya (dari hutan biasa jadi kebun raya) dan ditambah fasilitasnya.

 

Kebun Raya Mangrove Surabaya baru dibuka akhir Juli 2023 ini. Mungkin lebih tepatnya re-opening kali, ya, sebab sebelumnya tempat ini sudah ada dan dibuka untuk umum ketika masih jadi hutan/wisata mangrove biasa.

 

Rute & Transport

Mangrove Gunung Anyar letaknya di ujung timur Surabaya. Rute ke sini gampang banget. Kalau dari Raya A. Yani, tinggal lurus terus ke timur aja tanpa belok-belok. Cuma kalau pakai transportasi umum mungkin agak effort karena jalannya agak masuk. Kalau naik bemo/mikrolet kayaknya harus jalan lagi agak jauh. Soalnya waktu ke sana kemarin hanya ketemu bemo di jalan yang masih ramai. Dan itu jaraknya satu kiloan dari pintu masuk kebun raya. Kayaknya pilihan paling fleksibel ya bawa kendaraan sendiri atau pesan ojek online.

 

(Update 2025) Transpor umum:

Saat pergi ke sana lagi, sempat ngelihat feeder Wira-Wiri (semacam angkot) sampai lokasi. Jadi sekarang udah bisa pergi ke Mangrove Gununganyar pakai transpor umum.

 

 

Jangan lupa pakai masker dan semacamnya. Hutan mangrove memang adem dan penuh pohon, tapi jalan ke sananya agak berdebu. Mungkin karena kemarin saya main ke sana saat kemarau, plus saat siang ketika matahari terik banget, plus pembangunan fasumnya masih baru thus masih ada material sisa, sehingga banyak debu dan pasir beterbangan sepanjang jalan mendekati lokasi.

 

Debu, panas, pasir-pasir kuning lembut beterbangan di antara roda motor. Vibes musim kemarau banget, deh.

 

 

💡 Tips: Waktu Terbaik Mengunjungi Kebun Raya Mangrove Gunung Anyar

Berdasarkan ulasan di GMaps, pagi adalah waktu terbaik. Suasana masih adem, nggak terik, dan perjalanan ke lokasi pun nggak kepasanan. Dipakai jogging pun enak. Pilihan kedua adalah sore hari, tapi berisiko kurang santai dan berkejaran dengan waktu tutup.

Kalau buat selain jogging alias santai-santai aja, hari terbaik—seperti biasa—adalah hari kerja karena lebih sepi. Lebih mudah dapat foto tanpa banyak orang lain dan santai milih duduk di gazebo mana pun.

 

 

Kenapa kami milih ke sini siang-siang, padahal tempat ini pagi pun sudah buka?

Kami berangkat jam 9-10-an di hari kerja, sampai lokasi sekitar 45 menit kemudian. Alasannya karena waktu itu ada keperluan dulu aja, sih. Dan kalau berangkat pagi, pertimbangannya adalah jalanan bakal penuh orang yang berangkat sekolah atau kerja. Jadi milih agak siangan meski kepanasan di jalan.

 

 

Tiket dan Parkir

Untungnya, di lokasi nggak kepanasan. Dari jalan umum ke titik parkir, ada banyak pohon Casuarina (cemara laut) yang hijau dan rimbun di kanan-kiri. Aroma khas air laut yang asin sudah tercium dari sini. Setelah beberapa ratus meter dan melewati rusun Gunung Anyar, sampailah kami di tempat parkir yang nampak baru dan kering. Di selatan tempat parkir tampak gundukan yang awalnya saya kira sedang ada pembangunan. Setelah ngelihat lebih teliti, ternyata itu adalah TPA/Tempat Pembuangan Akhir.

 

Jarak tempat parkir mobil/motor ke gerbang masuk dekat banget. Sekitar 30 meter. Setelah diberi karcis parkir (Rp5.000,00/motor, mobil Rp10.000,00 kalau nggak salah), kami pun berjalan ke arah kanan dan masuk ke gerbang.

 

Berapa harga karcis masuk Kebun Raya Mangrove? Kurang tahu. Waktu itu kami langsung disuruh masuk tanpa bayar karena masih dalam rangka reopening.

 

Harga karcis (update 2025): Rp5.000,00/orang

Di loket masuk juga bisa milih wahana apa aja yang ingin dinaiki (karena bayarnya sekalian di sini, bukan di titik wahana). Ada ATV, sepeda air, perahu, dan (semacam) golf cart. 


Seperti layaknya hutan dan kebun raya, Mangrove Gunung Anyar ini juga sejuk meski letaknya nggak jauh dari bibir pantai. Kesejukan itu sudah dirasakan sejak sebelum gerbang. Pohon-pohon cemara laut dan mangrove yang rimbun membuat suasana siang Surabaya yang terkenal sumuk pol (baca: panas sekaliii) menjadi lumayan adem.

 

 

Di Dalam Kebun Raya

Dari gerbang masuk, rute jalan-jalan bisa dimulai dengan belok kanan ke arah hutan/jogging track kayu. Sebelum itu, di kanan track ada toko merchandise. Pengelola juga memajang peta lokasi lengkap dengan track dan spot-spot seperti gazebo, mushalla, toilet, dan menara pandang. Peta ini dibentangkan di dekat pintu masuk ke hutan.

 


 

Mushalla dan toilet terletak dekat pintu masuk. Ada satu lagi toilet yang letaknya dekat hutan cemara. Sementara itu, gazebo tersebar di sekitar jogging track dan hutan cemara laut.

 

Selain peta, pengelola membentangkan banner dengan jenis-jenis tumbuhan yang bisa dilihat pengunjung di area mangrove. Uniknya adalah yang ditampilkan nggak cuma nama dan foto bentuk tumbuhannya, tapi juga manfaatnya.

 

Takjub aja gitu. Dari banyak pohon dan semak pinggir jalan yang kayaknya “gitu aja”, ternyata manfaatnya banyak: untuk obat, pengusir nyamuk, makanan atau snack. Amazed juga karena nama lokal beberapa tumbuhan ini unik banget, bahkan ada yang jadi nama daerah. Contohnya:

  • bogem (=pukul), nama lokal pohon Sonneratia caseolaris
  • bintaro (nama daerah di Jakarta), nama lain pohon Cerbera manghas
  • gedangan (nama daerah di Sidoarjo, kota sebelah Surabaya), nama lokal Aegiceras corniculatum

 

Jadi ingat waktu pergi ke Mangrove Wonorejo. Di sana ada warung yang jual berbotol-botol sirup dari buah pidada (salah satu jenis mangrove). Rasanya kayak gimana? Sayang saya belum coba. Waktu ke Gunung Anyar ini pun alpa mengunjungi galeri oleh-olehnya karena udah kecapekan keliling.

 

Buah pidada (Sonneratia caseolaris) alias buah bogem/mangrove apple
 

Kami masuk ke kawasan hutan, yang ada jogging track kayunya. Gapura kayunya memberi kesan alami meski jelas divernis mengilap. Marka arah jalan, baik yang sekadar dicat di track maupun yang jadi plang, berwarna cerah mencolok.

 

Kami pun berjalan di antara pohon-pohon mangrove. Rimbun. Hijau. Panasnya Surabaya jadi terasa berkurang. Benarlah kalau pengin suasana adem, tanam pohon relatif lebih efektif daripada bikin naungan dari material. 

 

Awal-awal, semua masih hijau. Kita bisa menjangkau daun yang tumbuh dekat ke pagar pembatas. Namun kalau diperhatikan, ada sela/gap di pohon-pohon. Gap itu menunjukkan tanah berlumpur di bawah jembatan kayu berwarna abu-abu dan basah, khas tanah rawa pinggir pantai yang sering tergenang.

 



Di jalur awal, jogging track ini masih ada pagarnya. Namun pengunjung harus hati-hati melangkah ketika sudah agak masuk, terutama yang bawa anak kecil, karena udah nggak ada pagar pembatas. Makin masuk juga makin banyak nyamuknya. Tips: pakai pakaian panjang atau pakai lotion anti-nyamuk.

 

Pada kunjungan kedua yang bertepatan dengan di musim hujan, tanah rawa itu tergenang agak tinggi. Sempat ngelihat ada ular kecil menggelesar di perairan. Namanya juga hutan, wajar kalau banyak hewan liarnya.

 

Makin dalam, jalur jogging track ini bercabang-cabang. Untung tadi udah sempat foto peta yang di depan, jadi bisa buat pertimbangan mau ngarah ke yang mana.

 

Update 2025: udah ada beberapa gazebo kayu di area jogging track. Lumayan bisa buat istirahat pas capek meski kata beberapa teman harus hati-hati karena kadang ada ulatnya.

 

Yang menarik, beberapa pohon di sini digantungi semacam kartu nama. Kartu nama ini berisi nama latin pohon. Ini salah satu poin yang saya suka karena pengunjung jadi tahu jenis pohonnya dan ngeh bahwa meski semua pohon kelihatan sama, mereka sesungguhnya beda jenis. Mungkin mereka diberi kartu karena fungsi kebun raya juga sebagai sarana pendidikan, bukan hanya tempat rekreasi atau healing aja.

 

 

💡 Funfact!

Ternyata mangrove ≠ bakau.

Mangrove = tumbuhan di kawasan tepi laut. Jadi tumbuhannya macam-macam, beragam genus dan spesies, dan tahan hidup di air asin atau payau.

Bakau = salah satu jenis pohon mangrove, biasanya dari jenis (genus) Rhizospora.

Pendeknya, bakau termasuk mangrove; tapi mangrove nggak cuma terdiri atas bakau aja.

 

 

Galeri Pembibitan

Karena kebun raya juga punya fungsi edukasi, nggak heran kalau di sini ada beberapa fasilitas itu. Di dekat gerbang tadi di dekat mushala, ada sebuah galeri pembibitan. Bangunan serupa ruangan terbuka itu seukuran kamar. Di tengahnya ada instalasi dengan pipa-pipa dan pucuk-pucuk tunas pohon yang mencuat.

 

 

Saya nangkepnya ini mungkin buat nunjukin tahap pertumbuhan bibit pohon? Karena makin ke kanan batangnya makin tinggi/makin banyak daunnya. Mungkin kalau sudah cukup umur/tinggi, barulah dipindah ditanam ke tanah. Sayang waktu itu sedang nggak ada petugas buat ditanya-tanya.

 

Selain galeri pembibitan, di sebelahnya juga ada bangunan terbuka yang dijadikan semacam pojok baca. Bangunan yang cukup luas ini memiliki tempat duduk dan beberapa rak buku. Penasaran, saya lihat bukunya. Saya kira isinya bakal tentang mangrove/bakau/pantai dan semacamnya. Ternyata enggak; bukunya macam-macam. Nggak bertema, malah.

 

Dari majalah sampai buku panduan, ada. Dari buku lawas banget sampai yang terbit lima tahunan lalu, ada. Saya pengin nyari buku tentang mangrove atau tentang kebun raya mangrove itu sendiri. Biasanya kebun raya dan semacamnya kan bikin/nerbitin buku macam begitu. Tapi nggak nemu. Entah memang nggak ada atau saya yang kurang teliti nyarinya.

 

Oh ya, di sini juga ditempel poster hewan-hewan yang bisa ditemukan di kebun raya mengrove ini. Salah satu yang paling nggak terlupakan adalah kepiting pemanjat pohon alias tree-climbing crab. Dinamakan begitu karena mereka emang suka nangkring di pohon. Nggak tinggi-tinggi, sih. Manjatnya juga nggak sampai sedengkul orang dewasa. Tapi jumlahnya itu lho, banyak banget!

 


Hewan di Hutan Mangrove

Selain pohon-pohonan, namanya hutan tentu ada hewannya. Nah, di sini hewan yang paling sering saya lihat salah satunya adalah kepiting panjat tadi.

 

Kepiting panjat

Sejak di dekat pintu masuk, itu kepiting udah kelihatan bertengger di akar-akar napas yang mencuat ke permukaan air. Ada kali dua puluhan ekor, mungkin lebih? Gerombolan ini bakal buru-buru sembunyi ke dalam air kalau ada orang lewat.

 

Makhluk satu ini rupanya sensitif sama suara. Bahkan waktu kami ngedekatin diam-diam, pelan-pelaaan banget, mereka bisa langsung lari begitu ini sandal nggak sengaja nginjak ranting kecil. Ngerasa beruntung kemarin ke sana waktu sepi. Kalau waktu ramai, apa mungkin kami bisa ngelihat kepiting sebanyak ini? Saya sendiri bisa ngelihat kepiting sebanyak itu kalau di pasar aja, hahaha.

 

Selain kepiting, yang bikin berkesan adalah burung-burung di sana. Nggak kelihatan, sih, burungnya apa. Saya nggak tahu jenisnya apa aja. Yang saya tahu, suara burungnya beda-beda. Ngedenger suara banyak burung di dalam hutan yang semilir, berasa adem, damai, dan… nggak percaya. Ini masih di Surabaya yang rame dan sumpek banget itu, ya?

 

 

Aviary! (updated 2025)

Di tengah hutan/jogging track ada aviary atau kandang burung sekarang. Bentuknya seperti kubah atau dome. Dari agak jauh udah kelihatan.

Aviary Mangrove Gununganyar

Bentuknya yang seperti setengah bola dari jaring. Sekilas mengingatkan saya pada dome serupa di film dinosaurus Jurassic Park.

“Untung nggak ada dinosaurusnya.”

“Lha kan burung itu masih keturunan dinosaurus.”

“Oh, iya juga, ya.”

— sepenggal percakapan kami di lokasi

 

Seorang teman yang tahu kami main ke mangrove, sempat berkomentar, “Nggak kena ulat di area serimbun itu?”

Alhamdulillah enggak, sih. Dia cerita kalau dulu di lokasi yang sama pernah nemu ulat banyak. Kali ini, entah: saya yang kurang memperhatikan, atau bukan musim ulat, atau kontrol hamanya bagus, jadi saya nggak menemukan ulat yang katanya gatal itu. Syukurlah.

 

 

Hutan Cemara

Lanjut ke jalan-jalan. Apa pemandangannya cuma bakau/mangrove? Enggak, dong. Ada juga tempat yang khas pantai banget: hutan cemara. Hutan cemara ini terletak setelah jogging track.

 

Jangan bayangin cemara di sini seperti cemara-cemara beraroma pinus segar seperti di pegunungan. Enggak, cemaranya beda. Cemara di tepi laut biasanya adalah cemara laut/cemara udang (Casuarina equisetifolia).

 

Pernah dengar Pantai Gua Cemara yang ada di selatan Yogya? Di sini area cemaranya memang nggak seluas Pantai Gua Cemara, tapi kita tetap bisa menemukan pemandangan yang mirip: dahan-dahan cemara yang bertautan membentuk kanopi alami yang melengkung menaungi kita dari panas pesisir.

 



Di area inilah terdapat beberapa gazebo dan tempat duduk di sepanjang jalan. Nggak banyak, tapi cukup. Ada toilet juga. Lumayan membantu karena jarak dengan toilet pertama cukup jauh (toilet ada di dekat gerbang).

 

Di ujung jalan ‘gua cemara’ ini terdapat menara pandang. Menara berkapasitas maksimal 10 orang ini bisa dinaiki untuk melihat ekosistem mangrove dari atas. Memang nggak tinggi banget, pun nggak sampai kelihatan laut, tapi cukuplah. Bila cerah, pegunungan nun jauh di Kab. Malang bisa kelihatan mengintip dari balik rimbun hutan mangrove.

 

“Harusnya kita bawa makanan, ya, biar bisa piknik,” ujar partner jalan saat itu.

 

“Atau bawa buku. Cozy banget kayaknya duduk-duduk bawah gazebo sambil baca,” saya menanggapi.

 

Maka di kesempatan selanjutnya, kami pun bawa sedikit jajan dan air minum. Namun saat itu kami nggak piknik karena aroma guano (kotoran burung) yang menyengat.


Keluar dari hutan cemaran dan kembali ke arah gerbang masuk, di sebelah kanan ada sungai dengan perahu yang siap mengantarkan wisatawan menyusuri perairan. Waktu itu di sebelah kanan ada bagian yang sedang dalam pembangunan, entah apa. Sementara di sebelah kiri ada Science Centre dan kantin. Penasaran sama kuliner Surabaya? Bisa sekalian coba menu rujak cingur di sini.

 


Reading Time:

Jumat, 18 Agustus 2023

Berkunjung ke Gua Selarong: Markas Perang Jawa dan Diponegoro
Agustus 18, 20230 Comments

 



Sebenarnya kunjungan ke sini udah lama, beberapa tahun lalu. Namun karena kayaknya momennya pas: saat Agustusan, well, here we go. Mari berkunjung ke jejak salah satu pahlawan nasional yang terletak di Yogyakarta dan nggak ramai serbuan turis.

 

Saat dengar kata “Selarong”, yang saya ingat adalah Pangeran Diponegoro. Nggak tahu kenapa, nama ini melekat di memori bersama dengan dua wilayah lain yang pernah jadi tempat persembunyian Diponegoro saat Perang Jawa dua abad lalu.

 

Saya masih ingat bunyi teks di buku paket, 

... Pangeran Diponegoro dan pasukannya lalu bersembunyi di Selarong, Pleret, Dekso ...


Mungkin, karena nama mereka menjadi soal yang diujikan dalam ulangan. Mungkin juga karena nama-nama itu terasa tak biasa dan baru di telinga saya yang kala itu masih SD. Jadi, nggak sengaja malah tersimpan di memori.

 

Selarong, Pleret, dan Dekso adalah beberapa wilayah yang terletak di Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Ketiganya pernah jadi tempat persembunyian Pangeran Diponegoro dan pasukannya saat Perang Jawa (1825-1830). Pangeran dari Yogya yang juga pernah menjadi santri ini berpindah-pindah agar pasukannya tak terendus pasukan Belanda.

 

Kalau sekarang, Gua Selarong terletak di selatan ringroad Yogya. Nggak selatan juga, sih, tapi agak ke barat. Waktu itu saya dari ringroad timur, begitu belok ke ruas ringroad selatan, nggak jauh kemudian putar balik untuk masuk kampung di selatannya. Dari situ tinggal ikuti Google Maps.

 

Jalannya menuju destinasi lewat jalur Google Maps relatif bagus. Seingat saya, masuk jalan kampung/desa yang di sisinya rumah-rumah dan sawah, baru kemudian masuk ke ruas jalan lintas desa yang mulai jarang rumah dan banyak hutan (jati/sengon? Lupa). Jalannya aspal halus. Di beberapa ruas jalan memang agak naik, tapi bukan yang nanjak tajam. Ada beberapa tikungan tajam, tapi nggak yang ‘tajam banget’ macam kalau ke Mangunan.

 

Setelah lihat peta, baru nyadar kalau letaknya nggak terlalu jauh dari sentra gerabah Kasongan. Tapi rasanya udah jauh. Apa karena lokasinya yang dikelilingi banyak pohon dan nggak terletak di jalan raya besar?

 

Dari jalan aspal, Gua Selarong ada di sisi kanan. Kalau nggak salah ingat, masuk dulu baru kemudian terlihat tanda selamat datang. Bayar masuknya sekitar Rp5.000,00/orang plus biaya parkir per kendaraan (lupa berapa, tapi standar, bukan yang mahal banget).

 

Dari parkiran, tampak tulisan besar-besar “GOA SELARONG” dengan cat oranye menyala.

(Jadi yang benar ‘goa’ atau ‘gua’? Di KBBI pakai ‘gua’, tapi di masyarakat lebih biasa pakai ‘goa’ kayaknya)

 

Plang dan infografis  Gua Selarong, oleh dinas setempat dan program KKN mahasiswa
(klik untuk baca dalam ukuran lebih besar)

Seperti umumnya daerah di selatan Yogya agak ke barat, area ini sekilas seperti kering. Khas area pegunungan kapur. Banyak tumbuhan, tapi suasananya kayak kering. Singkapan tebing yang terbuka berwarna putih kecoklatan. Tanahnya pun berwarna coklat muda sekali, mengingatkan pada pasir pantai putih.

 

Dan, karena saya berkunjung ke sini saat musim kemarau, maka hawanya beneran kering. Sepanjang jalan tadi, pohon-pohon jati mulai meranggas. Seresah kekuningan di mana-mana, yang kalau diinjak bunyinya renyah sekali kayak suara kerupuk.

 

Menurut sumber online, ada air terjun kecil di area ini. Kalau dilihat dari foto, letaknya di sebelah kanan, setelah parkiran atau sebelum gua/tangga naik. Alirannya nggak terlalu deras, jatuh dari pinggir tebing kemudian langsung ke aliran sungai kecil di bawahnya. Sayang banget kami nggak bisa ngelihat air terjun itu di kunjungan kali ini. Sebabnya, sumber airnya hanya ada di musim hujan dan kering saat musim kemarau. Jadilah kami cuma bisa melihat jejak-jejak alirannya yang memahat bebatuan.

 

Satu hal yang menjadi surprise: ternyata guanya banyak.

Hal kedua yang jadi surprise: tangganya juga lumayan banyak.

 

Pengunjung harus menaiki terundak demi terundak untuk mencapai gua. Pertama dilihat, wah, tinggi juga. Apalagi jalurnya lurus ke atas, mengingatkan pada tangga menuju langit di film-film kartun.

 

Nggak lebih dari 15 menit meniti tangga (dengan sedikit menggeh-menggeh, haha), akhirnya kami sampai di kompleks gua. Saya sebut kompleks karena itu tadi: guanya ternyata banyak. Yang disebut gua adalah ceruk-ceruk yang masuk ke bawah tebing-tebing batu keras. Pintu masuknya pendek, tak sampai setinggi pinggang orang dewasa. Bayangan saya tentang gua persembunyian pun buyar.

 

Awalnya, saya kira Gua Selarong hanya terdiri dari satu gua yang masuk panjang ke dalam. Bahkan mungkin sampai bisa ada sekat-sekatnya seperti di komik Swiss Family Robinson yang pernah saya baca dulu sekali. Sampai sini barulah saya tahu bahwa gua itu bentuknya macam-macam. Berbeda dengan bentukan dalam komik (dan imajinasi saya), di sini guanya lebih seperti ceruk, ada banyak, dan sekilas terlihat tak terlalu dalam. Ada yang pojok-pojoknya bisa terlihat dari luar. Jadi bentuknya lebih kayak sebuah ruangan. Apa ada yang masuk sampai dalam banget? Kurang tahu, karena saya nggak masuk ke gua, cuma ngelihat dari luar aja. Lagipula, ada beberapa gua yang diberi gapura dan tampak ada beberapa barang di mulut guanya, jadi saya kira itu adalah area off-limit untuk pengunjung.

 

Ide berkunjung ke Gua Selarong sebenarnya bukan keinginan yang baru. Beberapa tahun sebelumnya sudah pengin ke sana, tapi perlahan lupa. Siang itu, waktu pengin jalan-jalan dan bingung ke mana, langsung kepikir ke Selarong aja. Lagipula saat itu saya lagi di tengah kota Yogya. Meski masih jauh, tapi nggak terlalu jauh kalau dibandingkan saya jalan dari Kaliurang, misalnya. Dan karena siang itu waktu kami terbatas dan emang niat untuk lihat-lihat aja (bukan yang menikmati banget atau ndelumuk ngamatin banget), jadi ya gas aja. Paling enggak, satu tempat tujuan sudah tercoret dari wishlist.

 

Kenapa ingin lihat jejak Pangeran Diponegoro? Selain alasan ‘terpatri di ingatan karena soal ulangan’ di atas, saya penasaran aja. Mungkin karena beliau salah satu pahlawan nasional yang terkenal. Mungkin karena tertarik dengan background beliau yang priyayi tinggi sekaligus santri, bangsawan yang nampak agamis hingga digambarkan selalu mengenakan surban, sebuah kombinasi yang termasuk jarang ditemui. Mungkin juga karena saya merasa aji mumpung: mumpung di Yogya, bisa sepuasnya menggali kisah budaya dan cerita serta tempat bersejarah yang sebelumnya cuma bisa saya dengar dan lihat dari buku pelajaran aja.

 

Menyaksikan sebuah tempat dengan mata kepala sendiri, setelah selama ini hanya tahu cerita atau fotonya aja, serasa … menakjubkan. It was magical. Semacam ada perasaan, “Wah … dulu dia berdiri di sini, lho” atau “Oh ini toh yang selama ini diceritain”.

 

Rasanya kayak bayanganmu terwujud, berbentuk nyata di depanmu.

 

Sebelum Selarong, sebetulnya ada keinginan ngelihat keraton Tegalrejo. Konon di sinilah Pangeran Diponegoro dibesarkan. Beliau baru meninggalkan Tegalrejo ketika Belanda menyerang keraton itu. Di peta, nama “Tegalrejo” masih ada, menjadi nama sebuah kecamatan di Kota Yogya. Di mana istana atau bekasnya? Menurut seorang petugas Keraton Yogya yang sempat saya tanya saat berkunjung ke keraton, istana Tegalrejo menjadi bangunan milik TNI sekarang. (Setelah ngecek lagi, ada yang bilang bahwa sudah jadi museum sekarang—Museum Sasana Wiratama—, bahkan bekas tembok yang dijebol Pangeran Diponegoro waktu nyelamatin keluarganya saat dikepung Belanda, masih ada.)

 

Gua Selarong termasuk markas utama pasukan Pangeran Diponegoro. Keluarganya pun turut tinggal di sini. Ada dua gua paling utama di area ini: Gua Kakung dan Gua Putri. Konon, Gua Putri adalah tempat tinggal untuk istri sang pangeran. Mungkin, karena sebagai tempat persembunyian, maka ‘pintu’ masuk guanya rendah-rendah. Supaya nggak mudah ditemukan meski di ketinggian, mungkin? Meski tentu hutan zaman itu yang lebih lebat daripada sekarang cukup bisa menyembunyikan. Dari ketinggian gua ini, terlihat dataran di selatan Yogya yang menghijau.

 

Pemandangan di Yogya bagian selatan


Perang antara Belanda vs Pangeran Diponegoro, yang dikenal sebagai Perang Jawa/The Java War/Java Oorlog dikenal sebagai salah satu perang yang membuat Belanda kalang kabut. Kerugian banyak, habis dana banyak. Kabarnya, Belanda sampai menarik pasukannya di Sumatra (yang sedang memerangi pasukan Tuanku Imam Bonjol *cmiiw) untuk bala bantuan.

 

Area Yogya sekitarnya menjadi arena pertempuran. Termasuk daerah Menoreh, yang sempat dibahas di postingan sebelumnya waktu main ke Punthuk Setumbu—dekat Candi Borobudur. Area utara Menoreh, yang termasuk daerah Kedu (sekarang Magelang), menjadi saksi penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda sebelum beliau ditawan di Batavia (penjaranya di Kota Tua Jakarta) kemudian dibuang ke Makassar.

 

Seperti cerita-cerita sejarah lainnya, selalu ada sisi abu-abu dalam setiap kisah. Pun tentang perjuangan Diponegoro dan pasukannya. Mungkin sebagian kita tahunya adalah Diponegoro berperang dengan Belanda untuk kemerdekaan. Sebagian lain berpendapat bahwa perang ini dimulai dan berlangsung karena konflik kepentingan. Tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya pun, baik dari pihak Indonesia dan Belanda, tak lepas dari kemelut putih-hitam sosok manusia: ada saat menjadi heroine, ada saat menjadi villain. Seperti apa kisahnya? Wah, banyak. Apalagi, sumber dan metode penelusuran sejarahnya macam-macam. Jadi ada beragam versi.

 

Yah, hidup kayaknya memang gitu: selalu abu-abu.

 

Kenapa beragam versi dan kisah itu nggak diajarkan di buku sejarah sekolah?

Ya, karena itu tadi: banyak, panjang. Dan versinya macam-macam. Nggak cukup itu buku paket. Dan mungkin yang diberikan adalah versi ringkasnya aja supaya para siswa nggak bingung karena kebanyakan versi. Dan kalau dimasukin pun, ada beberapa jenjang yang pikirannya belum sanggup mencerna kisah yang kompleks dan pelik. Lah kita aja, orang dewasa, masih suka bingung kok kalau nemu cerita yang versinya banyak, apalagi anak kecil. 

 

Begitulah. Apa di daerahmu juga ada jejak/lokasi bersejarah yang kadang luput dari tujuan wisatawan? Sini bisikin, siapa tahu kapan-kapan kita bisa explore bareng :D


Para simbah dan dagangan mereka di dalam area
Gua Selarong: ada minuman, jajan, dan buah-buahan
seperti jambu dan ciplukan yang sudah dikupas

Reading Time:

Jumat, 28 Juli 2023

Bediding: Ketika Kemarau Justru Terasa Dingin
Juli 28, 20230 Comments

 

 

Siapa yang ngerasa akhir-akhir ini cuaca dingin meski langit cerah tanpa awan? Apalagi kalau malam. Siang boleh panas terik menyengat, tapi malam hari justru dingin menggigit. Beberapa mungkin juga merasa siang terasa adem meski matahari bersinar menyengat. Di beberapa daerah pegunungan, seperti Dieng dan Bromo, justru muncul es atau embun upas.

 

Fenomena ini disebut ‘bediding’ (atau bedhidhing) oleh orang Jawa. Bediding berarti awal peralihan musim hujan ke kemarau, ketika suhu udara justru terasa dingin. Nanti, ketika sudah betul-betul masuk kemarau, suhu sudah kembali ‘normal’ alias sudah panas lagi.

 

Mengapa masuk musim kemarau justru tambah dingin?

BMKG menyebutkan bahwa ini adalah efek angin muson dan efek ketiadaan awan.

 

Saat ini, angin bergerak dari Benua Australia ke Benua Asia sehingga melewati kita, Indonesia. Angin itu juga membawa udara dingin karena Australia sedang musim dingin sekarang. Ada yang bilang, ini juga berhubungan dengan axis alias sumbu bumi yang miring sehingga menyebabkan perbedaan musim di belahan bumi yang berbeda.

 

Sebab kedua adalah ketiadaan awan. Akibat sudah masuk musim kemarau, maka hujan dan mendung pun berkurang pesat. Tanah/bumi yang terasahangat saat siang karena disinari matahari, saat malam melepas panas yang ia terima (karena tidak ada matahari yang bikin tetap hangat). Ketika ada awan/mendung—di musim hujan—, panas yang dilepas ini akan tertahan di atmosfer bumi karena ‘tertutup’ awan sehingga suhu jadi rada mendingan. Namun, tidak ada awan/mendung saat kemarau. Panas yang dilepas bumi itu pun akhirnya betulan lepas ke luar karena tidak ada yang ‘menahan’. Akibat kehilangan panas, permukaan bumi pun jadi dingin sehingga kita—manusia yang hidup di permukaannya—ikut kedinginan.

 

Namun ini nggak berlangsung lama; hanya di awal peralihan musim aja. Kalau sudah betulan masuk kemarau, ya, panas-panasan lagi.

 

💡 Untuk yang suka main ke wilayah pegunungan, bediding jadi suatu hal yang harus diperhatikan. Memang cuacanya cerah sehingga pemandangan bakal jelas banget dan (relatif) jarang ketutup kabut atau risiko hujan, tapi dinginnya akan lebih dingin daripada suhu gunung biasanya. Karena alasan itulah tur ke Bromo yang saya ceritakan di sini mengatur keberangkatan mendekati subuh meski kami ingin lihat Milky Way dari ketinggian; karena khawatir peserta tur pada kedinginan.

 

Kala suhu rendah banget begini, di beberapa pegunungan bisa terbentuk es atau embun. Beberapa hari lalu hingga hari ini, ada berita muncul es di Bromo dan embun upas di Dieng. Fenomena ini menarik perhatian orang berduyun-duyun untuk melihat wujud es, benda yang hampir mustahil terlihat secara alami di daerah tropis yang panas. Di sisi lain, para petani pun harap-harap cemas karena embun es ini bisa merusak tanaman yang mereka budidayakan.

 

Dulu, saya heran ketika ada yang cerita soal kerusakan ini. Embun es, kan, nanti akan mencair juga. Toh nggak lama; tinggal tunggu matahari muncul dan es akan hilang. Setidaknya itu yang terjadi di Ranu Kumbolo, saat seorang teman bilang, “Ada es, lho, di rumput,” dan saya nggak menemukannya ketika keluar beberapa menit kemudian (yaa waktu matahari udah lebih naik, haha).

 

Jadi, kenapa embun es yang nanti akan kembali jadi air bisa merusak tanaman?

Apalagi tanaman yang kena, bisa jadi kering.

Lho, kan, es? Kok kering? Harusnya malah basah, dong, kan dari air?  Dulu saya bertanya-tanya kayak gini.



BAGAIMANA EMBUN ES MERUSAK TANAMAN 

Konon katanya embun upas adalah sebutan masyarakat Dieng untuk es yang muncul pada tanaman. Teman-teman saya yang nggak berasal dari Dieng tapi dari area Jateng lain juga menyebut demikian. “Upas” dalam bahasa Jawa berarti “racun”. Kata ini sudah masuk KBBI dengan makna racun dari pohon tertentu. Jadi, embun upas berarti embun yang “beracun” karena bisa merusak tanaman.

 

Ladang dan perkampungan di Dataran Tinggi Dieng,
dilihat dari puncak Gunung Prau


Embun es bisa merusak tanaman karena tanaman ini nggak terbiasa dengan suhu amat rendah. Kita bicara soal air di dalam tubuh tanaman sekarang, bukan air/es di luar yang simply nempel di permukaan. Es yang menempel di tubuh tanaman adalah sebuah indikator untuk kita bahwa suhunya lagi dingin banget. Artinya, suhu di dalam tubuh tumbuhan juga dingin banget.

 

Suhu rendah bisa membuat air dalam tubuh tumbuhan turut menjadi es, seperti embun upas di luar tubuhnya. Air dalam tubuh ini menjadi kristal es. Kristal ini bisa merusak sel tubuh. Akibatnya? Banyak. Kristal es ini bisa melukai sel dari dalam karena kristalnya yang tajam atau ‘mencepit’ sel-sel dari luar dengan bentuknya yang tidak beraturan. Ia juga bisa membuat konsentrasi internal sel meningkat karena nggak ada air (sudah jadi es). Ibarat sirup tanpa air, kental sekali, bukan. Kalau nggak salah, kata buku teks Biologi SMP/SMA inilah kondisi hipertonik. Lalu karena lingkungan sel yang terlalu ‘kental’, zat lain dalam sel bisa ikut rusak karena kondisi lagi dehidrasi alias kekurangan air. Lalu, jangan lupakan bahwa metabolisme sel sangat butuh air: untuk ‘mengalirkan’ zat, untuk mereaksikan zat, dll. Tanpa air, praktis proses metabolisme ini berhenti.

 

Metabolisme yang terhenti berarti terjadi gangguan tubuh. Kalau gangguan itu sangat kecil, mungkin bisa diatasi. Namun kalau banyak, ya, alamat tamat. 


Hal yang sama terjadi pada manusia. Di gunung-gunung tinggi bersalju, ada ancaman frostbite alias kerusakan jaringan sel, utamanya dekat permukaan kulit, akibat beku. Kalau beku/dinginnya sekujur badan, ya ... wassalam.

 

Balik ke tanaman. Tanaman yang terkena embun upas juga jadi kering karena airnya tidak ada. Airnya sudah membeku semua. Kering = nggak ada air (tersedia) dalam tubuhnya.

 

Sebagai catatan, es tidak selalu berarti basah. Konsep ini juga baru saya pahami waktu ada teman yang cerita dia harus pakai lipbalm, handbody, dan segala macam buat jaga kelembapan tubuh saat ia tinggal di negara yang sedang winter.

“Kalau nggak pakai, bibir atau kulit bisa pecah-pecah,” tuturnya.

Ia bercerita bahwa winter itu kering karena kelembapan udara rendah sekali. Memang salju/es itu dari air. Namun, itu itu juga berarti tidak ada air (atau minim kelembapan) saat winter karena sudah berubah jadi salju/es.

 

Konsep dingin basah ini sebetulnya juga bisa dilihat di Indonesia. Itulah sebabnya kalau naik atau main ke gunung, apalagi berhari-hari, disarankan pakai lipbalm karena bibir bisa dehidrasi lalu pecah-pecah. (Ketahanan orang beda-beda. Ada yang nggak pakai, baik-baik aja. Sebagian yang lain—contohnya saya—bisa pecah mengelupas bibirnya).

 

Perladangan di area sekitar Bromo-Tengger-Semeru: 
ada lahan yang belum ditanami (coklat) & sudah (hijau, bawah)
(Dan ya, securam itu ladangnya. Kalau saya pasti sehari aja
keliling ladang, ini kaki udah gempor  ðŸ˜„)


Di perladangan seperti di Dieng atau Tosari (Bromo), embun upas ini merusak tanaman kentang sehingga panen kentang menurun. Ada yang bilang batang-daun carica Dieng juga ikut kering. Sudah ada beberapa antisipasi untuk efek embun upas, seperti ditutup paranet atau diberi mist irrigation. Di negara empat musim yang memang bersuhu dingin, frost pada tanaman bisa diantisipasi dengan dibungkus atau ditanam di greenhouse. Masih ada cara lainnya juga. Beda cara, beda efektivitas, dan tentu beda cost produksi.

 

Tapi, kenapa ada tanaman yang nggak kenapa-kenapa meski kena embun upas juga, ya?

Simpelnya: karena sifat tumbuhan beda-beda. Ada tumbuhan yang tahan dingin, ada yang tahan panas. Thus, adaptasinya pun beda-beda.

 

Namun, apa yang membuat tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di tempat yang sama (say, di Dieng/Bromo), misal kentang, cemara, semak liar, ada yang mati kena embun upas tapi yang lainnya tetap hidup?

 

Kita kembali ke …

 


BAGAIMANA CARA ADAPTASI DI SUHU DINGIN 

Ada banyak cara makhluk hidup beradaptasi dengan lingkungannya, termasuk di suhu dingin. Bisa termasuk jenis adaptasi perilaku, seperti manusia yang pakai jaket tebal atau selalu makan yang berlemak. Bisa juga adaptasi bentuk tubuh (morfologi) atau proses dalam tubuh (fisiologi). Karena terlalu banyak, kita rada sempitkan ke bagian fisiologi aja.

 

Sederhananya, tumbuhan bisa tahan hidup di lingkungan beku karena dia punya metabolisme tubuh yang mengatur itu. Bisa dengan:

  • produksi zat tertentu (antifreeze agent) untuk mencegah pembekuan
  • menyetorkan nutrisinya ke bagian tertentu
  • 'menghibernasikan diri' (dorman)
  • mengurangi kandungan air dengan memindahkan ke bagian lain/melapisi tubuh dengan lilin/mempersempit permukaan
  • punya ‘sensor’ yang aktif ketika mendeteksi perubahan suhu
  • produksi enzim tertentu, dan
  • cara-cara lain yang belum dipahami sepenuhnya oleh kita, manusia. 

Mekanisme tumbuhan juga bisa beda antara mereka yang memang hidup di lingkungan dingin dan tumbuhan yang lingkungannya bisa menjadi dingin.


Adaptasi tumbuhan yang hidup di wilayah tropis, seperti di sini, beda dengan adaptasi tumbuhan yang memang hidup di negara yang dingin. Pun di negara yang dingin/4 musim, adaptasinya beda lagi dengan tumbuhan yang hidup di daerah yang hampir selalu tertutup es. Bervariasi banget. Itu baru di tumbuhan. Belum di hewan. Belum lagi di manusia.

 

Kita aja, yang sesama Homo sapiens, punya ketahanan dan adaptasi yang berbeda-beda. Padahal kita masih satu spesies. Apalagi kalau pada tumbuhan/hewan yang spesies bahkan genusnya lebih variatif lagi.


Buat apa tahu soal adaptasi beginian?

Tergantung orang/keperluannya. Kalau saya karena penasaran aja. Namun untuk orang-orang yang lebih serius, hal beginian bisa diaplikasikan untuk pengawetan makanan/benih pertanian, misalnya. Bisa juga buat memahami tanaman sehingga bisa antisipasi kalau-kalau suhu rendah, jadi tanamannya nggak rusak dan tetap bisa dipanen. Untuk antisipasi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, misalnya. Buat penggemar science fiction, bisa juga jadi 'pintu gerbang' menilik cryobiology alias pembekukan makhluk hidup untuk dihidupkan lagi. Kayak adegan di film-film: dibekukan terus hidup lagi berapa ratus tahun kemudian saat bumi sudah berubah atau saat di planet lain.



KEMBALI KE BEDIDING  

Kalau kata orang-orang tua, bediding berarti waktu ketika minyak klentik membeku. Katanya juga, ini musim pohon-pohon mangga mulai berbunga. Beberapa bulan lagi saat kemarau, buah segarnya sudah bisa dinikmati.

 

Mungkin dulu memang hal-hal seperti ini belum bisa dijelaskan. Apa hubungannya suhu dingin dengan buah mangga? Entah. Yang jelas, saat suhu berubah lebih menggigit, moyang kita memperhatikan bahwa pohon-pohon mangga mulai semerbak berbunga. Kini kita mungkin sudah tahu bahwa suhu itulah salah satu pemicu pembungaan mangga.

 

Dulu, kakek-nenek kita dan moyangnya membaca prakiraan cuaca dengan modal niteni alias memperhatikan kerutinan yang terjadi dari tahun ke tahun. Dari kerutinan inilah muncul prakiraan cuaca model lawas seperti pranoto mangsa pada masyarakat Jawa. Praktik niteni inilah yang menjadi salah satu patokan musim bertani.

 

Sekarang, dengan musim yang makin tak jelas batasnya akibat perubahan iklim cukup drastis, praktik memperhatikan tanda-tanda alam ini makin sulit dilakukan.



=====

Disclaimer:

Artikel ini bukan tulisan akademik, melainkan bacaan ringan saja. Beberapa poin bukan sesuatu yang pernah saya pelajari langsung/spesifik sehingga untuk penjelasan ilmiah silakan di-recheck ulang karena meski ada referensinya, bisa saja saya salah membaca/salah memahami sehingga salah menuliskan pula. Terima kasih!



=====


Source (linked italicised text):

Fajarlie, N. I. 2022. Kompas. Embun Es di Dataran Tinggi Dieng: Ancaman bagi Petani, Daya Tarik buat Wisatawan (kompas.tv) || Harmoko, I. W. 2021. BMKG.https://www.bmkg.go.id/artikel/?p=mencermati-periode-terjadinya-embun-upas-dan-bediding&lang=ID || Ritongga, F. N. dan S. Chen. 2020. Physiological and Molecular Mechanism Involved in Cold Stress Tolerance in Plants - PMC (nih.gov) || Simangunsong, W.S. 2023. Kompas. Embun Upas Muncul di Gunung Bromo, Suhu Capai 5 Derajat Celsius - Kompas.com || Wikipedia EN. Frost - Wikipedia || __. Cold hardening - Wikipedia || Wikipedia ID. Bediding - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas || * Terima kasih pada para dosen Thermomikrobiologi yang mengajarkan efek freezing pada sel


Reading Time: