Hijaubiru: Catatan Perjalanan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Oktober 2022

Open Trip Bromo
Oktober 14, 2022 4 Comments



Kalau kemarin sudah sempat baca sampai tbc,

sila klik link ini biar langsung ke teks update hari ini: lanjutan 1.

----------


Dulu, kalau saya atau teman pengin jalan-jalan, kami harus ngumpulin beberapa orang dulu. Setelah itu baru survei transpor, akomodasi, dan lain-lain. Karena jaringan sosial media dan internet belum semaju sekarang, jadi nanyanya ke orang-orang yang pernah ke lokasi itu atau telepon ke lokasi sekalian. Transportasi? Kalau jauh, ya, pakai kendaraan umum. Ngebus, kereta, carter jeep atau numpang mobil bak terbuka. Kalau orang yang pengin ke sana cuma sedikit, pilihannya ada 2: tetap berangkat dengan sedikit orang dan bayar lebih mahal, atau nggak jadi berangkat (atau nunda sambil ngumpulin ‘pasukan’ pelan-pelan, berbulan-bulan).

 

Ya gimana lagi, harus diakui bahwa nggak semua daerah di Indonesia, bahkan Jawa, mudah terhubung dengan transportasi umum (wong sekelas Surabaya aja masih pada ngandalin motor). Akibatnya, butuh kendaraan pribadi untuk mencapai daerah tertentu. Kalau nggak punya, tentu harus nyarter. Nah biaya carter ini yang nggak murah. Kalau orang yang pergi cuma segelintir, biaya patungannya akan lebih mahal.

 

Beruntunglah sekarang ada layanan open trip via agen travel. Jadi, dengan sedikit orang pun kita bisa tetap travelling ke tempat-tempat yang butuh kendaraan khusus atau biaya transpor yang cukup tinggi. Memang nggak semua tempat ter-cover, tapi sudah cukup.

 

Seperti Juli lalu saat saya pengin banget main ke gunung yang agak jauh. Bagai pucuk dicinta ulam tiba, seorang karib mengajak jalan ke Bromo. Dia kemudian mengirim akun sebuah operator tur yang ia temukan di instagram. Agensi itu menyediakan layanan open trip ke beberapa daerah di Malang dan Batu. Cek-cek dan terbukti bukan travel bodong, kami pun booking.

 

Open trip adalah layanan tur yang pesertanya macam-macam. Dalam satu kelompok, akan ada orang-orang lain yang nggak kita kenal. Asalkan tujuan dan tanggal keberangkatannya sama, maka kita bakal dijadikan satu rombongan: satu itinerary, satu mobil/bus, dan mungkin satu hotel/restoran (kalau termasuk biaya inap/makan).


Jujur awalnya saya sangsi. Bukan apa-apa, hanya saja sejak era medsos makin menggaung dan hiking/travelling makin lumrah diterima masyarakat, banyak banget kasus open trip ataupun shared cost yang berujung penipuan (meski nggak semuanya; yang beneran jujur dan baik juga banyak). Maka dari itu, personally, saya lebih suka jalan sama teman sendiri. Udah kenal. Jalan bareng orang tak dikenal juga masih oke, asalkan dia ‘dibawa’ teman (ya intinya ada yang kenal: dia temannya teman saya dan teman saya ini ikut).

 

Namun karena saat itu kami lagi butuh banget refreshing ‘besar’, maka kami putuskan jalan berdua dengan ikut open trip aja. Biar cepat; nggak kebanyakan rundingan jadwal. Kebetulan open trip ini menawarkan trip tiap hari a.k.a kami bebas pilih tanggal (di hari kerja sekalipun) dan bebas berapa orang pun tanpa minimal peserta. Sounds too good to be true, though, so I was a bit suspicious. Atau emang saya aja yang ndeso karena nggak ngerti sistem kerjanya? Maybe, hahahah.

 

Jadi, sebagai pengguna open trip pertama kali, ini cara yang kami lakukan untuk menentukan agen travel ini valid atau enggak (disclaimer, tips ini bukan jaminan sukses 100%, tapi bisalah biar ada gambaran sedikit):

1. Cek akunnya

Karena kami nemu dari IG, ya cek IG-nya. Foto dan komentar di sana, interaksi mereka, price list dan rundown jelas, dsb. Tidak ada komentar yang dimatikan, jadi kami tengarai nggak pernah berkasus. Sahabat saya juga sempat bertanya pada akun lain yang kelihatannya pernah pakai jasa tur tsb.

 

Karena teman saya nemu akun tur tsb dari iklan IG, apa jaminan kalau akun itu valid? Belum tentu. Aturan pasang iklan di IG sudah nggak seribet dulu, jadi siapapun bisa pasang, termasuk akun bodong. Beberapa bulan lalu, seorang teman menemukan iklan bank abal-abal yang mencatut sebuah bank besar.

 

2. Crosscheck ke agen travel langsung

Setelah cek akun, kami langsung kontak ke narahubung/contact person. Tanyakan harga, itinerary (jadwal/rundown), fasilitas yang didapat. Salah satu yang terpenting, tanya juga perihal pembayarannya. Jangan percaya kalau minta bayar full langsung. Travel yang kami pakai kemarin hanya meminta DP 50k per orang dari harga total open trip Bromo yang 250k/orang. Oke, masuk akal. Harga 250k sudah termasuk:

  • penjemputan dari dan ke area Malang Kota:
    setelah trip selesai, kita diantar balik ke kota/titik penjemputan
  • carter jeep (kapasitas 8 orang)
  • tiket dan izin masuk ke kawasan TNBTS (Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru)
  •  fotografer + dokumentasi:
    tentu berbagi dengan 6 peserta lainnya. Foto tanpa editing dengan kamera mirrorless. Jadi kalau kebetulan hasilnya biasa aja, ya diedit sendiri. Awalnya saya kira dieditin sekalian agar estetis, makanya ngebatin, ‘Kok murah banget 250k udah sama editing’. Ternyata yang dikasih foto mentah, hehe. Tapi itu pun udah lumayan, sebab ada tur berharga 300k yang tanpa fotografer/dokumentasi

Oh, jangan lupa tanyakan detail mobil seperti jenis, warna, nopol, serta sopir yang mengantar ke dan dari lokasi. Juga perkiraan jumlah peserta yang barengan dengan kita.

 

3. Konfirmasi H-1 dan hari-H

Kontak lagi narahubung untuk mengingatkan dan memastikan. Di hari-H biasanya mereka akan mengirim detail mobil dan sopir yang menjemput. Kemarin kami cuma dibilang, “Bakal ada sopir yang menghubungi” meski sudah minta identitas sopir. Akhirnya, ketika dihubungi sopir, kami konfirmasi ulang ke pihak travel apa benar orang tsb.

 

Ini yang agak bikin ribet. Ternyata kami harus crosscheck sendiri-sendiri ke pihak travel dan sopir. Kirain mereka satu pusat komando, jadi terhubung satu dengan lain dan sama-sama tahu sehingga kami cukup nanya ke satu orang aja. Ternyata enggak.

 

Usut punya usut, ternyata sistem terpisah-pisah inilah yang bikin agen travel mau menerima peserta dengan jumlah sedikit: karena mereka memang bukan satu travel agent. Jadi ada orang yang bertugas marketing seperti narahubung yang kami hubungi tadi, kemudian ada sopir sendiri, ada sopir jeep sendiri, dan fotografer sendiri. Mereka adalah mitra yang punya modal sendiri (misal: mobil, jeep) dan kayaknya mendaftar ke satu pengelola. Pengelola inilah yang nanti ngatur peserta mana ikut mobil siapa, sedangkan narahubung tadi sudah lepas karena sudah ‘menyerahkan’ customer ke pengelola.

 

Mirip mitra gojek/grab gitu lah. Perusahaannya kan bukan yang punya kendaraan; mereka cuma menyalurkan.

 

Narahubung, pemilik mobil, fotografer, dan pemilik jeep ini bisa jadi nggak saling tahu mana customer yang dapat siapa karena memang nggak ada dalam satu travel agent yang sama. Semuanya terpusat di pengelola tadi. Mereka nggak saling berinteraksi karena dapat perintah langsung dari pengelola tadi.

 

Itulah kenapa travel agent menjanjikan bebas pilih tanggal berangkat dan tanpa minimal peserta: karena peserta dari mereka akan digabung dengan peserta yang didapat oleh agen lain. Jadi, di hari-hari sepi pun, pasti ada mobil yang full peserta. Awalnya kami kira peserta open trip ini ya hanya dari narahubung yang kami kontak aja….


lanjutan...


Oh ya, apa harga open trip ke Bromo masih 250k? Entah. Kalau ngelihat harga BBM yang naik, kayaknya ya pasti ikut naik, ya…. Tapi saya belum pernah cek lagi. Waktu itu banyak agen lain yang sudah mematok harga 300k, jadi yang 250k ini masih tergolong lebih murah dengan fasilitas yang sama. Bahkan ada yang 300k tanpa dokumentasi.

 

Singkat cerita, perjalanan 2D1N (2 days 1 night) itu kami mulai dengan menumpang KA Penataran. Berangkat dari Stasiun Gubeng Lama (SGU) pukul 17.40-an dan estimasi sampai di Stasiun Malang (ML) sekitar pukul 20.00. Meski kereta lokal, pastikan untuk nggak beli tiket secara mendadak mengingat ini jam pulang kerja. Karena KA lokal (wilayah Jatim aja), tiketnya hanya bisa dibeli di aplikasi KAI, nggak bisa lewat web. Kayaknya waktu itu cari lewat web juga nggak ketemu.

 

Actually, that was my first time riding a train after the pandemic hit. How was it?

Like nothing had changed. Kereta, meski di hari kerja, tetap penuh sesak. Tetap berisik (karena ekonomi, lokal pula, kan). Ada ibu-bapak pulang kerja, ada satu keluarga yang bawa anak bayi dan balita, ada pemuda-pemudi yang kayaknya mau berangkat main kayak kami. Macam-macam, deh. Saya pikir kereta di hari kerja bakal lebih sepi, ternyata enggak, hehe. Untung kereta zaman sekarang pasti dapat tempat duduk. Kalau ini di zaman dulu, bisa dipastikan kami bakal susah atau rebutan kursi.

 

Di tengah perjalanan, kami menerima pesan dari narahubung bahwa waktu penjemputan diundur. Tadinya dijadwalkan pukul 23.00, tapi diubah jadi 01.00. Duh, tambah malem aja. Jadilah kami batal melekan di kafe dan memutuskan nyewa hostel seperti yang pernah saya ceritain di sini. Penjemputan dini hari inilah yang bikin kami agak rewel soal konfirmasi identitas dan mobil sopir; buat mastiin keamanan bahwa betul itu mobil dari travel dan bukan yang lain.

 

Pukul 01.00 kami dijemput di hostel, setelah itu menjemput orang lain yang serombongan dengan kami. Selanjutnya kami lanjut ke daerah Tumpang untuk oper ke jeep. Meski bukan open trip pun, kalau masuk TNBTS lewat Malang, sejak dulu memang berhenti di daerah ini untuk oper jeep. Waktu ke Semeru satu dekade lalu pun (catper di sini) juga. Nampaknya memang pusatnya jeep.

 

Kalau ke Bromo/Semeru harus naik jeep?

Nggak harus sebenarnya, tapi sebaiknya memang mobil 4-wheel-drive karena medannya ekstrem dan ada jalur pasir yang susah-susah-gampang dilalui ban. Mana jalannya nggak lebar juga kan, jadi kudu hati-hati kalau papasan dengan kendaraan lain. Era 2010-an, mobil 4WD pribadi masih boleh masuk Lautan Pasir. Namun, beberapa tahun belakangan ini kayaknya pengelola TNBTS mewajibkan sewa jeep agar membantu perekonomian warga sekitar taman nasional. Mobil masih boleh masuk sampai poin tertentu, lalu kemudian harus sewa jeep.

 

Kalau motor?

Masih boleh, asal bukan motor matic. Dan pastikan benar-benar menguasai motor dan medan. Yang paling tricky, ya, jalan yang meliuk naik-turun mendadak dan jalur pasir di kaldera itu. Nggak jarang ada motor yang susah jalan karena pasirnya licin banget. Dulu saya harus turun dan jalan, sedangkan partner menuntun motor, saat ngelewatin pasir ini. Road trip TNBTS juga nggak kalah seru dengan open trip, lho.

 

Balik ke Tumpang. Di sini, kami dan peserta-peserta lain dikumpulkan di satu rumah sambil menunggu rombongan dan jeep komplet.

 

“Kok belum berangkat juga, sih? Ini udah hampir setengah tiga, lho,” bisik kawan saya sambil melihat arloji. Beberapa peserta yang semobil juga mengutarakan hal yang sama.   

 

Saya cuma menggumam, sedikit tak sabar pula. Kalau trip ini memang hanya mengejar matahari terbit, gagal sudah rencana kami menikmati dan mendokumentasikan star-trail Bimasakti yang cantiknya bak permata langit itu. Asli itu pemandangan bikin kangen meski demi melihatnya harus diterpa angin gunung dan suhu dini hari yang menggigit ke sumsum tulang.

 

“Iya memang rencana sampai sana subuh, Kak. Beberapa hari ini dingin banget sampai peserta pada nggak mau keluar mobil sebelum sunrise. Daripada kita kedinginan lagi,” jelas fotografer saat itu.

 

Akhirnya kami maklum. Waktu itu memang puncaknya kemarau. Namun, puncak kemarau berarti suhu di gunung turun serendah-rendahnya saat malam tiba. Orang Jawa mengenalnya sebagai bediding. Fenomena inilah yang bikin butiran es-es terbentuk di pegunungan, termasuk yang terkenal di Semeru dan Dieng. Es yang disebut embun upas ini membungkus permukaan, merusak beberapa tanaman perkebunan.

 

Pukul tiga kurang, mobil meluncur membelah jalan sepi temaram. Sedikit demi sedikit jalan meliuk naik membelah perbukitan. Gelap. Mantap sekali skill nyetir pak sopir jeep, Pak Agus, karena saya pun nggak bisa lihat jalan depan meski sudah diterangi lampu mobil. Perjalanan tak lama. Entah memang dekat atau karena rada ngebut. Sekitar 03.10-an kami sampai di pertigaan Jemplang, sebelum turun ke Kaldera Lautan Pasir.  

 

Hari ini istimewa: purnama. Di kota, mungkin nggak begitu terasa efeknya. Namun, di tengah gunung tanpa polusi cahaya sama sekali, sinar lembut keperak-perakan itu menerangi seantero penjuru. Sisi tebing dan punggungan gunung tersorot garis silver bak distabilo. Silver lining.

 

Tiga puluh menit kami mengelilingi Lautan Pasir yang masih gelap. Sempat ketemu orang-orang yang kayaknya camping di sana. Vibes camping-nya dah kayak kemping di padang pasir ala-ala film Wild West. Rombongan sempat berhenti sesaat untuk membantu jeep dari grup lain yang mesinnya error. Setelah kelar, jeep kemudian naik ke sisi lain. Tak lama, roda berhenti di dekat sebuah warung. Di tebing depan warung inilah rencananya rombongan kami akan menanti matahari terbit.

 

Ada beberapaapa ya istilahnya, viewpoint?—tempat untuk menanti sunrise di sekeliling gugusan Gunung Bromo. Semacam Pananjakan gitulah. Rupanya grup kami berhenti di viewpoint yang tak jauh dari tanjakan sehingga Gunung Bromonya nggak nampak dari sini karena tertutup Gunung Batok.

 

Orang yang baru pertama kali ngelihat mungkin akan terbalik mengenali Bromo dan Batok. Meski nama Bromo lebih terkenal daripada Batok, tapi ukuran Batok lebih besar (dan lebih tinggi). Tinggi Bromo ini ada kali separuhnya Batok. Dari arah ini, Bromo terletak lebih ke kiri. Gunung ini juga nggak punya puncak kerucut seperti Batok sebab dia punya kawah sebagai gantinya.

 

Kalau kita lihat di kartu pos atau foto, ada kepulan asap yang menguar dari cekungan sebuah gunung, itulah Gunung Bromo. Saat upacara Yadnya Kasada, upacara besar suku Tengger, ke dalam kawah inilah mereka menghaturkan berbagai hasil bumi. Bromo juga satu-satunya gunung yang masih aktif di area Lautan Pasir ini (*cmiww).

 

Subuh menjelang. Di tempat tinggi, matahari memang lebih cepat terbit. Saya dan sobat menumpang shalat subuh di salah satu warung di antara kios-kios yang berjajar.

 ðŸ“‘A tip: kalau nggak kuat nyentuh air karena dingin, bisa diakali dengan punya wudhu sebelum berangkat (naik jeep). Jadi waktu di lokasi tinggal shalat.

Atau bisa juga karena nggak tahan dingin kalau harus lepas jaket/pakaian tebal (karena susah kalau cuma digulung sampai lengan) atau lepas sepatu. Kan bisa tayammum? Kalau itu, kita kembalikan ke orangnya masing-masing. Sebab kadang ada orang yang nggak mau tayammum selama masih ada air.

 

Kelar subuhan, kami naik ke pinggir bukit buat ngelihat sunrise. Di luar dugaan, ramai banget, euy! Seluruh pinggiran sudah disesaki pengunjung. Banyak yang duduk-duduk. Ada penjaja yang nawarin sewa karpet buat duduk juga (10k). Kalau cari foto yang ‘bersih’, susah memang. Namun, pemandangan ke bawah ke arah gugusan Bromo dkk masih terlihat jelas.

 

Menurut tour leader saat itu, kami beruntung bisa lihat Lautan Pasir diselimuti kabut putih seluruhnya bak kapas lembut. Sebab, malam sebelumnya hujan.

 

Oh, ya, mumpung berada di ketinggian, jangan lewatkan pula pemandangan dari gugusan gunung lain yang jaraknya puluhan kilometer nun jauh di kota-kota tetangga. Dari sini kita bisa lihat kompleks Welirang-Arjuno dan (sepertinya) Anjasmoro di arah kanan. Di kiri, meski lebih kecil, samar-samar terlihat gugusan Pegunungan Iyang-Argopuro yang kondang dengan jalur pendakian terpanjang se-Pulau Jawa.

 

Serasa baru saja matahari terbit; udara baru saja terasa hangat. Langit pun masih merah-jingga-kekuningan khas nuansa pagi. Namun, tour leader sudah meminta kami balik ke mobil karena rombongan akan segera turun ke Lautan Pasir pukul enam.


Sejujurnya, saya merasa ini kurang lama. Kenapa? Well....


to be continued 😄

Psst, foto-fotonya juga belum ditambahin, hehe. Kalau udah kelar milih dan milah nanti insyaallah bakal bertabur foto


Reading Time:

Senin, 29 Agustus 2022

Trawas Tipis-Tipis
Agustus 29, 2022 2 Comments

 We can let July just be July 

Let the sun hang in the sky 

Clear your mind of all the things you’re waiting on 

- July (Later On), Lily Williams 


Juli lalu pas banget lagi butuh ‘clear my mind’. Salah satunya dengan cara… yes, you guess it right, jalan-jalan! Buat saya, jalan-jalan nggak harus travelling yang jauh banget atau berhari-hari. Kalau kerja/sekolah kan susah yak cari libur. Jadi, cari yang dekat (atau lumayan dekat) aja. 


Gimana kalau pengin wisata alam, tapi tinggal di perkotaan yang jauh dari gunung-sawah-dkk? Surabaya misalnya. Buat yang tinggal di Kota Pahlawan dan sekitarnya, wilayah pegunungan seperti Malang, Batu, Pasuruan, Mojokerto, dkk, biasa jadi opsi liburan. Sejak dulu kala~


“Gimana kalau cuma punya waktu libur sehari, apa keburu? Apalagi kalau pengin jalan-jalan yang low budget.”


Bisa aja; tergantung lokasi tujuan, berapa lokasi tujuan, dan makan apa. Ada daerah-daerah yang banyak menyajikan wisata dan tempat makan low budget. Atau bisa pakai trik ini: minimalkan tujuan. Satu-dua aja cukup. Dan, jadikan perjalanan ke tujuan juga sebagai travelling. Cuci mata gitu lah. Kalau ke area pegunungan, pemandangan pinggir jalan pun biasanya udah oke punya.


Waktu itu, karena cuma punya waktu satu hari dan nggak bisa jauh-jauh, saya memilih jalan ke Trawas dan cangkruk santai di sana. Kalau nanti ada sisa waktu mungkin bisa lah main ke tempat lain yang masih berlokasi di Kab. Mojokerto itu. Motor jadi pilihan transportasi (karena bisanya ya itu, haha).   


Motor juga jadi salah satu alasan milih main ke Trawas. Udah agak lama nggak nyetir di tempat berbukit-bukit dan agak jauh bikin saya rada nggak PD. Paling enggak, jalan ke Trawas bisa ditempuh lewat rute yang agak landai. Jaraknya pun nggak terlalu jauh; sekitar dua jam motoran santai.


💡Jadi buat orang yang jarang nyetir jauh atau berkendara ke daerah bergunung-gunung (kayak saya, hehe), kira-kira nggak begitu berat dan nggak kaget medan lah.


Kami berangkat pukul tujuh dari arah Surabaya. Agak siang sebenarnya, karena udara jalanan lebih segar (standar perkotaan, ya) kalau berangkat agak pagi. Berboncengan kami jalan terus lewat Ahmad Yani membelah Sidoarjo yang tumben-tumbenan nggak macet. 


Perjalanan menuju Trawas dari arah Surabaya sebenarnya bisa dicapai lewat tol. Namun karena kami pakai sepeda motor, jadi lewat jalan biasa. Lewat jalan raya ini pun bisa lebih cepat bila melintas via Porong. Jalannya juga tinggal lurus aja. Cuma karena saya cari rute yang lebih sepi (thus, bisa lebih cepet ketemu ijonya sawah dan kebun), saya berbelok dan mencapainya lewat Tulangan, lalu tembus Krembung.



『 TOELANGAN DAN KREMBOON

“Bukannya itu jalannya rame?”

Iya, di beberapa titik. Paling enggak relatif lebih nggak padat daripada jalur Porong. Bisa lewat kebun tebu dan desa yang masih asri juga. Buat yang demen sejarah, mungkin juga bakal tertarik karena ngelewati pabrik gula Tulangan dan Krembung yang sudah tersohor sejak zaman Belanda (ejaan lama: Toelangan, Kremboong). Pabrik inilah yang jadi cikal bakal PTPN di Jawa Timur. 


Meski nggak bisa masuk ke pabrik, kita bisa lihat tampak luar dari pabrik gula abad 19 ini. Bentuknya khas bangunan lawas yang tinggi besar dan terkesan gagah meski di beberapa bagian nampak retak dan usang digerus zaman. Di antara lautan motor dan manusia yang modern, bangunan dengan arsitektur yang jelas lawas itu menjadi kontras.


Saya lupa tepatnya di sebelah mana, tapi di jalan dekat pabrik masih tersisa rel yang dulu dilewati oleh lori. Lori adalah kereta pengangkut tebu. Gerobak-gerobak ini riuh mengangkut tebu hasil panen dari kebun menuju pabrik untuk diolah menjadi gula sejak lebih dari seabad lalu. Kini, rel dan lorinya sudah lama ‘pensiun’. 


Lanjut ke rute….


Selepas dari Krembung, roda bergulir ke arah Jalan Raya Trawas-Mojosari. Inilah jalan yang terhubung dengan Trawas, tapi relatif landai. Bukan berarti jalannya nggak nanjak/bertikungan, tapi mendingan lah daripada lewat jalan kecil yang, meski asik, tapi lebih curam (buat saya). Di tepi jalan raya mulai muncul gerumbul pucuk-pucuk pinus. Dari balik pepohonan tinggi ini, Gunung Welirang muncul-sembunyi bak sedang petak umpet. Udara yang mulai sejuk menembus kaos tangan dan menelusup ke kulit.


Lewat dari jalan raya dan belok kiri memasuki area Kecamatan Trawas, jalan mulai lebih naik-turun. Pas lewat sini, nggak berhenti bismillah terus sambil deg-degan karena udah lama nggak bawa motor ke daerah begini, hehe. 


Tujuan pertama kami adalah: tempat makan. Lapar, euy. Kebetulan berangkat tadi belum sarapan. Dan, ini sudah pukul setengah sepuluh. Kok lama? Karena sempat balik kucing (STNK ketinggalan, LOL) dan faktor utama ya sebab saya nyetirnya nyantai; pelan. Sambil lihat pemandangan di kiri-kanan. 



『 GARTENHUTTE 



Kami rehat di Gartenhütte, salah satu tempat makan yang menurut teman saya lagi happening. Selain konsepnya yang dibuat mirip Western barn, resto ini juga terkenal karena view-nya yang langsung menghadap terasering luas. Di akhir pekan, jangan datang mendekati jam makan siang. Rame! Jangankan bisa milih tempat duduk, dapat tempat aja nggak bisa dapat. Restonya sampai nolak-nolak pengunjung karena penuh. 


Apa kemarin setengah sepuluh udah rame? Lumayan. Meski nggak bisa dapat tempat yang view-nya strategis, tapi masih bisa milih tempat lah. 


Antrean pun bisa mengular tanpa kami sadar. Waktu pertama antre, kami berdiri nggak jauh dari ‘rumah’ tempat kasir. Eh, waktu keluar, udah panjang aja sampai hampir ke tempat makan. Padahal kami ngantre paling 10 menitan. Saat pergi ke sana lagi beberapa pekan kemudian, saya minta teman langsung antre begitu kami datang. Sementara, saya bertugas parkir kemudian. Antrean yang mengular pun kembali terulang; setelah kami pesan.


Sistem di sini adalah datang langsung antre. Antre-pesan-bayar-dapat nomor meja-pilih tempat duduk. Menunya cukup variatif dan ramah di kantung. Sekitar 10-20 ribuan aja. Heran juga saya. Biasanya resto aesthetic gini kan rate-nya paling nggak 20 ribu ke atas. Oh ya, menu itu bisa dilihat di website mereka.


Terasering yang bisa dilihat dari resto

Sepertinya belakangan ini memang tempat makan yang mengusung konsep menyajikan view estetis pedesaan makin menjamur. Kayaknya duluuu masih jarang banget yang kayak gini, di sini. Resto ya resto aja, kafe ya tempat ngopi aja. Sekarang, warung pinggir jalan pun didekor ala cottage Barat.


Di area sekitar Gartenhütte pun ada banyak resto cukup besar yang bertema mirip. Tempat-tempat makan didesain serupa barn atau bergaya rustic. Tentunya barn (lumbung padi) dan rustic ala Eropa/Barat, bukan rustic-nya Indonesia. Emang bagus, sih, gayanya. Berasa lihat rustic wedding board yang seliweran di Pinterest. Tapi, lebih simpel. 


Dan, daerah Selotapak ini kayaknya emang punya terasering cukup banyak. Pemandangannya juga cantik dan strategis sebab gunung-gunung di sekitarnya kelihatan jelas sampai puncak. Dan, kini, lanskap ini jadi daya tarik tersendiri bagi makin banyak orang.


Makanan mulai diantar satu per satu sekitar 10-15 menit kemudian. Jadi salut sama manajemennya. Padahal pengunjung lagi banyak dan lokasi duduknya nyebar pula.


Mie spesial Garten. Warna mienya macam-macam.
Saya pilih yang warna hitam gegara penasaran sama penampakannya

“Menunya masakan Barat?”

Enggak, kok. Meski namanya berbahasa Jerman (literally berarti ‘pondok taman’), menunya Indonesia banget. Kalau minumannya ya standar resto kayak biasanya. Pilihannya banyak. Kabarnya ada kopi lokal juga, tapi sayang belum sempat nyoba. 


“Gimana review Gartenhutte soal makanannya?”

Enak. Bukan yang enak banget, tapi tetap enak. Sesuai lah sama harganya. Porsinya juga pas; nggak terlalu banyak atau sedikit. Mantap/enggak rasa masakan mungkin tergantung menu. Soalnya, waktu saya pesan mie Garten, berasa enak banget di lidah dan pengin nambah. Namun, di lain kesempatan, nasi goreng merahnya hambar. Hanya asin, bumbunya kurang. (Atau beda hari, beda orang yang masak, jadi beda rasa? Entah.)


Overall camilannya biasa aja. Rasanya sama dengan camilan di pedagang-pedagang snack umumnya. Cuma, kalau bisa camilan ini segera dimakan soalnya anginnya kenceng; bikin makanan cepat dingin. Ya gimana nggak kenceng wong sekitaran langsung lembah, jadi nggak ada penghalang angin. Saran aja, kalau pesan camilan, nanti aja setelah makanan utama habis daripada dingin duluan. Kalau sambil nongkrong, nunggu snack datang 10 menitan pun jadi nggak terasa. 


Rumah pohon yang dikelilingi bambu, di belakang resto.
Suara gesekan daunnya yang ditiup angin bikin suasana makin sejuk


👉Tips buat yang nggak kuat angin:

mending tetap pakai jaket atau pilih tempat yang nggak ngadep langsung ke terasering. Ya meskipun anginnya masih kerasa, tapi nggak kenceng-kenceng banget. Khawatir nggak dapat view bagus? Jangan khawatir, kamu bisa bebas jalan-jalan ke sisi lain tanpa ganggu pengunjung yang duduk di situ, kok. Areanya cukup luas.


Kalau pengin makan dengan suasana yang lebih outdoor lagi, bisa juga piknik di tenda dome yang terletak di atas resto. Kita bisa sewa (bayar 25k kalau nggak salah) buat makan doang. Kalau mau nginap juga bisa dengan reservasi dulu. Info dari teman yang pernah kemping di sana, disediakan sleeping bag, alas/kasur tipis, dan listrik. Pun tersedia sewa alat bebakaran buat nge-grill.


Kami nongkrong di sini hingga tengah hari. Meski udah lewat dhuhur, nggak terasa panas. Iyalah lha wong di gunung, adem terusss. Anginnya semilir bikin ngantuk. 



NEXT PITSTOP(S) 


  
Mosque with a view.

Pemberhentian selanjutnya adalah tempat sejuta umat kalau mau istirahat dari perjalanan panjang: masjid. Selain buat shalat, tampaknya banyak orang setuju kalau ini salah satu tempat paling multifungsi: ibadah bisa, selonjoran (bahkan leyeh-leyeh sebentar) bisa, cuci muka/mandi juga bisa.


Kami berhenti di satu masjid di kampung tak jauh dari Gartenhütte. Entah apa namanya. Masjid ini tampak baru dengan dinding putih bersih yang makin kinclong diterpa matahari siang bolong. Untungnya, air yang mengalir dari kran wudhu segar banget pas kena kulit. Fresh from mata air pegunungan, kayaknya. Kontras banget dengan terik panas di luar.


Selain hawa di dalam masjid yang adem dan bikin pengin tidur, masjid yang diapit ladang jagung dan perkampungan ini punya pemandangan cantik. Di sisi kiri terlihat hijaunya Gunung Penanggungan, sedangkan di kanan perbukitan lereng Gunung Arjuno-Welirang tampak kebiru-biruan. Sayangnya pegunungan itu sedang tertutup awan. Kalau di sana cerah, wah, kiri-kanan bakal luas banget arah pandang ke pegunungan. 


Kelar shalat sekaligus istirahat di sana, motor kembali melaju. Kalau tadi kami datang dari arah barat Penanggungan, maka kali ini kami berencana pulang lewat sisi timurnya. Muter lebih jauh, dong? Iya. Namanya juga lagi jalan-jalan, hehe. Muterin lingkar Penanggungan.


Unexpected panorama: sungai kecil dan pegunungan
di pinggir jalan. Memang bukan spot wisata, tapi cantik bgt!

Kami sengaja melintas di jalan desa meski waktu tempuh jadi lebih lama. Biasanya, jalan yang begini punya lanskap lebih apik dan masih alami. Memang nggak seteratur kalau dibuat taman atau kafe, tapi ketidakteraturan itu justru bikin panorama jadi elok natural.


Ada terasering tempat bibit-bibit padi hijau pupus berjajar. Waktu noleh ke sisi jalan, eh ada sungai kecil yang airnya gemericik (meski agak hilir kemudian banyak sampah). Ada lahan kosong yang dipenuhi ilalang liar berbunga lembayung; selaras corak langit di latar belakang yang mulai senja.  Ketemu ladang ubi jalar yang tanahnya disela batu-batu hitam sebesar mobil mini. Itu batu gede banget, dari mana asalnya, ya? Aktivitas vulkanik Penanggungan zaman dulu kala atau gimana?


And many more.



WARUNG TENGAH HUTAN 

Hutan dan sungai kecil di lembah bawah

Jalan yang dilewati kali ini berbeda dengan Raya Trawas yang relatif landai. Memang di sini ada beberapa bagian yang landai, tapi ada juga sejumlah titik yang tanjakan-turunannya agak curam, plus belokan tajam. Seorang warga setempat berdiri di bahu jalan. Ia mengarahkan kendaraan agar lebih hati-hati sebab ada jurang menganga di kiri-kanan.


Sekeliling jalur dekat jurang ini memang dikelilingi hutan, jadi agak gelap tertutup rerimbunan. Hawa sore di sini, meski nggak menggigit, tetap lebih dingin karena tertutup kanopi pohon-pohon tinggi. Di tengah jalur hutan yang jauh dari kampung inilah terdapat sebuah warung.


Warung tersebut agak masuk ke pepohonan. Kalau bukan karena tulisan 'PARKIR' yang ditulis besar-besar, kayaknya saya nggak bakal ngeh kalau ada kedai gubuk di sini. Daripada sebagai tempat nongkrong, kayaknya tempat ini lebih cocok disebut rest area sederhana. Mampir ke sini pun sebenarnya waktu itu nggak terencana. 


Warung di sini beneran cuma sebiji. Itu doang. Sekelilingnya pohon pinus, jati, dan entah pohon apa lagi. Yang jelas, mereka tinggi-tinggi banget. Pohon tua mungkin, walau nggak tahu berapa umurnya. Tempat duduk di sini dari bilah-bilah bambu kasar yang ditancapkan gitu aja. Menunya? Makanan dan minuman instan.


Tapi bukan berarti di sini jelek. Kalau definisi jelek adalah nggak tertata seperti taman atau layaknya tempat makan, mungkin iya. Yang bagus di sini menurut saya yaitu suasananya yang emang ‘hutan banget’ dan gemercik kali kecil di kejauhan. Tempat ini emang sederhana, tapi buat orang yang kangen masuk hutan tapi belum kesampaian main ke hutan atau orang yang pengin tahu hutan itu kayak apa tanpa masuk terlalu jauh, lingkungan sekitar warung ini bisa jadi opsi.


  
Bunga-bunga liar di sekitar lokasi. Ki: kipait/kembang bulan/
Mexican sunflower (Tithonia diversifolia). Ka: ketul (Bidens alba).
Masih ada beberapa bunga liar lain yang cantik, tapi nggak kefoto


Setelah rehat sejenak di sini, roda motor kembali berputar. Udah makin sore dan harusnya kami udah separuh perjalanan pulang.



『 2nd AND LAST SPOT: RANU MANDURO 

  
Danau kecil dan bunga liar. Para pemuda lokal
memancing ikan di sini. Di background tampak G. Penanggungan

Sebenarnya waktu berkunjung kami ke sini kurang tepat. Kami baru sampai sekitar setengah lima. Matahari sudah miring sekali ke ufuk; langit sudah merah muda. Tapi lumayan lah masih terang.


Ada penduduk yang berjaga di jalan masuk lokasi ini. Tarifnya lima ribu per orang. Oh ya, waktu sudah masuk kampung, jalannya agak beda dengan rute Google Maps. Peta menunjuk ke kiri, sedangkan penanda lokal mengarahkan untuk lurus. Saya ngikut yang penanda lokal. (Local sign is the best!)


Ranu Manduro, meski namanya 'ranu' yang berarti danau, sebetulnya adalah lahan bekas tambang. Tambang sirtu tepatnya. Kabarnya nama 'ranu' disematkan karena lubang-lubang dalam bekas galian itu menjadi danau ketika terisi air hujan. 


Tempat inilah yang sempat terkenal banget beberapa tahun lalu. Foto-foto trio danau-gunung-hamparan rumput hijau tersebar di dunia maya. Namun, karena kami berkunjung di bulan Juli yang sudah kemarau, rumput-rumput itu sudah berubah warna jadi kuning atau abu-abu kering.


Ranu. Kemarau.


Perbedaan musim pun membuat seantero ranu memancarkan suasana lain. Entah efek cahaya merah mentari senja atau bukan, dinding-dinding berbatu terkesan lebih kaku dan gersang. Alang-alang tinggi terasa kasar saat disentuh tangan. Udara di sini memang nggak panas, malah cenderung sejuk karena sudah senja, tapi hawanya kering.


Setelah melalui jalan tanah berkerikil yang bikin ban gampang selip, kami menjumpai danau pertama. Mungkin lebih cocok disebut kolam karena ukurannya kira-kira cuma seluas separuh lapangan futsal. Beberapa pemuda lokal duduk santai di pinggirannya. Di tangan mereka tergenggam joran pancing.


Wah, ada ikannya, toh

Menilik isi bungkusan transparan yang dibawa mas-mas itu waktu mereka pulang, kayaknya emang ada. 


Kami nggak lanjut masuk lebih dalam karena khawatir kemalaman. Kalau lihat foto dan video orang-orang, kayaknya makin masuk bakal makin gede kolam-kolamnya. Lebih luas juga pandangan sampai kelihatan Gunung Penanggungan dan bukit-bukitnya. Tapi cukup lah kami cuci mata di sini aja. 


Pukul lima lebih kami keluar dari kawasan. Di horison sana, matahari bulat merah sudah siap menghilang. 


Langit (hampir) merah jambu



==========================================================


📑 IN SHORT 

  •  Pengeluaran (2 orang 1 motor): ±150k
    ±100k makan di Gartenhutt (lebih dari 4 menu. Buat berdua asli kenyang, bahkan bisa nyisa). Di warung ±15k. Sisanya bensin dll. 
  • Durasi: 1 hari. 2 tujuan utama. Start jam 07.00-19.00.
    Perjalanan Surabaya-Trawas kalau santai sekitar 2 jam.
  • Cek cuaca!
    Kalau pengin dapat pemandangan 'bersih' yang minim kabut, cek cuaca sebelum mutusin berangkat. Kemarau sekalipun. Setelah Juli, saya balik lagi ke Trawas dan dapat kabut + hujan deras. 
    


==========================================================




*Oh yaa, yang sempat baca postingan digital journaling di sini, separuh dari teks ini diketik via HP, lho (seneng banget akhirnya bisa nulis panjang via ponsel, nggak cuma mainan doang, wkwkw)


Reading Time:

Jumat, 13 Mei 2022

Mei 13, 20220 Comments

In frame: Mt. Batok. Mt. Bromo is located behind it. 
 

Kalau dilihat dari bagian yang lebih tinggi, Gunung Bromo dan gunung-gunung di sekitarnya akan nampak seperti kerucut-kerucut yang tumbuh di dalam mangkuk raksasa. 'Mangkuk' itu terbuat dari tebing-tebing tinggi dan memagari area berpasir abu-abu. Area inilah yang ramai dikenal dengan Lautan Pasir (Sand Sea).


Kalau lihat gunung-gunung lain, kayaknya jarang yang begini. Gunung seakan tumbuh dari tanah. Di kakinya ada lembah, hutan, dan perkampungan penduduk. Nggak ada batas pagar serupa mangkuk begini. Jadi kenapa Bromo kok beda?


Sebab, sesungguhnya Bromo dan gunung-gunung di sekitarnya itu tumbuh di dalam kaldera. Apa itu kaldera? Mudahnya, anggap saja bekas kawah (meski secara istilah geografi bukan gitu). Ada yang pernah ke Bromo dan Lautan Pasirnya? Selamat, Anda telah menapak bekas kawah.


Kalau kawahnya sebegitu gedenya (ada yang bilang diameternya kurang-lebih 9 km), seberapa besar gunungnya? Ya... berarti gede banget. Salah satu sumber berkata bahwa Gunung Tengger Tua dulu tingginya 4.000 mdpl. Kemudian kawahnya meletus berulang dan meninggalkan kaldera yang sekarang adalah Lautan Pasir. Kaldera Lautan Pasir ini ternyata masih bergolak, makanya tumbuh Gunung Bromo, Batok, Widodaren, dan kawan-kawannya. Kapan ini terjadi? Puluhan hingga ratusan ribu, bahkan jutaan tahun lalu. 


Wisatawan yang pernah ke Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS) pasti ingat bahwa sebelum masuk area Bromo, kendaraan melalui area berbukit-bukit dan tebing-tebing hijau curam di kanan-kiri. Duluuu banget, daerah itu juga bekas gunung. Saking tuanya jadi sekarang sudah kelihatan bukan gunung lagi. Seberapa tua? Wah, lebih tua dari Bromo. Kalau yang ini bisa jutaan tahun lalu. Daerah yang sebelah mana, sih? Mana-mana, hehe. Kemarin dulu (2015 maybe?) saya lewat Nongkojajar. Area ini sudah terbentuk 1,4-0,2 juta tahun lalu. Manusia purba Pithecanthropus masih hidup saat itu.


Kini, Nongkojajar sudah dihuni Homo sapiens seluruhnya. Bukit-bukit yang dulunya hutan lebat dan tak tersentuh manusia, kini sebagian sudah berubah ladang-ladang wortel, kentang, atau kubis yang tak kalah hijaunya. Kalau kita lewat daerah ini saat masih terang, bakal sering ketemu mobil pick-up yang mengangkut sayuran fresh from the farm


Nongkojajar adalah jalur dari Pasuruan untuk mencapai TNBTS. Jalur lainnya bisa melalui Tumpang (Malang) yang lebih terkenal, Tongas (Probolinggo) yang juga adalah jalur zaman Majapahit (konon dulu Gadjah Mada setelah pensiun berangkat ke Air Terjun Madakaripura lewat sini), dan lewat Senduro (Lumajang). Kalau dari Surabaya bisa lewat Tumpang atau Nongkojajar biar nggak muter. Kali itu, saya lewat Nongkojajar.


Gimana jalannya? Ya kayak jalan gunung pada umumnya. Awal-awal menanjak biasa, kemudian mulai banyak tanjakan ekstrem. Banyak juga tikungan tajam sehingga kudu lebih waspada dan membunyikan bel supaya kendaraan yang berlawanan tahu kalau ada kendaraan lain (kita). Tapi pemandangannya?


Wah, kalau secara personal, sudah bikin jatuh cinta, hahahah. Salah satu alasan kenapa saya suka banget sama TNBTS adalah karena sejak dari 'gerbang' aja panoramanya sudah bikin geleng-geleng. Termasuk pada perjalanan tahun 2015 ini. Secantik apa?


Mari kita lanjutkan dalam postingan pekan depan 😄


========

Disclaimer: artikel ini bukan artikel ilmiah. Saya yg nulis juga nggak mendalami geologi dkk. Jadi, meski pake referensi, harap jangan nganggap artikel ini 100% benar. Please kindly recheck it yourself  :)

Reading Time:

Jumat, 26 November 2021

Surabaya dari Balik Jendela
November 26, 20210 Comments

 


Gimana cara mengusir kebosanan di-rumah-aja karena pandemi? Ada banyak cara; dari melakoni hobi hingga iseng ikut tren macam bikin dalgona dan puding. Tapi gimana kalau hobinya jalan-jalan? Well, ini sih memang harus ditahan dulu.


Namun, kalau kita termasuk orang yang bisa menahan diri nggak mampir-mampir, jalan-jalan tipis dalam kota masih mungkin dilakukan. Bener-bener cuma jalan atau nyetir kendaraan tanpa berhenti. Paling cuma singgah sebentar buat isi bensin atau beli makanan/jajan yang bungkus bawa pulang.


Sejak sebelum pandemi, saya emang udah doyan muter-muter tanpa berhenti buat cuci mata. Nggak jauh, di dalam kota aja. Ngelihat gedung tua, sawah atau tegalan yang hijau, atau sekadar nyobain rute jalan yang jarang dilewatin. Literally nggak ngapa-ngapain; cuma naik kendaraan tanpa berhenti sambil lihat pemandangan kanan-kiri doang. Kadang disambi hunting foto kalau ada panorama bagus dan memungkinkan buat berhenti.

 

Bahasa umumnya: sight-seeing. Bahasa jowonya: mblakrak.

 

Sejak pandemi dan nggak bisa travelling beneran, ini jadi cara alternatif saya kalau lagi pengin jalan-jalan. Nggak sering, seminggu sekali belum tentu.

 

Kalau di kota/kabupaten yang nggak terlalu ramai, pemandangan ijo royo-royo relatif gampang didapat karena masih banyak sawah, lahan, sungai yang lumayan bersih, plus dekat lembah & gunung. Gimana kalau di kota, apa yang mau dilihat? Surabaya, misalnya?

 

Kalau di Surabaya, saya beralih ke gedung tua. September lalu (kalau nggak salah), saya sempat motret beberapa gedung lawas dari balik jendela mobil, waktu kebetulan melintas di depannya (God bless penemu autofokus!)


Berikut beberapa landmark yang terlewati dari rute Surabaya utara ke selatan

(NB: dibuat berdasar cerita mulut-ke-mulut, jadi besar kemungkinan ada yang bias atau nggak valid. Untuk yang lebih tepat, harap cari sumber lain yang lebih otentik).

 

1. TUGU PAHLAWAN

Tugu Pahlawan (kiri), bendera, dan kantor gubernur Jatim (kanan)
Gambar diambil dari area dalam Tugu Pahlawan, 2015
(foto yg dijepret sambil jalan ternyata burik, jadi pake ini aja)


Monumen juang untuk memperingati keberanian arek-arek Suroboyo (yang hingga kini masih suka bondo nekat) mengusir penjajah. Selain tugu yang menjulang bak pena tembus ke langit, juga ada museumnya. Bentuk bangunan museum ini agak mirip dengan kubah piramid Museum Louvre, Perancis.

 

Di sini juga ada lapangan luas. Dulu pada zaman kerajaan-kerajaan, saat Surabaya masih berupa kadipaten independen, di sinilah letak alun-alun kota. Keraton Surabaya, yang sekarang tak ada jejaknya, terletak tak jauh dari sini. Perkampungan dan ruko yang ada saat ini, dulu adalah perkampungan abdi dalem dan para pekerja kadipaten.

 

Konon, nama-nama jalan di sekitar sini dibuat berdasar jenis perkampungan di masa lalu. Misalnya, Jl. Jagalan yang ditengarai sebagai pusat jagal ternak di waktu itu. Btw kalau nggak salah di sekitar sini juga ada kampung yang di sana ditemukan sumur kuno zaman Majapahit. Tapi saya lupa tepatnya di mana. 

 

 

2. KALISOSOK


Nama ‘Kalisosok’ adalah nama penjara legendaris di Surabaya. Puing bangunan ini masih terletak di kota tuanya Surabaya.

 

Dulu, waktu eyang-eyang pejuang kemerdekaan masih banyak yang hidup, nama bui ini sering disebut dan diceritakan ke kami yang masih kecil-kecil.

“Kalisosok ya … Dulu pernah dipenjara di situ.”

“Kenapa, Mbah?”

“Biasa … ditangkap Belanda.”

 

In frame: bukan Kalisosok, tapi gedung-gedung lawas di sekitarnya. Nuansa kota tua terlihat dari bentuk bangunan dan jendela yang besar-besar khas gaya kolonial. Masih berpenghuni.

 


3. KALIMAS DAN MATARAM



Salah satu sungai besar dan penting di Surabaya yang merupakan sempalan Sungai Brantas. Sungai ini sudah jadi jalur transportasi air sejak zaman Majapahit (untuk masuk ke Mojokerto) dan zaman kolonial.

 

Masih ingat cerita penaklukan dunia oleh tentara Mongol khususnya dinasti Khan? Pertempuran Raden Wijaya, sang pendiri Majapahit, dengan pasukan Mongol utusan Kubilai Khan terjadi di sekitar sungai ini.


Kalimas yang membelah Surabaya
(maafkeun garis animasinya nggak terlalu pas, ngedit di HP)

Nama ‘Kalimas’ punya arti ‘sungai (kali) yang berwarna kuning/keemasan’. Nama ini didapatkan ketika Kadipaten Surabaya sedang berperang dengan Mataram Islam. Saat itu, Mataram Islam yang dipimpin Sultan Agung sedang meluaskan ekspansinya ke Jawa Timur.

 

Pasukan Mataram kesulitan menaklukkan Surabaya karena selain kuat, keraton Surabaya (daerah sekitar Tugu Pahlawan tadi) dikelilingi sungai dan rawa. Mereka pun bersiasat dengan membuang banyak kotoran, termasuk feses manusia, ke Kalimas sehingga airnya kotor dan berwarna kekuningan. Akibatnya, sungai tersebut tercemar sehingga menyebabkan penyakit bagi prajurit dan penduduk setempat.

 

Taktik oldies bioweaponry ini berhasil. Surabaya menyerah.

 

Setelah ditaklukkan dan jadi bagian dari Mataram, beberapa pemimpin Surabaya pun dikirim ke Yogya, pusat Mataram Islam. Salah satunya adalah Pangeran Pekik. Beliau dinikahkandengan adik Sultan Agung dan ikut terlibat aktif dalam pemerintahan sultan.

 

Pangeran Pekik hidup di Yogya sampai meninggal. Beliau dimakamkan di kompleks makam Banyusumurup yang terletak di Imogiri, Kab. Bantul, D. I. Yogyakarta. Tak jauh dari kompleks makam raja-raja. Lokasinya tak jauh dari pertigaan utama ke arah Kebun Buah Mangunan.

 

 

4. JEMBATAN MERAH

Pagar jembatan yang dicat merah tampak di bagian paling kiri dan kanan foto


Selain sebagai penyeberangan melintasi Kalimas, jembatan ini juga dijadikan batas pemisah oleh pemerintah Hindia-Belanda. Bagian barat jembatan merupakan area untuk orang Eropa dan Belanda, sedangkan sebelah timur untuk Tionghoa, Arab, dan Melayu.

 

Makanya bila diperhatikan, gedung-gedung di Jl. Rajawali dan sekitarnya (barat) punya gaya arsitektur ala Eropa, sedangkan area Kyakya dan sekitarnya punya bangunan bernuansa Timur Jauh.

 

Jembatan ini juga jadi saksi penting sejarah perang kemerdekaan ketika Sekutu (Allied Forces) masuk ke Indonesia. Brigjend Mallaby disebut tewas di sekitar sini menjelang pertempuran 10 November.

 

Aaanyway, Jembatan Merah punya lagu yang dibuat oleh Gesang. Keroncong gitu. Liriknya sedih bener, ngegambarin situasi zaman mbah-mbah kita yang ditinggal perang orang terkasih. Coba simak potongannya berikut ini:

Biar jembatan merah

Andainya patah aku pun bersumpah

Akan kunanti dia di sini

Bertemu lagi~

 


5. KYAKYA/KEMBANG JEPUN


Pecinannya Surabaya. Nuansa bisnisnya terasa. Banyak toko dengan pintu folding-gate berteralis berjajar di kanan-kiri.

 

‘Kyakaya’ berarti ‘jalan-jalan’ dalam salah satu dialek Tionghoa (Hokkian, kalau nggak salah *cmiiw). Artinya, tempat ini biasa jadi jujugan untuk jalan-jalan.

 

Namun, ada pendapat lain yang berkata bahwa ‘kyakya’ berarti ‘jalan, jalan!’. Dulu, tempat ini sangat ramai hingga manusia pun berjalan umpel-umpelan. Maka banyak orang berseru, “Kya! Kya!” dengan maksud menyuruh orang di depannya supaya berjalan lebih cepat.

 

Nama ‘Kembang Jepun’ muncul ketika pasukan Jepang datang dan mereka menjadikan tempat ini sebagai jujugan mencari ‘kembang’ *iykwim

 

 

6. HOTEL ARCADIA



Dulu bernama Hotel Ibis. Dulunya lagi, bekas gedung perusahaan Geo Wehry & Co. Ini perusahaan termasuk Big Five di Hindia Belanda pada masanya. Geo Wehry & Co juga punya gedung di kota-kota besar lain, seperti Jakarta dan Padang.



7. SIOLA DAN TP (TUNJUNGAN PLAZA)


Tunjungan adalah pusat jalan-jalan sejak zaman dulu kala, bahkan sebelum ada plaza-plaza yang menjulang tinggi dan sering bikin orang nyasar itu. Demikian juga Siola.

 

Banyak toko; dulu dan kini. Hotel Majapahit/ex-Yamato/ex-Oranje tempat insiden penyobekan bendera Belanda juga terletak di ruas ini. Dengar-dengar, pemkot bakal bikin area ini jadi semacam sentra jalan-jalan.

 

Sama seperti Jembatan Merah, Tunjungan juga punya lagu.

Rek, ayo, Rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan

Rek, ayo, Rek, rame-rame bebarengan

Cak, ayo, Cak, sopo gelem melu aku~

 


8. BALAI PEMUDA


Dekat balai kota. Sering jadi tempat pameran dan rute pawai. Dekat situs sejarah patung Joko Dolog juga. Konon disebut 'Balai Pemuda' karena dulu dijadikan tempat kumpul-kumpul para jongens (pemuda/lelaki Belanda). Macam gentleman clubhouse gitu lah. 

 


9. WISMILAK


Menuju selatan, di persimpangan Jl. Dr. Soetomo dan Jl. Polisi Istimewa, ada hiasan jalan berupa rangkaian kandang burung (tanpa burung) yang dihiasi lampu warna-warni. Di selatan ada gedung yang jelas mencolok karena gayanya yang lebih oldies dibandingkan yang lain. Itulah Grha Wismilak.

 

Sebelum masa kemerdekaan, bangunan ini menjadi toko elit bagi warga Belanda. Kemudian, disewa menjadi Toko Yan. Ketika Jepang masuk, mereka menjadikannya asrama Pasukan Polisi Istimewa (Tokubetsu Keisatsu-tai, sekarang istilahnya Brimob). Ketika Sekutu datang pada ’45, para pejuang diultimatum dan diminta menyerahkan senjata ke sini.

 

Setelah Indonesia merdeka, gedung ini pernah jadi kantor polisi RI. Sekarang, gedung ini menjadi milik PT. Wismilak

(sumber: Grha Wismilak | Wismilak Group)

 


10. PINTU AIR JAGIR

Pintu air untuk mengatur volume air. Termasuk cagar budaya karena dibangun (selesai) pada 1917 (sumber: Pintu Air Jagir - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

 


11. GRAHA PENA

Now the modern time it is!

Salah satu gedung di Surabaya yang ikonik karena bentuk menaranya yang mirip pena. Nggak heran, karena gedung ini milik perusahaan surat kabar Jawa Pos. Tapi, di dalamnya ada beberapa kantor, nggak cuma Jawa Pos aja.

 

Di depan Graha Pena terdapat gedung ‘anak mudanya Surabaya’: DBL Arena. Gedung ini dipakai anak-anak SMP & SMA untuk tanding basket dan suporteran. Biasanya sepulang suporteran anak-anak sekolah ini bakal mampir ke KFC di sebelahnya. Sekarang sih, kayaknya tempat nongkrongnya makin beragam.

 

==========

 

Sekian.

Cerita-cerita didapat dari obrolan, kisah orang-orang tua, virtual tour, dan baca dari beberapa buku dan webpage (yang, maaf, lupa apa aja--bakal ditambahkan kalo udah nemu). Foto dan takarirnya pernah saya jadiin instastory beberapa bulan lalu. Awalnya saya pikir karena cerita tiap tempat (yang saya tahu) sedikit, ngapain ditulis di blog? Tapi akhirnya, "Ya udah nggak apa-apa buat pemanasan nulis lagi", hehe.


Selamat malam. Semoga bisa menikmati Surabaya yang kini sedang dibalut hujan (dan kenangan (?)




Reading Time: