Hijaubiru: Nature
Tampilkan postingan dengan label Nature. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nature. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Juni 2023

Bunga dan Panas
Juni 16, 2023 2 Comments

 



Sudah beberapa minggu ini cuaca terik. Jangankan hujan, mendung aja baru mampir tadi siang. Mampir doang, sebentar. Akibatnya, tumbuhan pun banyak yang mulai meranggas. Yang nasibnya lebih buruk, ya, mati. Tanaman peliharaan yang ada di pot umumnya lebih kritis karena akarnya nggak 'menjejak' tanah sehingga nggak bebas cari air. Makanya pemandangan tumbuhan hijau yang menguning kemudian kuning-kurus-kering dan mati menjadi sesuatu yang biasa (meski tetap menyedihkan) di musim ini.


Namun, nggak semua tumbuhan seperti itu. Ada juga yang malah berkembang saat suhu beranjak naik dan intensitas matahari makin menggila. Kalau tumbuhan lain mengatur tubuhnya supaya hemat air dengan meranggas (seperti jati) dsb, ada tumbuhan yang justru 'berani' untuk berkembang. Di saat tumbuhan lain cuma 'berani' menumbuhkan beberapa bagian yang krusial aja untuk sekadar bertahan hidup, justru ada tumbuhan lain yang 'dengan happy' tumbuh makin semarak dengan bunga warna-warninya.


Memangnya kenapa kalau ada yang berbunga?

Jadi gini, aktivitas berbunga adalah aktivitas ekstra. Tumbuhan berbunga dengan tujuan apa? Betul, berkembang biak. Karena bunga itu nanti akan jadi buah dan biji yang menghasilkan anakan baru. Berkembang biak, 'melahirkan' anak ini tentunya perlu energi ekstra, sama seperti manusia. Kenapa termasuk aktivitas ekstra? Karena aktivitas 'biasanya' cukup tumbuh atau bertahan hidup saja.


Jadi, kalau ada tumbuhan yang justru mau mengeluarkan energi ekstra di saat kondisi lingkungan sedang nggak bersahabat (alias, sedang panas-panasnya), dia adalah tumbuhan yang berbeda. Tentu, metabolismenya juga berbeda dengan tumbuhan kebanyakan yang justru tumbang di saat yang sama. 


Hari ini, di tepi jalan, di sebuah pot berukuran 40x40 cm, saya melihat bugenvil yang tumbuh rimbun. Bukan daunnya yang rimbun, tapi bunganya. Warna merah jambu, merah hati, dan putih berpadu di satu pot. Di balik bunga-bunga itu, barulah terlihat daun-daun hijau yang telak kalah jumlah. 


Apa cuma bugenvil yang justru berbunga saat cuaca panas? Enggak. Pernah dengar tabebuya? Bunga yang semarak sekali saat berkembang ini juga sama dengan bugenvil. Kalau nggak salah memperhatikan, saat cuaca di Surabaya sudah gerah bener, biasanya beberapa hari setelah itu bunga ini akan memenuhi sepanjang jalan raya. Contoh lain adalah jacaranda, pohon yang bunganya ungu. 


Terus, hm... apa lagi, ya?


Kenapa bunga-bunga ini justru 'bersuka-cita' saat suhu lingkungannya memanas? Penjelasan paling sederhana adalah karena iklimnya cocok; mereka memang suka cuaca panas. Penjelasan lainnya adalah metabolisme tubuhnya justru semakin optimal saat cuaca panas. Entah bagaimana caranya. Saya juga lagi cari-cari, tapi belum nemu.


Kalau sudah nemu alasannya, bakalan di-update di sini 😁 

Atau barangkali ada yang sudah tahu? 


========== 

Poin kedua ini baru terpikirkan belakangan, saat tulisan ini sebenarnya sudah selesai. 


Mengapa pohon tabebuya justru berbunga di musim kemarau, padahal di saat yang sama pohon jati sampai menggugurkan daun-daunnya untuk bertahan hidup? Atau, kenapa bugenvil yang 'cuma' semak, bukan pohon yang sturdy, juga justru bisa berkembang dibanding jati yang kuat?


Saya pernah nemu sebuah ilustrasi dengan beberapa pot tanaman di situ. Tanaman di tiap pot berbeda. Teks yang tertulis di bawahnya kira-kira:

Bila tumbuhan saja butuh kondisi yang berbeda-beda untuk tumbuh dan berkembang, apalagi manusia.

Aaand that hit me. 


Betul juga. Ada tumbuhan yang suka hujan, ada yang kalau kena hujan malah mati. Ada tumbuhan yang suka dipupuk X, ada yang kalau dikasih pupuk X malah mati. Bahkan tumbuhan yang satu spesies dan ditanam di halaman yang sama pun pertumbuhannya bisa berbeda karena faktor-faktor lainnya. Jadi, kenapa manusia yang juga satu spesies dan menyebar di muka bumi dengan kondisi 'lingkungan' yang berbeda-beda, sering disama-samakan?


Oke, memang ada standar tertentu yang bisa (tidak harus) digunakan untuk 'mengukur' tanaman. Misal, rendemen berapa baru boleh dipanen/dijual. Tapi, itu, kan, tanaman komoditas yang memang diperdagangkan? Manusia, kan, bukan.


Ilustrasi di atas (thanks to siapa pun pembuatnya, maaf saya lupa siapa/nemu di mana) terasa sangat uplifting. Seringkali kitamungkin tepatnya sayasuka membandingkan diri-sendiri dengan orang lain. Nggak apa-apa kalau sekali-kali dan tujuannya untuk melecut diri untuk lebih baik. Tapi kalau terlalu sering sampai ngerasa rendah diri dan tertinggal sekali, juga nggak bagus, bukan? 


==========

In frame: bunga kertas / bunga zinnia / Zinnia sp. 

Reading Time:

Jumat, 13 Januari 2023

Lone Tree si Perintis
Januari 13, 20230 Comments



Pohon di atas mencuri perhatian saya. Di padang pasir Bromo yang begitu luas, ia tumbuh sendirian; tunggal. Tanpa teman. Di dekatnya hanya ada rerumputan dan alang-alang. Pohon serupa berjarak beberapa puluh (atau ratus?) meter jauhnya.


Kenapa pohon di sini sedikit banget? 

Bukannya ini area pegunungan, yang seyogyanya punya banyak pohon? Apalagi tempat ini dikelilingi hutan-hutan berpohon tinggi, ya hutan yang dilalui pengunjung sebelum turun ke Lautan Pasir. Namun, mengapa justru “cuma” rumput-rumputan yang ada, kontras dengan hutan yang dilewati?


[ Sebelum itu, disclaimer: ada banyak padang rumput hijau di beberapa sisi, contohnya di Bukit Teletubbies. Begitu juga dengan pohon. Tapi, saya bahas yang sisi ini aja: sisi yang minim pohon dan didominasi rumput/semak. ]


Sebetulnya bukan hal aneh kalau Lautan Pasir ini minim pohon dan justru didominasi rumput serta ilalang. Sebab, area ini terletak dekat dengan kawah gunung berapi, apalagi masih aktif. Gunung berapi aktif kadang memuntahkan material super panas ke area di sekitarnya. Logikanya, dengan suhu yang sangat tinggi, kecil kemungkinan ada makhluk yang bisa hidup di tanah itu.


“Tapi, kan, tanah/pasirnya sudah nggak panas?”

True, tapi, selain suhu, ada banyak hal yang bikin tanaman nggak mudah tumbuh. Jenis tanah dan ketersediaan zat hara/air, misalnya. Kebutuhan-kebutuhan seperti itu belum tentu tersedia di lingkungan yang cukup ekstrem. Akibatnya, nggak sembarang tumbuhan bisa tumbuh di sana. Mayoritas tumbuhan yang bisa ditemui hanyalah rumput, ilalang, atau semak. Mereka yang bisa hidup di lingkungan ekstrem inilah yang disebut dengan tumbuhan perintis (pioneer plant).


Mereka disebut perintis karena merekalah yang pertama ada dan menghuni tempat-tempat yang terhitung ekstrem. Merekalah jenis-jenis yang tahan lingkungan keras dan survive di sana. Keberadaan tumbuhan perintis bikin tempat-tempat yang ekstrem perlahan-lahan menjadi “layak huni” bagi makhluk hidup lainnya (ataupun sesama tumbuhan yang nggak sekuat mereka).hb 


Sebenarnya, organisme perintis nggak cuma tumbuhan. Makhluk yang pertama-tama merintis tentu makhluk yang sama yang dulu membuat bumi jadi layak huni seperti sekarang; makhluk bernyawa yang ditengarai muncul paling pertama ketika bumi terbentuk: organisme bersel satu. Contohnya bakteri. Setelah ada bakteri dan sejenisnya, pelan-pelan muncul makhluk primitif bersel banyak, menyusul kemudian jenis lumut, lalu tumbuhan, lalu hewan dan manusia.


Makhluk hidup paling sederhana muncul lebih dulu, disusul makhluk hidup lebih kompleks kemudian. 


Gimana bisa organisme bikin lingkungan jadi lebih habitable buat organisme lain?

Mudahnya, dengan menghasilkan sesuatu yang “bisa dimakan” organisme lain. Alurnya begini: “gizi” di lingkungan ekstrem hanya bisa dimakan mikrobia. Setelah dimakan, gizi ini berubah jadi zat lain yang hanya bisa dimakan (misalnya) lumut. Nanti sama aja, lumut bakal menghasilkan zat yang bisa dimakan tumbuhan, dst.


Mirip rantai makanan gitulah. Kalau ingat istilah zaman sekolah, di pelajaran IPA atau Biologi, inilah contoh nyata suksesi secara ekologi. 


Zat yang dihasilkan tadi nggak cuma untuk dimakan, tapi juga bisa membuat lingkungan yang keras menjadi cukup “lunak”. Dengan lingkungan yang lebih enak, tentu makhluk hidup juga lebih suka (dan bisa) hidup di sana. 


Mirip dengan tempat-tempat ekstrem yang sekarang ada, seperti di area Bromo tadi. Bila diperhatikan, area yang mendekati puncak tampak gundul. Hanya ada pasir di sana. Kadang diseling sejumput rumput yang tampak kering. Agak ke bawah, ke tempat yang lebih “layak huni”, rumput-rumput ini mulai banyak terhampar, kadang diselingi semak-semak. Kemudian ada pohon-pohon tunggal seperti pada foto.



Pohon pada foto—jika benar tumbuh sendiri dan bukan sengaja ditanam—termasuk tumbuhan perintis. Jenisnya adalah salah satu yang bisa survive di Lautan Pasir, bersama dengan rumput dan semak lain. 


Kenapa bisa menarik perhatian, kan, cuma pohon?

Mungkin ini personal. Dari segi foto, objek tunggal di antara padang bisa lebih eye-catching. Dari segi tumbuhan, kemampuan bertahannya menarik. Kalau cuma rumput dan sejenisnya, mungkin saya akan ngerasa biasa aja. Secara struktur sel mereka lebih sederhana. Pohon punya struktur yang lebih rumit. Biasanya yang rumit-rumit gini kebutuhannya juga rumit. Jadi, ketika dia punya kebutuhan yang ribet tapi bisa hidup di lingkungan yang super sederhana, tentu dia punya keistimewaan tersendiri.


Ibarat kagum ngelihat orang yang akhirnya sukses setelah berjuang merangkak dari bawah banget tanpa punya priviledge apa-apa. 


Meski, ya, pohon tadi bukan berarti tanpa priviledge juga. Makhluk-makhluk penghuni tempat ekstrem ini biasanya justru punya mekanisme tubuh khusus yang bikin mereka bisa survive


Ketika di lokasi, saya nggak begitu memperhatikan itu pohon jenis apa. Kalau menilik dari foto dan fotonya diperbesar, kayaknya tipe daunnya mirip tumbuhan jenis Leguminosa (?)(* CMIIW). Kalau betul jenisnya itu, nggak heran, sebab banyak jenis Leguminosa yang jadi tumbuhan perintis. Contoh Leguminosa paling umum, ya, kacang-kacangan. Contoh lain kayak kembang merak, lamtoro (petai cina), atau saga.


Leguminosa kondang dengan kemampuannya mengikat nitrogen. Nitrogen yang sudah “diikat” bisa meningkatkan kesuburan tanah. Kalau tanah yang tadinya nggak subur berubah jadi subur, bakal lebih banyak tumbuhan yang bisa hidup di sana. Ini konsepnya sama dengan zat yang dihasilkan dan dimakan (bak rantai makanan) tadi.


Kalau ngelihat beberapa gunung lain, pemandangan puncaknya punya pola yang mirip. Hanya ada sedikit kehidupan di puncak. Pernah pergi ke dekat kawah gunung berapi atau hiking ke puncak gunung yang cukup tinggi? Coba perhatikan bagian puncaknya. Dari jauh, gunung-gunung itu memang kelihatan hijau banget; asri banget. Namun, ketika sampai di titik teratas, hanya rumput atau semak di seantero mata memandang. Kadang, ada 1-2 pohon. Tak banyak. 


Mungkin karena tanahnya minim nutrisi. Mungkin karena suhunya ekstrem. Mungkin karena anginnya kencang sehingga bikin pohon gampang roboh dan rebah. Dan banyak faktor “mungkin” lainnya.


[ Puncak yang punya banyak pohon tinggi, at least yang saya tahu, adalah puncak di Gunung Argopuro. Padahal, ketinggiannya sudah lebih dari 3.000 mdpl, sedangkan gunung-gunung lain yang tingginya cuma >1.500 atau 2.000-an mdpl puncaknya gundul tanpa pohon; cuma rumput. Jadi penasaran kenapa bisa beda gitu. Faktor geografisnya mungkin? ]


Bahkan, di beberapa gunung, puncaknya blas tanpa tumbuhan sama sekali. Hanya ada pasir dan kerikil plus bebatuan. Bahkan, beberapa ratus meter sebelum puncak pun sudah nggak tampak hijau-hijauan. Biasanya yang begini ditemukan di gunung yang masih aktif, contohnya Semeru.


Kenapa gitu?

Gunung yang masih aktif bakal memuntahkan material ke daerah sekitarnya. Daerah yang kena muntahan panas, berat, dan beraneka ragam ini akan terus dihantam oleh material baru. Dihantam terus-menerus kayak gitu, tumbuhan mana yang bisa hidup? Lha wong tanahnya aja hancur begitu. 


Kecuali mikrobia atau lumut. Itu pun, nggak semua jenis mikrobia bisa hidup. Cuma jenis tertentu aja yang biasanya termasuk ekstremofil alias bisa hidup di tempat-tempat ekstrem yang nggak masuk akal macam kawah panas bergejolak atau dasar laut terdalam.  


Reading Time:

Jumat, 25 November 2022

Makan Lumut atau 'Lumut'?
November 25, 2022 4 Comments


Pic from:


Makanan itu terlihat seperti lembaran rumput laut yang sering seliweran di film-film Asia Timur. Lembar pipih, hijau, panjang, dan tampak licin. Namun ukurannya lebih kecil; hanya selebar jari tangan orang dewasa. Sekilas orang akan mengiranya sebagai lumut atau sejenis jamur aneh. 


Saya mengenalnya sebagai lumut sridempok. Kadang kami menyebutnya sebagai 'sridempok' saja. Ibu yang pertama mengenalkannya pada saya. Suatu siang beberapa bulan lalu, Ibu membuka bungkusan serupa pincuk pecel.


"Mau?" tawarnya.


Ada parutan kelapa berwarna oranye yang menutupinya. Mengira itu urap-urap/krawonan biasa, saya mengiyakan. Ketika parutan kelapa itu disibak, tampaklah 'sayuran' warna hijau gelap serupa kangkung yang direbus terlalu lama. Lha, apaan, nih?


"Ini sridempok," ujar Ibu sambil mulai menyuap. "Lumut."


Jujur, baru kali itu saya tahu kalau 'lumut' pun bisa dimakan. Kalau lumut diperas untuk diambil airnya untuk minum, saya tahu. Tapi, dimakan?


"Ini makanannya orang lawas," jelas beliau. 'Orang lawas' merujuk pada mbah-mbah saya dan para orang tua zaman dulu. "Udah jarang yang jual, nih. Jadi jarang  orang sekarang yang tahu."


Beliau mengatakan bahwa sridempok sebetulnya cukup mudah ditemui. Kalau bukan di tanah ya di permukaan batu. Ibu bahkan menemukan 'entitas' ini ketika ziarah ke pemakaman. Ia menemukan banyak yang menempel di nisan batu atau kijing semen.




Sridempok suka tempat lembap. Belakangan baru saya tahu kalau di tempat yang kering pun dia bisa tumbuh. Hanya saja bentuknya nggak akan segar seperti yang tumbuh di tempat basah, tapi akan kering agak kekuningan, mengkeret, dan akan super lengket di batu/rumput yang tertempeli. Sridempok kering lebih mirip keripik sayur.


Gimana rasanya?

Tanpa rasa. Anyep. Jadi yang terasa ya hanya bumbu urapnya. Hal yang berbeda adalah teksturnya yang jelas berbeda dengan sayur yang biasanya diurap. Sridempok punya tekstur yang agak licin dan kenyal, tapi  'kriak-kriak' bila dikunyah (apa ya istilahnya, crunchy tapi basah?). Sekilas teksturnya mengingatkan saya pada tekstur jamur kuping, tapi dalam versi lebih lembut. Dan, oh, ada sedikit hint serupa aroma lembap di ujung kerongkongan. Namun entah ini rasanya memang begini atau orang yang masak kurang ahli.


Selain kurang familiar sebagai masakan, nama 'sridempok' ini rupanya juga kurang umum dikenal. Berbekal browsing di dunia maya, rupanya sebutan ini dikenal di daerah Surabaya dan sekitarnya. Ada juga yang nyebut kalau ini makanan khas Gresik atau Sidoarjo. Namun entahlah ya, lha wong mbah-mbah Surabaya juga tahu, mungkin sridempok memang khas daerah Surabaya Raya (Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, dll)


Awalnya, saya pikir begitu. Sampai kemudian saya nemu foto sridempok di sebuah komunitas dan ternyata ia juga dikenal di daerah luar Surabaya Raya sebagai makanan. Bedanya adalah namanya. Lumut jamur, jamur lumut, jamur watu, dan jamur selo adalah beberapa sebutannya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Belum lagi kalau di daerah selain itu, mungkin namanya beda lagi. Di luar negeri, ia dikenal dengan nama star jelly (karena bentuknya kayak jeli), witch's butter, fahtsai, atau facai.


Penamaan lumut jamur, jamur lumut, dan jamur watu mungkin sudah self-explanatory. Nama 'jamur selo' juga demikian, karena beberapa orang bilang bahwa 'selo' artinya batu dalam bahasa Jawa dialek tertentu. 


Jadi, sridempok ini sebetulnya jamur atau lumut?

Atau rumput laut? 

Atau alga?

Atau bukan semuanya?


Coba tebak, hehe. Kalau dari bentuknya, memang dia mirip beberapa kategori di atas.  Namun, sebenarnya dia adalah...

BAKTERI.


Iya, nggak salah baca, kok. Serius. Sridempok/jamur watu/jamur lumut/lumur jamur/ jamur selo itu adalah bakteri. Nama ilmiahnya Nostoc commune dan dia termasuk jenis (filum) cyanobacteria. Jenis ini lebih dikenal dengan nama 'alga hijau-biru', dulu, sebab warna 'anggotanya' banyak yang hijau atau hijau kebiruan.


Jadi, dia sebetulnya bakteri, bukan alga?

Oh enggak, dia tetap bakteri. Alga adalah jenis umumnya yang lebih familiar di masyarakat. Tapi menurut klasifikasi secara biologi, dia tetap bakteri.


Kita kilas balik sebentar kenapa bisa mbulet begini, hehe. Dulu, jenis cyanobacteria ini dikategorikan sebagai alga. Karena, ya itu tadi: dia punya zat yang bikin tubuhnya berwarna hijau. Ini yang bikin dia mirip dengan alga hingga dikira sebagai alga. Bentuk selnya juga mirip dengan alga. Di kemudian hari, baru diketahui kalau ternyata cyanobacteria nggak punya membran sel yang jadi salah satu ciri alga (alga prokaryot, cyanobacteria eukaryot). Jadilah dia dimasukin ke jenis bakteri.


Cyanobacteria sendiri adalah jenis yang unik karena dianggap sebagai moyang tanaman. Tadi sudah disebutkan bahwa dia punya zat hijau bernama klorofil. Masih ingat, nggak, kalau klorofil inilah yang membuat tumbuhan bisa fotosintesis dan membuat 'makanan' sendiri? Inilah uniknya cyanobacteria. Alih-alih seperti bakteri lain yang 'memakan' mineral dsb dari lingkungan, cyanobacteria justru bisa membuat 'makanan' di dalam tubuhnya sendiri dengan fotosintesis.


Kemampuan inilah yang membuatnya dianggap jadi nenek moyang tumbuhan. Kita tahu bahwa hewan bersel satu macam bakteri adalah makhluk hidup yang pertama menghuni bumi. Nah, bakteri yang pertama punya klorofil adalah cyanobacteria ini. Tumbuhan, yang punya klorofil tapi baru muncul belakangan, adalah keturunan makhluk ini. 


Jadi, sridempok dan 'konco-konconya' adalah makhluk yang terhitung pertama menghuni bumi. Primitif dan kuno, sudah hidup sejak sebelum dinosaurus muncul. Bahkan, yang ikut mengubah komposisi gas di bumi sehingga seperti sekarang ya cyanobacteria ini. 

(Kalau penasaran gimana, bisa ditilik di video ini: PBS Eons-That Time Oxygen Almost Killed Everything)


Eh, kalau sridempok itu bakteri, apa tetap aman dimakan?

Aman, insyaallah. Asal ngolahnya benar. Karena dia nempel banget ke batu/tanah, maka membersihkan butir-butir tanah jadi tantangan tersendiri. 


Tapi, apa tetap aman makan bakteri?

Aman. Berkebalikan dengan apa yang umumnya diyakini masyarakat umum, nggak semua bakteri itu jahat. Perut kita bahkan penuh dengan bakteri (gut microbiome) yang membantu pencernaan. Bakteri juga jadi (pembantu) sumber makanan. Sebut saja keju, yoghurt, kimchi, dan beberapa makanan lainnya yang pembuatannya dibantu bakteri fermentasi. 


Oke, balik ke Nostoc a.k.a sridempok.

Beberapa sumber bahkan menyebut kalau makanan ini punya kandungan protein yang cukup tinggi karena dia bisa mengikat nitrogen (bahan baku protein) dari tanah. Tentu, ini artinya dia juga bisa jadi penyubur tanah yang kekurangan N.  


Selain sebagai makanan, bakteri ini juga punya potensi lainnya. Penyubur tanah seperti di atas misalnya. Ada juga sumber yang meneliti potensinya menyerap logam yang mencemari tanah. Nostoc bisa berperan sebagai agen bioremediasi di sini. Dan manfaat-manfaat lainnya. 






[ Sebagai catatan, 'memiliki potensi' itu artinya masih perlu diteliti lagi. Sebab seringkali dalam skala kecil bisa berpotensi, tapi bila ditingkatkan ke skala besar ada berbagai tantangan atau masalah. Entah biaya, sarana-prasarana, atau mungkin efektivitasnya kurang dibandingkan proses/organisme lainnya. Jadi, sebagai masyarakat awam, sebaiknya kita nggak langsung terpicu begitu ada yang bilang, "Tumbuhan X punya potensi sebagai anti-kanker, anti-radiasi, dsb." Jadi, harus cek lagi. Apalagi beberapa media suka membesarkan dan salah mengartikan yang dibilang perisetnya. Misal, periset cuma bilang, "Tumbuhan X punya potensi Z" tapi di media, headline-nya sudah bombastis, "Tumbuhan X Bisa Digunakan Sebagai Obat Penyakit Y." This is... misleading. Yang bisa berujung pada overproud  pembaca dsb. ]


Anyway, karena bentuk sridempok ini lumut yg sederhana banget mendekati tak beraturan, jadi susah nyari foto yang bagus karena biasanya pada sederhana bahkan nggak estetik. Saya nyoba motret sendiri pun hasilnya juga naudzubillah sekali. Cuma jepretan dijepret PHOTOGRAPHY di atas yang bagus. Jadi, kredit foto di atas adalah beliau. ]


(Soal potensi dan cerita soal Nostoc commune ini masih ada lagi sebetulnya. Dan, semuanya menarik. Tapi, belum ditulis, haha. Mungkin selanjutnya bakal dilengkapi. Semoga saya nggak lupa, hahah)




Referensi:

Boggs, J. 2020. Nostoc commune: From "The Blob" to Crusty Black Stuff. https://bygl.osu.edu/node/1580. Diakses November 2022.

Facebook Komunitas Pemburu Jamur Indonesia.

Wisanti dan N.K. Indah. 2011. Kajian Taksonomi Lumut Sri Dempok dan Potensinya. Berk. Penel. Hayati 7F: 65-68.

Dan sumber lainnya, lupa nge-list, next bakal dilengkapi 😅

Reading Time:

Jumat, 03 Juni 2022

Skill Outdoor, What For?
Juni 03, 2022 2 Comments




Beberapa hari lalu, saya ngikutin acara WJSC (Woman Jungle Survival Course) yang diselenggarakan Eiger Adventure. Acaranya online. Sebab karena masih masa adaptasi pandemi, ini juga kegiatan awal sebelum course-nya dilaksanakan offline beberapa bulan ke depan. 


Ngapain aja? Sesuai namanya, WJSC berisi materi-materi petualangan alam bebas. Ada materi kesehatan, pertolongan pertama, bikin api dan pelindung (tenda, bivak), survival botani-hewani, dsb. Pematerinya juga emang orang yang mumpuni di bidangnya. Udah khatam praktik, nggak sekadar teori. Kalau soal kesehatan ya diisi oleh dokter (tentunya yang juga suka outdoor adventure), materi soal surviving dibawakan oleh ketua tim SAR operasi tertentu. 


Materi-materi yang diberi adalah ilmu-ilmu dasar buat kegiatan outdoor.  Kalau di sispala/mapala, ini udah masuk standar minimal sistem pendidikan mereka; hal yang pertama diajarkan di materi kelas. Buat pemula atau orang yang baru nyoba naik gunung, emang berguna banget. Jadi bisa tahu gimana bikin kegiatan outdoor-nya nggak cuma fun, tapi juga aman. Ilmu macam gimana packing yang benar (dulu mikir, "Haa serius masukin baju ke tas aja ada ilmunya?" Wkwk), gimana pakai tas carrier yang benar, atau perbekalan sederhana yang sesuai kebutuhan gizi (enggak, makan mi instan doang nggak cukup buat naik gunung), dsb.


Dulu waktu pertama dapat materi kayak gini, buat saya eye-opening, sih. Jadi tahu kalau hiking/trekking yang kayaknya tinggal jalan doang ternyata butuh ini-itu biar enjoy dan aman. 


"Apa manfaatnya buat hidup sehari-hari?"

Omongan kayak gini nggak sekali-dua masuk kuping. Baik yang memang murni pengin tahu maupun yang bernada sinis, hehe. Kalau dilihat sekilas emang bermanfaat buat kegiatan yang banyak outdoor-nya ya, secara juga ilmu outdoor adventure. Tapi, kalau diambil dasarnya, menurut saya bisa aja ini dipraktikkan buat sehari-hari.


Misalnya, packing. Buat hiking, barang harus ditata rapi dan bawa barang yang diperluin aja. Pack the essentials and travel light. Kalau nggak penting ngapain dibawa? Cuma bikin berat punggung, ya kan. Masukin atau ngelipat baju pun ada cara tertentu biar lebih padat sehingga nggak ngabisin ruang yang nggak perlu. Tips ini bisa banget dipakai kalau mau travelling ke luar kota/negeri misalnya. Biar isi tas bisa maks, tapi kerasa lebih ringan ringan & gampang dibawa.


Personally, cara tadi sering saya pakai nggak cuma kalau hiking, tapi juga jalan-jalan, packing-in barang teman yang tasnya nggak muat (kemudian jadi muat!), atau sekadar nata baju di lemari biar lebih gampang diambil atau nggak gampang kusut.


Apa lagi contoh lainnya? Bikin itinerary sekaligus back up plan. a.k.a ngatur jadwal. Buat yang suka travelling, apalagi sampai berhari-hari, tentu perlu ngatur tujuan dan timing biar waktu travelling-nya bisa maksimal. "Kalau jalan-jalannya cuma sehari, nggak perlu, dong?" Lho, justru perlu, karena durasinya lebih pendek.


Contoh lain yang masih saya bawa sampai saat ini adalah nentuin barang esensial yang dibutuhkan di waktu darurat. Kalau lagi gupuh jadi udah tahu apa aja barang yang harus disamber.


Hal lain yang paling membekas dan menurut saya paling bisa dipraktikkan meski di kota adalah survival botani. Intinya ilmu ini ngajarin tumbuhan liar apa yang bisa dan aman dimakan manusia. Diajarin tuh ciri-ciri umum tumbuhan yang aman dikonsumsi/edible, gimana cara memastikan tumbuhan asing biar aman dikonsumsi. Terus masaknya gimana, batas konsumsinya berapa, dsb.


Ilmu ini sebenarnya ilmu dasarnya manusia karena sebelum kenal pertanian toh dulu kita adalah hunter and gatherer; berburu dan metik langsung dari alam. Namun, seiring berkembangnya zaman, makin nyaman kita dengan sistem pertanian dan makin detached kita dengan alam, cara ini sudah banyak yang nggak tahu. Kalau masyarakat desa biasanya masih banyak yang tahu sih karena mereka kadang masih meramban/foraging ke ladang atau hutan. Eh tapi di beberapa negara, misalnya di area Skandinavia, foraging masih umum. 


Oke, balik. Kenapa survival botani/foraging/meramban bisa diterapkan di kota? Kan kalau pengin sayur, kita bisa ke pasar atau supermarket?


Betul. Cuma, ilmu ini seenggaknya bikin kita paham bahwa sebetulnya ada banyak tumbuhan di sekitar kita yang edible dan bergizi. Tumbuhan yang kelihatan rumput liar, gulma, bahkan tanaman hias, ternyata bisa lho dikonsumsi. Awal-awal saya juga kaget ngelihat daftar tumbuhannya. Sering banget mbatin,

"Oalaaah, ini kan kalau lagi bersihin halaman suka dicabutin; dibuang"

atau

"Lho ini kan yang katanya makanan ular. Ternyata edible toh."

(padahal ular kan karnivora yak, ngapain makan tumbuhan? Wkwkw)


Kadang saya ngerasa 'sebuta' itu sama lingkungan sekitar. Mungkin karena dari kecil udah terbiasa hidangan meja makan hadir dari pasar kali, ya. Kalau metik sendiri, itu pun sayur/buah yang memang umum banget ditemukan di pasar: bayam, terung, kangkung. Mana tahu saya kalau umbut, daun sirih bumi, dan buah tembelekan bisa dimakan. Atau beberapa rumput liar yang suka saya caci-maki karena susah banget nyabutnya ternyata bisa dibuat obat herbal.


Seperti beberapa hari lalu. Nemu buah bundar hitam dari semak liar yang merambat. Crosscheck sumber beberapa kali kok kayaknya anggur hutan, tapi belum yakin. Akhirnya nanya ke famili yang tahu ilmu botani. Waktu scrolling bareng, dia nyeletuk, "Oalah, ini yang namanya 'galing'. Dulu mbah suka cerita kalau waktu muda sering makan buah galing. Aku cuma tahu nama, nggak tahu bentuknya gimana. Ternyata di halaman sekarang tumbuh liar, hohoho."


Saya terhenyak. Mbah saya tahu, tapi kami nggak tahu? Kadang, mungkin, memang seterputus itu arus pengetahuan dari satu generasi ke generasi lainnya. Sebab memang jarang atau bahkan nggak digunakan. Dianggap ilmu lama yang nggak terpakai. In some, or special, occasions of course it can be used but not for so many people in different eras; different lifestyle. 


Mungkin ini kali ya, salah satu sebab orang zaman sekarang mudah terpukau begitu ada 'penemuan baru'. Tanpa sadar bahwa 'penemuan' itu sebenarnya udah lama banget ada dan ditemukan, cuma baru sekarang tersebar kabarnya di generasi ini. Jadi kelihatan baru. Padahal enggak.


Kalau dalam konteks foraging/botani, misalnya, tersebar kabar bahwa tumbuhan X ternyata bisa menyembuhkan penyakit tertentu. Begitu viral, dianggap penemuan baru. Padahal mungkin nggak baru juga; zaman dulu juga orang lawas udah pakai itu buat pengobatan. Mungkin bahkan disebutkan di buku para tabib. Hanya saja mungkin akses informasi di zaman tsb masih terbatas sehingga ribet nurunin ilmunya ke generasi selanjutnya. (Zaman dulu kan cuma 'orang penting' yang bisa akses info/buku).


Hal yang paling sering (saya) temukan, sih, judul semacam 'Tanaman/tumbuhan liar A ternyata mengandung senyawa yang bisa mengobati kanker' dsb. Padahal, memang tumbuhan itu mengandung banyak senyawa. Secara alami sudah begitu. Coba misal vitamin C. Cari aja di rumput-rumputan. Pasti ada rumput liar yang punya vit C. Kenapa? Antara mereka juga butuh vit C atau mereka menghasilkan vit C. Hanya saja jumlahnya sedikit sehingga lebih efektif kalau kita mengambil vit C dari yang jelas-jelas kandungannya banyak, misalnya dari buah jeruk.


Jadi kalau ngebahas soal zat tertentu dari tanaman, itu sebetulnya hal yang umum. Tumbuhan yang masih sejenis pun besar kemungkinan mengandung zat yang sama. Biasanya, masalah baru timbul waktu akan diproduksi secara massal: cost effective, nggak? Kayak, percuma dong susah-susah numbuhin, nunggu panen, ekstraksi, tapi zatnya sedikit. Mending ekstraksi dari tumbuhan yang sudah jelas banyak mengandung itu atau sintesis kimia (alasan kenapa sintesis kimia itu banyak dipake karena: lebih murah! Dan time effective daripada yang herbal/non-alami). 


"Lho tapi kan bahan alam itu lebih bagus/lebih aman?"

Bisa jadi (FYI bahan sintetik belum tentu pasti bahaya, yang aman juga ada). Makanya produk organik, herbal, atau ekstrak asli dari tumbuhan itu harganya mahal. Selain karena jumlahnya sedikit, waktu tunggu dari pembibitan s.d. panen juga lebih lama. Masalahnya kan industri harus tetap bekerja dan banyak juga konsumen yang butuh harga lebih murah.


Jadi mungkin ke depannya kalau ada headline soal zat-zat itu, mungkin kita bisa lebih 'tenang' dan nggak mudah gumun karena tahu bahwa semua tumbuhan pasti punya potensi pemanfaatan. Entah ilmu pemanfaatannya sudah terkubur atau justru manusia yang belum nemu fungsinya.


Ilmu dan skill outdoor juga sama. Meski udah banyak kumpulan ilmu kegiatan outdoor di muka bumi: sejak zaman penjelajahan berabad lalu hingga era yang paling baru,  tapi akan selalu ada tambahan ilmu baru. Bak software, ada update-nya juga. Dan, personally, inilah yang bikin saya suka sesi Q&A di WJSC kemarin. Karena ada aja,

"Oh bisa ya pakai cara itu."

"Wah ada kasus yang sampai kayak gitu ya."

atau yang saya suka, tipikal daerah tropis Indonesia yang jangkauannya luas, "Oh di daerah itu caranya begitu. Tapi kalau di daerah ini nggak bisa, harus pakai cara ini."


To learn more and to explore more.

Sebab, seperti kata orang bijak, ilmu manusia kan cuma setetes dibandingkan ilmu-Nya yang seluas samudra.



=============

Foto: the suspected galing

Reading Time:

Jumat, 25 Maret 2022

Bunga Bangkai: yang Mana?
Maret 25, 2022 2 Comments

Pernah dengar bunga bangkai?

Kebanyakan orang kayaknya pasti pernah dengar meski belum pernah lihat langsung. Maklum, 'wangi' bunga ini memang semerbak dan unik karena beda sendiri. Kalau kembang-kembang lain umumnya beraroma wangi, maka bunga ini baunya super-duper nggak enak karena mirip daging busuk (katanya sih gitu. Saya belum pernah lihat dan nyium sendiri).


Orang-orang sering keliru antara bunga bangkai dan bunga yang berbau bangkai. Banyak orang mengira bahwa bunga bangkai itu ya Rafflesia sp., di antaranya Rafflesia arnoldii. Namun, bunga bangkai sebetulnya merujuk pada bunga Amorpophallus sp., contohnya Amorpophallus titanum. Apa bedanya? Beda banget, seperti gambar di bawah ini. 





Bunga bangkai (Amorpophallus sp.) berbentuk mirip lonceng terbalik. Dari dalam 'lonceng', muncul putik serupa pedang panjang yang tumbuh tinggi melebihi tinggi mahkotanya. Bunga ini punya nama lokal 'kibut'. Saat masih berbentuk umbi, sekilas kelihatan mirip banget dengan 'suweg'. Ya gimana nggak mirip, keduanya masig sama-sama famili talas-talasan.


Beda halnya dengan bunga rafflesia. Bunga ini bentuknya kayak bunga biasa yang mekar merebah dengan lingkaran di tengah. Lubang lingkaran inilah yang menguarkan aroma nggak sedap tapi sekaligus bisa menarik serangga masuk. Bunga rafflesia umumnya berwarna merah, oranye, atau coklat.


Rafflesia adalah puspa langka Indonesia, lho. Bunga ini juga jadi salah satu komponen lambang provinsi Bengkulu. Kenapa Bengkulu? Sebab, kembang ini pertama kali ditemukan di sana. Nama bunganya pun diambil dari dua anggota tim ekspedisi yang menemukannya, yaitu Thomas Stamford Raffles dan Dr. Joseph Arnold.


Raffles dan Arnold adalah warga Inggris. Raffles menjabat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda (waktu itu 'Indonesia' ditukar oleh Belanda buat Inggris sebagai imbas perang negeri-negeri Eropa zaman kerajaan. Baru setelah Perang Napoleon selesai, Indonesia 'dibalikin' ke Belanda). Pria ini juga berperan sebagai kepala ekspedisi ke Bengkulu saat itu sehingga namanya diabadikan jadi nama bunga. Demikian juga Dr. Arnold yang bertugas sebagai naturalis (peneliti) di ekspedisi tsb. Konon, salah satu pemandu lokal melihat bunga rafflesia kemudian melaporkannya pada Arnold. Ia kemudian meneliti dan mengidentifikasi bunga ini.


Mungkin nama Rafflesia arnoldii lebih tenar dibandingkan dengan saudara-saudarany sesama rafflesia. Jadi sebetulnya ada beberapa jenis rafflesia di Indonesia. Di Jawa ada, nggak? Ada, di Jember. Duluuu banget ditemukan di sekitar situ. Sekarang, adanya di area Taman Nasional Meru Betiri, Jember, Jawa Timur. Hanya saja, yang tumbuh di sini adalah jenis Rafflesia zolingeriana. Kenampakannya mirip dengan R. arnoldii, cuma kayaknya warnanya agak coklat.


Mungkin karena sama-sama parasit, nggak punya daun/badan yang lengkap,  berukuran raksasa, dan berbau nggak enak, maka orang-orang sering keliru di membedakan rafflesia dan Amorpophallus. Apalagi dua alasan terakhir yang unik banget & nggak dimiliki banyak tumbuhan. 


Jadi mudah gini:

bunga bangkai = Amorpophallus sp. = corpse flower

bunga rafflesia = Rafflesia sp. = stinking corpse lily

Dulu saya juga ngiranya sama aja, sama-sama bunga bangkai, hehe. Ada yang pernah kecele juga?





===============

Maafkeun belum sempat nge-list sumber. 

Penjelasan lebih rinci bisa dilihat di sini:

http://lipi.go.id/lipimedia/6-perbedaan-harus-diketahui-antara-bunga-bangkai-dan-rafflesia/19787 




Reading Time: