Hijaubiru: CatPer -- Pendakian
Tampilkan postingan dengan label CatPer -- Pendakian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CatPer -- Pendakian. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Oktober 2011

Ekspedisi Semeru : Hari Pertama
Oktober 04, 20110 Comments
Apa yang ada di pikiran kita kalau denger kata ‘gunung Bromo’, ‘gunung Semeru’, dan ‘Lautan Pasir’? Kalau di pikiran saya, sih, yang pertama kali terlintas adalah ‘tempat yang punya pemandangan bagus’ dan pikiran kedua yang lewat adalah ‘ayo kesana’.

Yep, Bromo, Semeru, dan Lautan Pasir yang terletak  di dalam lingkup TNBTS alias Taman Nasional Bromo Tengger Semeru emang punya pemandangan yang nggak perlu diragukan lagi. Karena keindahannya, TNBTS ini bahkan terkenal sampai ke mancanegara. Nggak heran kalau kita ke sana, apalagi ke Bromo, pasti nggak susah nemuin bule-bule yang pengen ngelihat keeksotisan Indonesia.

TNBTS bisa diakses lewat Malang, Probolinggo, Lumajang, dan Pasuruan. Menurut mbah Wiki, taman ini ditetapkan sejak tahun 1982 dengan luas wilayahnya sekitar 50.276,3 ha. Letak astronomisnya adalah 7°51’ - 8°11’ LS, 112°47’ - 113°10’ BT dengan ketinggian mulai 750 meter hingga 3676 meter dpl dan suhu mulai 3°C hingga 25°C.

Nah, beberapa saat yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi TNBTS setelah dua tahun terakhir kunjungan saya yang terakhir ke sana (itu pun dulu cuma Bromo). Kali ini, saya dan rekan-rekan dari SMALAPALA berencana mengunjungi puncak tertinggi Jawa: Mahameru.

-----------------------

Berawal dari proker alias program kerja yang direncanakan awal tahun bahwa SMALAPALA akan mengadakan ekspedisi, maka diputuskan bahwa kami mengadakan ekspedisi ke dua tempat pada waktu yang bersamaan, yakni ke tebing Sepikul di Trenggalek untuk ekspedisi tebing dan ke Semeru di TNBTS untuk ekspedisi gunung. Kedua ekspedisi itu dilaksanakan mulai tanggal 17 Juni 2011. Untuk ekspedisi gunung akan berlangsung selama 4 hari dan ekspedisi tebing selama seminggu.

Oh iya, sebagai tambahan, ekspedisi dalam kamus kami adalah melakukan suatu hal yang berbeda. Jadi, kalau di pikiran orang-orang ekspedisi gunung itu adalah buka jalur dan semacamnya, maka bagi kami yang (meminjam istilah mas Momon) precil-precil, ekspedisi itu adalah melakukan sesuatu di luar kebiasaan. Misalnya ya ekspedisi Semeru ini. Kami namakan ekspedisi karena kami udah lama nggak menapak tanah tertinggi di Jawa.

Hari Pertama: Jumat, 17 Juni 2011
Pukul 6 lebih saya sampai di sekolah dengan carrier biru kesayangan yang selama ini setia menemani. Di sekolah sudah ramai, sudah banyak teman dan senior yang datang. Tapi kabar buruk datang beberapa detik setelah saya menjejakkan kaki di halaman. Meta, salah satu teman atlet ekspedisi gunung, ternyata nggak diizinin berangkat. Tim yang berjumlah 5 orang (mbak Lisa, Nauval, Meta, Cugos, dan saya) pun berkurang menjadi 4 orang. Waktu kami coba tanyakan pada senior kemungkinan melobi ayah Meta, senior bilang sudah nggak ada waktu. Meta terpaksa nggak berangkat. Kenyataan itu sempat bikin down. Meta adalah ‘pemandu sorak’ kami. Kalau nggak ada Meta, sepiiii :’(

Nggak sampai di situ aja. Waktu saya mau pamit ke ortu yang mau berangkat kerja dan dari tadi nungguin saya di gerbang sekolah, saya bertemu Cugos dan langsung ditubruk. Sambil nangis dia bilang kalau nggak diizinin berangkat juga sama ortunya. Oh nooo! Tim atlet pun berkurang jadi tinggal 3 orang.

Setelah itu kami packing ulang, membagi barang kelompok lagi. Ritual packing ini berlangsung hingga sekitar pukul 9. Setelah itu, kami melakukan upacara pelepasan, tanda bahwa sekolah merestui kegiatan kami. Dalam upacara ini wakil dari pihak sekolah adalah pak Chamdi. Sedangkan pak Gun menjadi pendamping kami.

Setelah upacara pelepasan, tim gunung (atlet maupun Support Team) berangkat lebih dahulu, meninggalkan tim tebing yang masih di sekolah. Tujuan kami adalah terminal Bungurasih. Kami naik bemo V ke sana. Nyarter. Nggak mungkin dengan bawaan carrier-carrier segede bantal kami naik bemo V tanpa nyarter karena bemo V notabene selalu penuh. Akhirnya, pukul 09.30 WIB kami berdelapan (mbak Mela, mbak Lisa, mas Dony, mas Wisnu, Nauval, Afi, Nishock, dan saya) berangkat dari sekolah.

Pukul 10.10 WIB kami sampai di terminal Bungurasih. Well, nggak di terminalnya sih, tapi di pintu keluarnya. Rencananya kami langsung aja naik bus yang lewat. Tapi mas Dony menyarankan kalau kami naik bus dari terminal aja, karena kalau kami nyegat bus yang udah jalan pasti penuh dan nggak dapat tempat duduk. Tapi alhamdulillah, nggak lama setelah kami turun, ada bus jurusan Malang yang lewat. Kami pun naik. Dan alhamdulillah lagi, nggak penuh. Jadi kami dapat tempat duduk. Yeee!!! :D

Awal-awal di bus, kami jadi bahan perhatian orang-orang. Delapan orang anak manusia dengan carrier segede bantal (malah ada penumpang yang bercanda, biilang kami pada bawa bom), mau ke mana?

Oke, kelar dengan bus. Perjalanan dengan bus berjalan dengan normal layaknya perjalanan biasa. Setelah melewati Porong, saya dan Nishock sudah lelap. Zzz......

Pukul 12.00 WIB kami sampai di terminal Arjosari. Di sini, perut kami mulai keroncongan. Kami pun memasuki sebuah warung di antara warung-warung yang berjejer di terminal. Karena sudah masuk waktu dhuhur, maka sebagian dari kami pergi shalat. Sebagian yang lain menjaga barang dan memesan makanan. Gantian. Ntar kalau yang shalat sudah balik, yang jaga barang pergi shalat.

Kelar makan, kami mencari bemo yang bisa membawa kami sampai ke Tumpang. Bertemulah kami dengan bemo TA warna putih. Setelah carrier kami diletakkan di atap bemo oleh pak sopir, kami pun masuk.

Eh iya, di sini nama bemo beda sama di Surabaya. Kesimpulan saya aja sih. Soalnya, tiap lihat bemo di sini, pasti ada huruf A-nya. Dan di tulisan jurusan yang menempel di badan bemo, pasti ada ‘Arjosari’-nya. Jadi saya berkesimpulan kalau nama bemo di sini dinamai sesuai jurusannya. Misalnya aja bemo TA yang kami tumpangi. TA adalah singkatan dari Tumpang-Arjosari. Cukup informatif juga. Paling nggak bisa mengurangi presentase salah naik bemo. Hehehe.

Sekitar sejam kami naik bemo. Pukul 14.37 kami sampai di Njero, Tumpang. Di sanalah kami turun. Dan setelah turun barulah kami menyadari satu hal. Itu pun setelah Nauval bilang, “Eh, carrier kita yang ditaruh di atap bemo ternyata nggak ditali lho”.
???????????????????

Wah, ternyata iya! Carrier segede bom itu ditaruh di atap bemo tanpa ditali! Kami semua sampai takjub. ‘Kok nggak jatuh ya?’ Padahal jalan yang kami lalui tadi ada naik-turunnya meski nggak meliuk-liuk banget. Kami berandai-andai, misalnya aja carrier kami itu jatuh dan ngglundung di jalan, menimpa kendaraan di belakang kami, gimana ya? Atau seperti pengalaman mbak Mela yang tenda dome-nya pernah jatuh dari motor dan terlindas mobil sampai sobek, apa carrier kami juga bakalan sobek? Kami sibuk berandai-andai dan ngebahas pengalaman ajaib barusan sambil nungguin jeep yang sudah kami booking.

Sambil nungguin jeep, kami ngabisin waktu dengan berbagai cara. Ada yang ngobrol, ada yang bolak-balik masuk Alfamart buat beli serbet dan jajan, dan ada yang melongo menatap jalan sambil ngabisin susu kotak (baca: saya). Satu hal yang bikin saya heran. Di samping Alfamart tempat saya dkk nongkrong, ada tulisan perizinan ke Semeru. Tapi, di mana tempat perizinannya?

Nggak lama, datanglah sebuah jeep hijau. Setelah menaikkan carrier ke atap mobil kali ini ditali—, kami pun masuk. Lega juga jeep-nya ternyata kap tertutup dan kami bisa duduk. Soalnya tadi udah ngerasani, gimana kalau ternyata kami harus berdiri karena model jeep-nya kayak truk? Waah, nggak deh, dengan beban dan jalan yang meliuk-liuk itu.

Pukul 14.42 WIB jeep mulai berjalan. Di dalam jeep, kayak yang sudah-sudah, kami ngobrol.  Apa aja diobrolin. Mulai dari berasnya mbak Novita (support team tebing) sampai ngejodoh-jodohin mbak Lisa dan mas Wisnu. Sampai pada suatu bangunan bercat hijau yang merupakan kantor pengelola TNBTS jeep berhenti. Mbak Lisa dan mas Wisnu turun untuk mengurus perizinan. Daerah kantor perizinan ini disebut dengan daerah Gubugklakah.

Sekitar 30 menit mengurus perizinan, kelar. Mbak Lisa dan mas Wisnu pun balik ke jeep. Jeep pun berjalan kembali. Nah, pas waktu ini, mbak Lisa memberikan sebuah buku pengantar yang didapatnya dari perizinan pada mbak Mela. Buku itu memuat segala tetek bengek TNBTS. Mulai dari gunung Bromo hingga Semeru. Beberapa info itu antara lain:


  1. Taman Nasional ini terdiri dari pegunungan dan lembah seluas 50.273,3 Hektar. Kawasan yang dibentuk oleh gunung-gunung yang ada di TNBTS ternyata dulunya kawah gunung Tengger. Jadi ceritanya, kawah gunung Tengger meletus dan akhirnya ‘melahirkan’ gunung-gunung yang lebih kecil seperti gunung Bromo (2.392m), gunung Batok (2.470m), gunung Kursi (2,581m), gunung Watangan (2.662m), dan gunung Widodaren (2.650m). Hal ini disebut dengan fenomena kawah dalam kawah (crater in crater) karena di bekas  kawah gunung Tengger muncul gunung yang memiliki kawah (Bromo).
  2. Secara umum iklim di wilayah gunung Semeru termasuk type iklim B Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan 927 mm - 5.498 mm per tahun dengan jumlah hari hujan 136 hari/tahun dan musim hujan jatuh pada bulan November - April. Suhu udara dipuncak Semeru berkisar antara 0 - 4 derajat celsius. (Baca ini jadi inget pelajaran geografi dulu. Dulu di pelajaran geografi juga diajarin jenis iklim). Junghuhn, seorang ahli botani Belanda yang namanya diabadikan sebagai nama iklim (nyeseel kenapa nggak melajarin baik-baik pelajaran geografi dulu yaa?), ternyata pernah mendaki gunung Semeru lewat gunung Ayek-Ayek tahun 1945 dulu.
  3. Tentang legenda gunung Semeru. Jadi menurut kitab Tantu Pagelaran yang ditulis abad 15, dulu tanah Jawa itu nggak labil. Terombang-ambing di lautan gitu. Jadinya, para dewa berkeputusan untuk memindahkan gunung Meru di India untuk ‘memaku’ pulau Jawa. Dewa Wisnu berubah jadi kura-kura raksasa dan meletakkan gunung Meru di atas punggungnya. Dewa Brahma berubah jadi ular dan melilitkan tubuhnya pada gunung tersebut supaya nggak jatuh. Pertamanya, gunung tersebut diletakkan di bagian barat pulau Jawa. Tapi akhirnya bagian timur jadi miring dan terangkat. Akhirnya gunung dipindah ke timur. Bagian gunung yang jatuh bercecer berubah menjadi gunung-gunung kecil. Tapi meskipun sudah ditaruh di timur, pulau Jawa masih aja miring. Akhirnya gunung Meru dibagi dua. Bagian bawah diletakkan di barat laut dan akhirnya jadi gunung Pawitra atau Penanggungan, dan bagian utama diletakkan di tempat gunung Semeru sekarang. Gunung Semeru sampai sekarang masih dipercaya masyarakat Hindu sebagai ayah dari gunung Agung di Bali.
Ehem. Kembali ke perjalanan.

Jeep mulai meninggalkan daerah ramai perkotaan. Sekarang di kanan-kiri jalan yang kami lalui dipenuhi tumbuh-tumbuhan tinggi seperti tebu (mungkin emang tebu kali ye?). Sebentar-sebentar berganti dengan perkebunan apel dengan bunga putihnya yang nampak ranum. Sebentar lagi berganti dengan rumah-rumah penduduk. Ganti-ganti deh pokoknya. Tapi awal-awal perjalanan ini, rumah penduduknya masih banyak.

Sudah agak lama, pemandangan mulai berganti. Rumah-rumah penduduk masih ada, cuma mulai agak jarang. Kanan-kiri jalan sudah jurang. Ngeri, emang. Tapi pemandangannya bikin speechless abis! Kalau kita melongok ke bawah jurang, akan terlihat kebun-kebun penduduk di bukit-bukit yang luas dengan rumah-rumah kecil yang antar rumah jaraknya ada kali 500 meteran. Dari kejauhan terlihat bukit-bukit hijau yang diselimuti kabut.

Dan ini dia: di tengah perjalanan, Lautan Pasir terlihat dari atas. Warnanya buram. Dengan galir-galir seperti aliran sungai di atasnya. Di tengahnya gugusan gunung. Bromo, dengan gagah mengepulkan asapnya. Wuaaahhhh!!!! Kereeen abis pokoknyaaa!!!!! Kami yang waktu itu berada di dalam jeep hanya bisa melongo dan teriak-teriak histeris saking tersepona, eh, terpesonanya oleh pemandangan di samping kami.


Kelar dengan pemandangan speechless, perjalanan berlanjut. Kali ini kami ditakjubkan oleh pemandangan yang ada di film-film romantis yang mengambil setting di pedesaan. Seorang nenek kurus dengan penutup kepala, sambil berjalan, terlihat menggendong sesuatu yang berat di balik punggungnya. Halooo!!! Ini nenek-nenek! Berjalan dengan jalan menanjak naik (banget) yang kami yang naik jeep aja udah terguncang-guncang. Belum dengan beban di punggungnya. Pemandangan selanjutnya memang hanya ada di film-film: jeep yang kami tumpangi berlalu begitu saja dengan menerbangkan debu-debu jalanan (debu beneran, kebal-kebul beneran) warna kuning, meninggalkan nenek itu dengan pandangan kami masih tertuju padanya.

Seolah belum puas membuat kami melongo mengagumi keagungan ciptaan-Nya, alam masih menyuguhkan kami pemandangan lain. Keluar dari hutan, di depan kami terhampar pedesaan. Yep, desa tertinggi di Jawa (2200 meter dpl), Ranu Pani (sering disebut Ranu Pane, akibat lidah orang Jawa yang sering memiringkan ‘i’ menjadi ‘e’). Dengan kebun-kebun, bangunan-bangunan, rumah-rumah, dan dengan gunung yang berdiri tegak sebagai latar belakang, Semeru.

Ohhh, kereeeen :D :D :D :D :D


Kami mulai memasuki desa Ranu Pani. Jangan bayangkan kalau desa tertinggi di Jawa ini merupakan desa tertinggal di mana rumahnya dari gedhek, nggak ada listrik, masaknya pakai kayu, dll. Desa ini terlihat normal (nggak terlihat aja sih. Emang normal), sama seperti desa-desa lain, bahkan seperti desa yang kami lewati sesaat setelah meninggalkan kota tadi. Rumah-rumahnya dari tembok, dicat warna-warni. Listrik? Sudah pasti ada, karena kami melihat tiang listrik di sini. Bahkan ada antena satelit segala di beberapa rumah. Nah, lho, di kota, dalam satu kampung berapa rumah yang punya antena satelit? Iya, di sini pasti pake antena satelit karena kalau nggak, nggak bisa nangkep sinyal TV.

Di sini mata saya mulai asyik melakukan penelitian secara sosiologis (halah!). Kalau nggak salah, ada dua masjid dan satu SD di sini. SD-nya namanya SDN Ranu Pani. Di jalan-jalan mudah ditemui anjing. Tapi anjingnya bagus dan lucu. Rata-rata warnanya putih dengan bulu yang terlihat tebal. Oh iya, pada jam yang udah mendekati maghrib ini, seua penduduk udah pada pake baju tebal. Minimal sarung lah. Makanya, waktu itu mas Dony bilang, “Awak dhewe iki menantang alam yo. Wong kene ae jam yah mene minimal wes nggawe sarung. Lha awak dhewe lho cuma nggawe klambi biasa” (terjemahan: Kita ini menantang alam ya. Orang sini aja jam segini minimal sudah pake sarung. Lha kita ini lho cuma pake baju biasa).

Saking sibuknya ngelihat-lihat fenomena pedesaan, saya sampai nggak nyadar kalau sudah sampai. Sekitar pukul 17.00 WIB kami sampai di pos perizinan Ranu Pani. Setelah menurunkan barang-barang, kami meluruskan kaki sejenak, menikmati keindahan.

Dari pos perizinan yang letaknya lebih tinggi dari danau Ranu Pani, saya bisa melihat ke bawah. Terlihat danau seluas 1 hektar itu memantulkan cahaya cemerlang mentari senja dengan kotoran warna cokelat mengambang di dekat tepinya (belakangan saya tahu dari pak penjaga pondokan SAR bahwa itu alga limbah). Dari tempat saya berdiri, terlihat lapangan sepak bola di tepi danau yang tadi kami lewati. Di kejauhan, bukit-bukit kecil perkebunan yang berwarna hijau memantulkan warna keemasan ditimpa sinar senja. Indaaahh!!!!!! Kayak pemandangan musim panas di desa-desa luar negeri! Tapi yang ini jauuhhh lebih indah karena saya melihatnya di negeri saya sendiri, dengan mata kepala saya sendiri. Subhanallah.....

Setelah selesai shalat, kami mulai mengurus perizinan. Saya kurang tahu seluk-beluknya seperti apa karena saat itu yang mengurus adalah mbak Lisa. Tahu-tahu kami berkumpul nggrundel dan menghadapi selembar kertas berisi list barang. Ternyata, jumlah barang kami pun harus dihitung. Mulai dari baju, jaket, topi, sampai teh dan kopi yang kami bawa. Saya sempat ketawa dalam hati. Mana saya inget jumlah bawaan saya? Ya sudah, dikira-kira aja.

Kelar mengurus perizinan, matahari sudah mulai hilang di balik bukit.

Eh iya, karena kami sampai menjelang maghrib, maka kami nggak diizinkan untuk hiking ke Ranu Kumbolo. Di sini batas perjalanan hanya sampai jam 17.00 WIB. Jadilah kami harus menginap semalam dulu di Ranu Pani. Molor sehari dari jadwal karena tadi berangkatnya pun molor. Menurut jadwal, seharusnya kami berangkat dari Surabaya pukul tujuh.

Kami pun mulai berjalan ke pondokan yang letaknya di tanah yang lebih tinggi di depan pos perizinan. Jangan tertukar ya, karena di situ ada 3 bangunan seperti rumah. Pondok pendaki letaknya bersebelahan dengan pondok SAR dan terletak lebih tinggi dari bangunan yang pertama kita temui.

Di pondok pendaki, kami bertemu dengan pak penjaga pondok SAR, pak Hambali. Kami sempat masuk pondok pendaki dan grepe-grepe dindingnya untuk menemukan saklar lampu. Tapi setelah nggak nemu, kami pun bertanya pada pak Hambali.
“Lha ini pondok pendaki, kok. Ya nggak ada lampunya”.
Oalah.....

Kami sempat disarankan oleh beliau untuk bermalam di pondok pendaki saja, seperti sebuah rombongan dari Jember yang datang bersamaan degnan kami. Tapi kami keukeuh mau mendirikan tenda di luar aja karena pengen beradaptasi dengan suhu sekitar yang konon  sampai minus.
“Iya, di Ranu Pani aja kapan hari itu sampai ada salju,” kata pak Hambali.

Padahal yang saya tahu, salju  baru bisa kami temukan di Ranu Kumbolo. Dari internet saya tahu kalau nge-camp di Ranu Kumbolo dan kita keluar pagi-pagi dari tenda, maka yang kita lihat cuma putih. Kenapa? Karena embun yang nempel di rumput-rumput itu membeku jadi es. Lha kalau kemarin aja sudah ada salju di Ranu Pani, berapa suhu Ranu Kumbolo? Brrr!!!

Sambil mbak Lisa dan Nauval mendirikan dome, saya masak spaghetti. Setelah itu segala kegiatan berlangsung seperti biasa, kayak kalau lagi camping  biasa. Yang nggak biasa adalah suhunya. Di catatan perjalanan ke gunung Penanggungan dulu saya menyebutkan bahwa kami terkena badai di puncak. Suhu di sini tanpa badai pun, sekarang sudah se-freezing suhu Penanggungan saat badai.

Sambil nunggu spaghetti matang, saya menghabiskan waktu dengan main-main ke tenda anak ST (Support Team) di sebelah. Saat berjalan ke belakang dome, saya melihat pemandangan yang agak horor. Di belakang dome kami terdapat pohon besar dan di sebelah pohon itu ternyata ada prasasti, berpahatkan nama seorang pendaki yang meninggal di Semeru. Hii, ngeri!

Lalu jalan-jalan melihat-lihat sekitar pondok pendaki. Ternyata di sekitar situ banyak ditanami bunga-bungaan yang cantik. Ada bunga matahari, hydrangea (bunga yang bisa menentukan asam-basa tanah. Warnanya berubah jadi merah kalau tanahnya asam dan berubah jadi biru kalau tanahnya bersifat basa), dan ada bunga yang hanya pernah saya lihat waktu main game Alice Greenfingers: bungai daisy.
Kelar melihat bebungaan, saya melihat langit. Sudah jadi kebiasaan saya kalau jalan-jalan itu sesekali harus ngelihat langit. Dan bener aja, bintang-bintang di atas nampak gemerlapan seperti permata. Jumlahnya nggak cuma empat-lima kayak di Surabaya, tapi ratusan! Setelah itu saya mencari-cari sang bulan. Eh, ketemu. Di timur, muncul dari balik siluet pepohonan, purnama bundar dengan cahaya kekuningan. Hm... full moon. Romantis juga. Sedikit melankolis boleh laah.

Setelah itu makan sambil bikin api. Sebelum bikin api, kami cari kayu-kayu dulu. Tapi jangan nebang ya, ambil aja kayu yang udah jatuh di tanah. Tapi susah juga karena dikit dan kayunya basah oleh embun. Akhirnya saya nemu tanaman yang udah setengah mati (tinggal batangnya doang) dan  saya minta Nauval memotongnya. Akibat terlalu lama nyari kayu, waktu kami makan, makanannya udah sedingin makanan beku. Ya udah deh.

Setelah itu bongkar muat barang-barang. Packing ulang. Lalu kami evaluasi di tenda. Tapi kami langsung disuruh packing barang dulu oleh kakak Dony karena sudah turun embun. Iya, di sini embun turun rintik-rintik dengan gerakan slow motion seperti hujan. Pemandangan yang menarik dan belum pernah saya lihat! Pantas aja dingin! Sejak sebelum matahari tenggelam aja kalau saya ngomong, keluar uap dari mulut saya. Apalagi waktu udah gelap gini!

Setelah semua barang sudah aman di dome, kami pun pergi tidur. Bertiga, berimpit-impitan di dalam sleeping bag kami masing-masing. Lumayan hangatlah. Selamat malam!

Catatan perjalanan berlanjut di Ekspedisi Semeru: Hari Kedua
Reading Time:

Jumat, 11 Maret 2011

Lindri Land Rock XXI
Maret 11, 20111 Comments
Kegiatan outdoor lagi! Yay!
Pikiran saya langsung melesat kemana-mana saat mendengar bahwa akan diadakan lomba lintas alam pada Februari ini. Lindri Land Rock, lomba yang diadakan setiap tahun pada 14 Februari untuk memeringati ulang tahun mbak Vinas Valentine Lindri Sahputri yang jatuh pada hari kasih sayang itu diadakan di Tulungagung, kota mbak Lindri berasal. Pada tahun ini, Lindri Land Rock yang ke-21 diadakan pada 13 Februari 2011 diadakan di desa Sendang, Argowilis, Tulungagung, kawasan gunung Wilis.
Mendengar kata gunung, apalagi lomba lintas alam, membuat mata saya udah ijo duluan.

Sabtu, 12 Februari 2011
Pagi itu, sudah diinstruksikan bahwa para peserta harus kumpul jam 8 pagi di sekolah. Tapi dasar saya lelet, saya baru datang pukul setengah sembilan. Setelah segala persiapan beres, kami berlimabelas (saya, Ica, Fandi, Nauval, Cholis, Vinca, mbak Gita, mbak Nuri, mbak Ima, mbak Lisa, mas Wisnu, mas Vicky, mas Emer, mas Gez, mas Anwur) pun berangkat ke stasiun terdekat, stasiun Gubeng, dengan . . . berjalan kaki.
Setelah membeli tiket, kami menunggu di peron. Wik, saya baru pertama kali ini masuk stasiun kereta api. Ternyata stasiun Gubeng gede juga ya.

Di tengah-tengah penantian itu, datanglah senior, yaitu mas Tahu yang ternyata ikut ke Tulungagung. Setelah itu, datang pula mbak Prompti dan seorang laki-laki yang belakangan diketahui bernama mas Alge, yang ternyata juga ikut ke Tulungagung.
Menurut tiket, kereta akan datang pukul 11.15 WIB. Untung alhamdulillah, jam karet kereta yang sejak awal sudah saya pikirkan ternyata tidak ada. Kereta datang pas pukul 11.15 WIB. Kami langsung naik dan mencari-cari gerbong yang sekiranya cukup untuk kami. Kami bertujuhbelas mendapat satu gerbong untuk kami. Di dalam perjalanan, kami mengisi waktu dengan ngobrol-ngobrol.
Karena ini perjalanan pertama saya dengan kereta, maka saya selalu menelengkan kepala ke arah jendela untuk mendapatkan pemandangan di luar. Tapi meskipun rada asyik (dan rada melodramatis), pemandangan di luar cenderung monoton. Kalau nggak sawah, kebun, ya pemukiman. Akhirnya saya pun bosan dan mengalihkan pandangan ke mbak Lisa yang sedang asyik bermain Plants vs Zombie di laptopnya.
......................
Di stasiun Kertosono, kami makan siang dengan pecel dan salat jama'-qasar dhuhur-ashar. Setelah shalat, kami melanjutkan obrolan. Saya yang sedianya tidur, akhirnya karena kereta sudah ramai, tidak bisa tidur. Gimana nggak ramai, di tiap stasiun pasti ada yang naik. Dan kalau diperhatikan, rata-rata yang naik itu:
-bawa carrier atau,
-pake celana kargo atau,
-pake celana doreng atau,
-bawa lambang organisasi pecinta alamnya atau,
-tampang-tampan para pecinta alam yang sangar atau,
-paket combo kelimanya.
Jadi kami bisa langsung simpulkan, bahwa tujuan mereka juga Tulungagung, untuk mengikuti LLR (Lindri Land Rock) XXI ini.
Jadi, para pecinta alam berkumpul di satu gerbong. Jadi, gerbong tempat kami berada rame banget karena para anak PA itu saling bicara dengan kerasnya. Apalagi kalau sudah ngobrol bareng satu gerbong, wuah, rame banget. Apalagi, karena waktu itu ada yang 'ngomporin' buat selalu ngobrol: seorang mbak-mbak berjilbab yang sangat supel, saking supelnya sampe semua orang di dalam gerbong diajak kenalan.
Aaanyway..........
Sampailah kami di stasiun tujuan dan langsung disambut hujan deras begitu keluar dari kereta. Kami memang sebelumnya sudah tahu bahwa di Tulungagung sedang hujan dari SMS mas Eko. Hal inilah yang sempat membuat saya downdy karena berpikir, "Wah, lomba lintas alam pas hujan-hujan, pasti berisiko nih". Negative thinking duluan.
Setelah turun, kami menuju bagian depan stasiun. Menunggu oom Putut (koordinator Surabaya). Lalu kami berjalan ke terminal untuk mencari kol yang akan mengantarkan kami sampai ke lokasi lomba. Lumayanlah, ngelurusin kaki setelah berjam-jam duduk kelipet di kereta. Walau jaraknya lumayan jauh, sehingga saya dan Ica menganggap ini adalah 'try out' untuk Lindri.
Sampai di terminal, sudah banyak para peserta Lindri yang sudah antre. Rombongan saya pun akhirnya mendapat kol dan berangkat urutan dua dari terakhir. Udah lama nunggu, di kol pun masih bersesak-sesakan ria. Tapi untungnya pemandangan yang ada di luar cukup menghibur. Pemandangan udah nggak kayak di kereta yang melulu sawah polos dan pemukiman, tapi ada sawah dengan latar belakang langit warna lembayung jingga, ada sawah dengan background gunung, ada rumah-rumah khas pedesaan, ada jalan sepi dengan pepohonan rimbun di kiri-kanan jalan. Waaah, keren sekaleee!

Maghrib kami sampai di lapangan basecamp. Kami langsung daftar ulang, mendirikan dome, lalu shalat di mushalla dekat lapangan, makan malam, dan akhirnya tidur untuk menghemat energi.
Eh, kelupaan. Karena lapangan tempat basecamp tidak cukup untuk peserta yang bejibun, maka ada peserta yang dititipkan di rumah penduduk. Jadi rumah penduduk itu jadi semacam 'hotel'-nya gitu. Melongo saya melihat bendera-bendera PA yang jauh lebih gede daripada bendera kami. Apalagi nama-namanya pun.... suangar-suangar, hehehe.
Pukul 23.00 WIB kami dibangunkan untuk mempersiapkan peralatan. Dengan mata merem-melek, saya menyiapkan alat-alat seperti senter, ponco, baterai ganti, dll.

Pukul dua belas kurang, semua peserta sudah berkumpul. Ayah mbak Lindri membuka lomba ini dengan kata pengantar. Setelah itu, pukul dua belas lebih sedikit, para peserta dipersilahkan berangkat. Urutan keberangkatan dimulai dari individu putri, nomor urut 1-100. Karena saya nomor 11...(lupa), maka saya berangkat kloter kedua.

Minggu, 13 Februari 2011
Medan awal berupa jalan berbatu dengan rumah-rumah penduduk di sekelilingnya yang pelan-pelan menjadi jalan tanah yang licin. Medannya lumayan menantang bagi saya, karena pada dasarnya udah licin ditambah medannya berbatu naik-turun.
Dan dasar sial! Baru jalan dikit aja, senter saya udah error. Cahayanya mendrip-mendrip. Karena masalah senter inilah, saya akhirnya tertinggal dari Ica. Dan di tepi sebuah sungai, senter saya mati,ti,ti,ti. Mampus. Di tepi sebuah sungai kecil saya langsung berhenti dan mengganti baterai. Sempat deg-degan juga ditegur seorang panitia, "Senternya mati, Mbak?". Haduh, kalau peralatan sudah error gini, gelar juara jelas sudah lepas. Karena syarat lomba ini adalah peralatan harus lengkap dan benar. Jika tidak, maka didiskualifikasi.
Setelah ganti baterai, saya melanjutkan berjalan berbarengan dengan kloter tiga. Saya jadi kepalanya, sempat bingung nyari jalan. Takut kalau kesasar. Benarlah, saat melewati sebuah sawah dengan terasering, saya jalan terus. Padahal harusnya belok kanan. Untung, kloter dua ternyata nyasar juga. Jadi saya bisa ambil waktu yang lebih cepat daripada mereka buat puter balik, hehehe.
Melewati kayu yang difungsikan sebagai jembatan dengan sungai yang mengalir deras di bawahnya, saya sedikit takut. Jadi ya, jalannya pelan-pelan. Alhamdulillah, kelar melewati sungai, saya bertemu dengan Ica. Akhirnya kami berjalan bersama-sama sepanjang perjalanan.
Nah, masalahnya, saya dan Ica sama-sama mbambet-nya. Jadilah sepanjang perjalanan udah nggak kehitung berapa kali kami break down sampai kesalip oleh mas Vicky dan mas Wisnu. Bahkan rombongan mbak GIta, mbak Ima, dan mbak Nuri menyalip kami. (Tapi versi resminya, kami emang sengaja nunggu yang lain :D *membela diri*).
Akhirnya, entah pukul berapa, sekitar pukul tiga gitu, kami sampai di pos 1. Setelah memasukkan 'kupon', kami break down (again). Di sana bertemu dengan rombongan mbak Gita, mbak Ima, dan mbak Nuri. Setelah itu, kami berjalan bersama-sama sepanjang perjalanan.
Medan selanjutnya alhamdulillah tidak begitu sulit. Hanya licin dan sedikit becek. Tapi gradiennya oke-oke aja kok, alhamdulillah nggak gitu ngeri.
Nah, bersama dengan rombongan mbak-mbak ini, kami menyadari bahwa kami sama-sama mbambet (hehehe, maaf ya Mbaaak). Beberapa kali kami break down. Bahkan sempat-sempatnya saya tidur telentang menghadap langit hitam penuh gemintang saat break down di dekat pepohonan, hehehe. Habis, udaranya sejuk, pemandangannya bagus (meskipun cuma siluet doang, tapi kuerennya subhanallah!), kenapa nggak dinikmati? Jarang-jarang lho, dapat pemandangan kayak gini.
Sampai di pos 2, hari sudah shubuh. Kami menunaikan shalat shubuh dan wudhu dengan bekal air di botol kami. Hadech, dingiiiin betuuuul! Udah pada dasarnya emang udah tambah dingin, bersentuhan dengan air?
Kelar shalat shubuh. Kami melanjutkan perjalanan. Tapi...oh...ada antrean panjang di depan. Setelah tanya ke peserta lain, ternyata di depan ada SATU tali tambang untuk menyeberang jurang. SATU tali tambang dan dipake sekitar LIMA RIBU orang. Pantesan lama.  Akhirnya, karena kami nggak sabar nunggu mulai jam 5 sampai jam 6 (itu masih lumayan, mas WIsnu udah nunggu dari jam 3 sampe jam 5), kami mengikuti banyak peserta yang memilih mengambil jalur sendiri menuju seberang jurang, tidak menggunakan tali. Babat jurang, hwehehe.
Nah, setelah babat jurang ini, kami menyeberangi beberapa sungai. Keren sih, sungainya. Jernih banget dengan batu-batu besar hitam tersembul dari dasarnya. Alhamdulillah juga nggak dalam. Tapi ya tetep aja, namanya sungai di hulu, alirannya deres banget. Udah ketar-ketir aja takut kintir. Makanya tiap nyeberang sungai,  para mbak selalu membantu saya (terima kasih banyaaak!!!)
Setelah melewati beberapa sungai itulah, kami menyadari bahwa rombongan mas Anwur, mas Emer, dan mas Gez sudah berada di belakang kami. Wah, kami nggak mau kalah dong! Saya dan Ica langsung salip sana salip sini demi membalap ketiga orang dengan kategori beregu putra itu. Tanpa sadar, kami meninggalkan mbak-mbak kami (maaf :( ). Tapi karena pada dasarnya saya dan Ica baik hati *pembelaan diri :P*, maka kami mempersilahkan rombongan para lelaki itu menyalip kami.
Kelar dengan medan hutan, kami memasuki persawahan dengan perkampungan. Pemandangan terasering, sawah, irigasi, sungai kecil, jembatan kayu, menjadi pemandangan wajib di setiap meter medan ini. Kembali, kami harus menyeberangi sungai-sungai. Untunglah, di beberapa sungai, sudah tersedia jembatan. Dan di beberapa sungai lainnya yang tidak ada jembatan, saya dan Ica asyik bermain air. Tapi ya gitu, di beberapa medan, licinnya nggak ketulungan dan gradiennya miring banget. Jadinya sering 'ski tanah' alias jatuh kepeleset.
Kelar dengan persawahan, kami sampai di pos 3 dan mulai menelusuri medan hutan Di hutan ini, ada beberapa jenis tanaman yang terlihat disadap. Hipotesa saya dan Ica sih, itu karet. Kami juga menemukan beberapa buah pinus yang jatuh. Wah, kok ada hutan konifer di Indonesia ya? Padahal kata guru Geografi saya, hutan konifer hanya ada di negara 4 musim.
Kelar dengan hutan, kembali memasuki area persawahan (tanpa perkampungan). Melewati beberapa sungai dan irigasi. Nah, di tepi irigasi nih, ada peristiwa lucu.
Jadi ceritanya ada beberapa pohon kelapa di tepi jalan yang kami lalui. Beberapa peserta yang sudah ndewo berhenti dan meminum airnya. Nah, tepat di samping pohon kelapa, ada sebuah tanaman setinggi 1 meter yang buahnya hijau-hijau kecil bulat seperti kacang polong. Nah, karena saya nggak tau nama tumbuhan ini, saya bertanya pada  Ica, "Eh, Ca, itu tumbuhan apa ya? Kok lucu gitu, ijo-ijo bulet". Dan seorang peserta laki-laki seumuran saya di belakang saya yang sebelumnya sudah berkenalan dengan saya menjawab, "Itu pohon kelapa, Mbak". Saya langsung diem, gondok. Aduh Mas, saya juga tahu itu kelapa. Jangan karena saya orang kota, saya dikira nggak tahu kelapa. Miskom. Misunderstanding. Blah. Isin pol.
Di depan gang keluar sudah ada mas Vicky dan mas .... (lupa). Saya berjalan duluan meninggalkan Ica menuju basecamp. Meskipun teman, ini lomba. Setelah sampai di lapangan, saya menuju dome. Di sana sudah ada beberapa senior yang sepertinya datang tadi malam atau tadi pagi.
"Lho, kon lapo mrene?" tanya seorang senior.
"Lha, lak wes mari?" tanya saya nggak ngerti.
"Yo nang panitia kono lho! Njupuk-o sertifikat dhisik, cek dicatet jenengmu! Rono!"
Saya menuju meja panitia. Menyerahkan nomor, mendapat sertifikat, dan balik ke dome. Di dome, dipersilahkan minum susu sapi perah satu botol Aqua gede (tapi nggak saya habiskan semuanya ya).
Setelah itu, saya dan Ica mandi di rumah penduduk, sarapan, dan meng-GJ ria sambil menunggu rombongan Fandi, Cholis, dan Nauval datang. Heran, kami mengestimasi mereka datang sebelum saya dan Ica, tapi mereka baru datang pukul sebelas karena...macet (wah, baru tahu saya, di hutan ada macet segala). Mereka mengatakan kalau sejak awal start memang sudah macet, dan kemacetan di tali tambang menambah kemacetan.
Setelah semua sudah mandi, sarapan, packing, kami berangkat ke stasiun dengan kol. Sampai di Surabaya maghrib, dan itung-itungan urunan di luar stasiun sambil ndelosor. Setelah itu jalan kaki ke sekolah dengan mengenakan ponco karena saat itu lagi hujan. Jadilah perjalanan pulang kali ini kami namai 'City Land Rock'. :D

Reading Time:

Rabu, 16 Februari 2011

Pendakian Pertama : Penanggungan!
Februari 16, 2011 4 Comments
Tanggal 21 Januari 2011 lalu, saya bersama rekan-rekan dari SMALAPALA mengadakan pendakian ke Penanggungan. Yah, kegiatan pendakian perdana awal tahun bagi SMALAPALA. Rencananya, pendakian ke gunung berketinggian 1659 dpl ini hanya selama dua hari, yaitu sampai Sabtu, 22 Januari 2011. Namun apa daya, ternyata rencana itu mbleset dan perjalanan kami pun diperpanjang sampai hari Minggu, 23 Januari 2011.

Jumat, 21 Januari 2011

Rencananya kami berangkat setelah maghrib. Tapi entah kenapa jamnya berubah menjadi setelah ashar. Pukul 14.00 WIB saya baru sadar saya mendapat SMS dari salah seorang rekan yang intinya saya harus segera ke sekretariat PA karena kami akan segera berangkat selepas ashar. Wuah, kaget dong! Karena saat itu saya masih ada di masjid sekolah buat pengajian rutin. Segera setelah pengajian selesai, saya langsung shalat ashar lalu ngabur ke sekretariat.
 Setelah ngabur ke sekretariat, bersama teman-teman yang satu angkatan, saya ngabur ke kantin dulu. Ngisi perut. Di sana bertemu Cugos dan temannya. Dan Cugos bilang dia mau ikut! Yay, bertambah satu deh peserta pendakian kali ini. Setelah makan dan memastikan barang-barang bawaan kami beres, kami membantu Cugos mengumpulkan barang bawaannya sedangkan dia sendiri pulang mengambil baju.
 Setelah menggelar upacara pembukaan pendakian, dan ditutup dengan tangis-tangisan dengan teman yang tidak boleh ikut, akhirnya kami pun berangkat pukul 16.30 WIB dengan mobil mas Momon. Berdesak-desakan berdelapan orang di dalam mobil ialah : mbak Nurma, saya, Cugos, Echa, Nishock, Cholis, Afi, dan mas Momon. Sedangkan yang lain (mas Wisnu, mas Vicky, mbak Lisa, mbak Novita, mas Eko, mas Cempi, mas Gales) mengendarai motor. Di dalam perjalanan, kami tiduuurrrr (kami yang ada di mobil maksudnya), membiarkan mas Momon dalam kesendiriannya menyetir mobil.
 Selepas isya kami akhirnya sampai di perkampungan kaki gunung Penanggungan. Di sana kami mengisi perut di warung yang sudah menjadi langganan SMALAPALA-PALAWIJA kalau bertandang ke Penanggungan, yaitu warung Mak Ti. Salat, makan, lalu kami tancap gas menuju ke pos Jolotundo.
 Sampai di pos Jolotundo, kami menyiapkan barang bawaan, mengecek senter dan lain lain, dibariskan, lalu kami saling menumpukan lengan, membentuk bundar lingkaran, dan berdoa berbarengan demi keselamatan perjalanan (saya baru nyadar bahwa kalimat di paragraf ini membentuk rima a-a-a-a). Pukul 22.10 WIB, bertigabelas (tanpa mas Gales), perjalanan pun dimulai!
Alhamdulillah, jalannya nggak sulit. Yah emang ada beberapa bagian yang licin, tapi alhamdulillah semua itu bisa diatasi. Jalannya juga nggak curam, jadi bisa nyantai jalannya. Karena jalannya nyantai, saya manfaatkan keadaan ini buat ngelihat-lihat pemandangan sekitar. Sekitaran emang gelap. Tapi kalau saya lihat ke atas, subhanallah, yang ada langit biru gelap dihiasi lingkaran besar bulan yang sedang purnama, dengan siluet hitam pepohonan yang menjulang tinggi ke langit. Woaah, keren banget dah! Sampe speechless saya, ternyata pemandangan yang selama ini cuma bisa saya lihat lewat hasil googling-an, sekarang bisa saya lihat dengan mata kepala sendiri!
 Tapi tiba-tiba terjadi musibah. Kaki mbak Novi sakit dan nggak bisa dipakai jalan. Jadilah kami break down sejenak. Memijit-mijit kaki mbak Novi, menenangkannya, dan memberi kata-kata penyemangat. Akhirnya mbak Novi pun berjalan kembali. Namun selang beberapa meter, kaki mbak Novi kembali error. Begitu seterusnya sampai satu yang paling parah, mbak Novi udah ngerasa nggak bisa, sampai ditawari mas Cempi buat bikin dome di situ, sampai hampir disuruh balik oleh mas Eko, sampai Cugos merelakan diri buat jadi sandaran mbak Novi selama perjalanan, dan sampai-sampai yang lainnya, alhamdulillah akhirnya mbak Novi mau melanjutkan perjalanan. Biarlah kaki error, semangat yang menggerakkan bagian tubuh yang lain untuk maju.
 Cobaan kedua. Jalur Jolotundo ini katanya emang jalur ‘mistis’. Saya nggak tahu maksudnya mistis apaan, cuma emang rada ngeri karena jarang dilalui orang sehingga jalur-jalur yang terbentuk mulai hilang. Contohnya nih, waktu kami ngikuti sebuah jalur, eh, tiba-tiba di tengah jalan jalur itu putus, tiada jejak. Setelah beberapa orang mengecek ke depan, barulah ditemukan sambungannya. Jalur putus ini bukan hanya disebabkan oleh jarangnya orang yang melewatinya aja, namun juga karena hutan ini vegetasinya cepat. Kata mas Cempi, kalau tahun ini kita bikin jalur trus tahun depan kita ke sini, insyaallah yang namanya jalur yang kita buat udah nggak ada lagi karena udah ditutupi pepohonan dan semak-semak.
 Beberapa kali kami sempat kehilangan jalur sama sekali. Dicari ke depan, nggak ada terusannya. Akhirnya mbak-mas kelas 11 melakukan ormed (orientasi medan, mencari arah yang benar lewat peta dengan menghitung sudut dan lain-lain). Setelah ketemu arahnya, mas Vicky bergantian dengan Afi membuka jalur.
Perjalanan begitu terus. Mastiin arah, buka jalur, jalan, mastiin arah lagi, buka jalur lagi, jalan lagi. Tapi percaya deh, asyiiik banget! Soalnya pengalaman kita bertambah. Ilmu kita juga bertambah, yaitu penerapan ormed dalam perjalanan yang sesungguhnya. Dan tentunya koleksi pemandangan kita bertambah. Begitu posisi kami udah agak tinggi, lampu-lampu kota di kejauhan pun terlihat. Warna-warni. Kelap-kelip. Kuereeeen!!!!

Sabtu, 22 Januari 2011

 Pukul 02.30 WIB, dini hari, kami sampai di sebuah kompleks candi (gunung Penanggungan ini penuh dengan puluhan candi yang dibangun zaman Majapahit). Di situlah kami mendirikan dome karena ternyata perjalanan ke puncak masih jauh dan kami, kelas 10 yang masih pemula, sudah tepar setepar-teparnya. Ngantuk. Pengennya cepat pake jaket tebal terus merangsek masuk ke dalam dome dan tidur pulasss.
 Nah, bertambah satu ilmu lagi nih. Yaitu mendirikan dome. Karena saya dan teman-teman yang pernah tergabung dalam Pramuka sudah lama tidak mendirikan dome (saya terakhir mendirikan dome waktu kelas 5 SD), akhirnya kami harus mereka-reka dibantu mbak-mas kelas 11.
 Dome pun jadi. Barang bawaan ditata. Kami pun bersiap-siap untuk tidur. Dome yang baru saja kami bangun khusus diperuntukkan para perempuan. Sedang yang cowok tidur di luar, baik dengan matras ataupun sleeping bag. Para senior (mas Cempi dan mas Eko) tidur di dome mereka. Yang ndewi adalah mbak Lisa. Mbak Lisa nggak tidur di dalam dome cewek, tapi malah nggak tidur dan duduk di luar.
 Sudah, sudah, ayo tidur...... Zzzzz......
 Subuh kami bangun. Setelah salat shubuh ditemani udara yang dingin kayak masuk di dalam kulkas, kami membuat sarapan. Mie rebus dan kopi cukup membuat ngiler (inget, ini di gunung. Makanan sederhana itu sudah enak banget. Ke jurang aja dah, kalo pengen sarapan pizza. Kecuali emang bawa). Setelah sarapan, melipat dome, packing, ormed sebentar, dan pukul 07.30 WIB akhirnya kami tancap gas menuju puncak.
Selama perjalanan merupakan saat-saat kami melihat layar lebar dibentangkan di depan kami, lalu ditampilkan pemandangan yang berbeda setiap slide-nya. Yah, perjalanan pagi itu memang kayak begitu. Setiap beberapa ratus meter, pemandangan di kanan-kiri kami selalu berganti. Ada monyet liar sedang bergelantungan, suara anjing hutan, menemukan sarang lebah segede carrier di atas pohon, menemukan candi dan cand i lagi, menemukan sebuah pohon yang buahnya seperti ceri tapi warnanya seperti jambu air, melewati Kali Mati (sungai yang sudah tidak dialiri air), memandang gunung sebelah yang tebingnya terlihat dan membuat kami berpikiran untuk rock climbing di situ, naik-turunnya medan berbatu dan berkarang. Hingga akhirnyaa.... sampailah kami di puncak. Allahuakbar!

 Di bawah kami, terdapat sebuah tanah datar yang menyerupai lapangan. Ternyata, lapangan itu dulunya adalah kawah gunung Penanggungan. Setelah berfoto sejenak, kami menuju ke sebuah gua kecil di sisi kawah. Rencananya, di situlah kami bakalan nge-camp.


 Setelah menaruh barang-barang, kami menuju sisi puncak Penanggungan yang tertinggi, yaitu puncak jalur Tamiajeng. Di sana, kami melakukan salat jama’-qashar dhuhur-ashar. Anginnya, duh, bikin beku badan. Ponco yang kami gunakan sebagai sajadah harus ditindih batu besar supaya nggak kebat-kebit. Buat yang cewek, harus memegang mukenanya kuat-kuat supaya mukenanya nggak terbang. Nah, saat kami sedang khusyuk-khusyuknya shalat, hujan rintik-rintik pun turun. Waktu kami sudah selesai shalat dan akan kembali ke gua, hujan pun sudah turun dengan lebatnya.
 Sampai di depan gua, 2 dome sudah berdiri. Tas-tas segera kami taruh di sisi-sisi dome agar dome tidak diterbangkan angin. Habis, anginnya ngeri. Kenceng banget, kayak angin ribut. Setelah mengamankan barang bawaan, kami pun bisa duduk dengan tenang di dome dan makan pilus.
 Namun ketenangan tidak berlangsung lama. Saat saya menyadari bahwa air hujan masuk ke dalam dome lewat bawah tenda, juga lewat bagian dome yang tidak tertutup cover, kami semua baru nyadar bahwa kami belum membuat parit di sekeliling dome. Susah payah mengamankan bagian tengah dome, pada akhirnya kami ngungsi juga ke gua. Barang bawaan yang tidak boleh basah dan sekiranya kami butuhkan nantinya, kami keluarkan dari dalam carrier dan kami letakkan di ujung gua berukuran 3x3 meter itu.



 Sempat down juga kena badai. Ini pendakian pertama, dan langsung kena badai. Dengan santainya senior bilang, “Kalian waktu diklat nggak hujan toh? Nah, sekarang ini hujan. Supaya kalian juga ngerasain, hujan di alam itu gimana”. Iya, deh, Mas.
 Kami makan siang di gua . Makan siang yang udah dingin karena udah matang daritadi itu mengisi perut kami yang keroncongan dan kedinginan. Setelah makan siang, kami mengisi waktu dengan saling bercerita. Kakak kelas bercerita tentang diklat mereka, senior bercerita tentang pendakian-pendakian mereka, dan kami mendengarkan dengan antusias. Kami juga saling menjaga agar di antara kami tidak ada yang tidur. Soalnya, baju kami basah. Mana udara dingin. Kalau tidur, bisa-bisa kena hypothermia (penyakit badan beku karena kedinginan. Kalau kebablasan, bisa menyebabkan kematian). Karena kalau manusia tidur, panas tubuhnya akan lepas. Akhirnya badannya dingin, tambah dingin, beku, dan pada akhirnya meninggal. Dalam beberapa kejadian, bisa menyebabkan cuma beberapa bagian tubuh aja yang beku. Itu aja bagian tubuhnya harus diamputasi supaya nggak merembet ke bagian tubuh yang lain.
 Back to the topic.
 Menjelang maghrib badai selesai. Beberapa kakak kelas dan senior keluar gua untuk mengamankan barang-barang. Meskipun badainya udah selesai, tapi dinginnya, wah, freezing! Saya cuma mengeluarkan sebagian lengan keluar gua, dan bulu-bulu halus saya langsung berdiri. Akhirnya setelah beberapa saat, saya memberanikan diri keluar gua. Yang lain akhirnya juga keluar, pergi ke bagian yang lebih tinggi untuk mencari sinyal. Wuih, dari ketinggian, lampu kota yang kelap-kelip kelihatan lebih indah dari permata (ceile...).


 Pukul 20.00 WIB, karena beberapa teman harus pulang secepatnya, kami pun akhirnya bersiap-siap. Packing, melipat dome, dan lain-lain. Pukul 21.20 WIB kami sudah siap untuk turun gunung.


Minggu, 23 Januari 2011
 Kami turun melalui jalur Tamiajeng. Jalurnya lebih cepat, katanya, tapi lebih curam. Jalannya berbatu-batu dan berkarang-karang. Kami sudah ngantuk. Bahkan ada beberapa orang yang jalan sambil tidur (dan hebatnya, mereka tidak jatuh ataupun cedera. Yah, kalau jatuh ada sih. Maksudnya, tidak cedera saat jatuh). Jarak antar orang rasanya semakin jauh, kecuali orang-orang yang jalannya cepat. Berkali-kali break down dan break up untuk menunggu orang yang berjalan di belakang. Beberapa orang sudah kelihatan downdy. Tidak terkecuali saya, yang baru beberapa ratus meter turun dari puncak aja sudah ‘digampar’ batu di lutut dan kepala saya. Belum jatuh-jatuh kalau jalannya licin atau curam. Mata pun rasanya udah dikantongi terigu satu ton dan pengennya buka dome aja.
 Pfiuh, rasanya lega banget waktu mas Vicky bilang, “Ayo, makadamnya seratus meter lagi!”. Wah, mata saya langsung berbinar dan bersinar, otak saya rasanya fresh, rasanya jalan udah semangat lagi. Akhirnya, saat kami sudah mendekati perkampungan, jalannya mulai landai dan berubah makadam (jalan berbatu). Melewati beberapa ladang tebu, jagung, dan rumah tak dihuni, akhirnya sampailah kami di jalan beraspal. Shalat shubuh yang udah lama lewat, lalu melanjutkan perjalanan ke warung Mak Ti.
Kami mandi dan sarapan. Sarapan viking, kalau saya bilang. Sarapan banyak-banyak, karena udah dua hari nggak ketemu nasi dengan lauk yang wah. Meneladani kakak-kakak kelas yang begitu turun gunung langsung minum soda, saya dan satu angkatan pun langsung memesan es mega mendung (sueger!). Tapi kalau kami hanya memesan satu gelas, kakak kelas memesan dua gelas! Kalau kata mas Momon, kami pasti lega karena sudah kembali ke peradaban.
Setelah badan sudah bersih dan perut sudah diisi, kami pulang ke Surabaya. Di sekolah, langsung menggelar upacara penutupan. Pendakian pun berakhir.
Reading Time: