Mematikan Lilin - Hijaubiru

Jumat, 20 Oktober 2023

Mematikan Lilin


Di lingkungan sekitar rumah, ada banyak kucing liar. Kucing-kucing ini emang biasa keluar-masuk halaman rumah orang, termasuk numpang tiduran atau main sebentar. Para warga pun nggak masalah. Kadang mereka malah dikasih makan atau diajak main. Masalahnya baru kalau pada ribut berantem atau BAB/BAK sembarangan. Kalau itu, barulah hewan-hewan berbulu ini dibubarkan supaya nggak mengganggu ketenteraman publik.

 

Dari sekian banyak kucing yang seliweran dan main ke tempat tinggal saya, ada satu yang rutin ‘bertamu’. Sebut aja namanya si Putih. Selain paling sering bertamu, dia juga yang paling sering ngendon di depan rumah. Kalau yang lain leyeh-leyeh beberapa jam aja, dia bisa ngendon sejak pagi sampai sore, kadang sampai malam. Dan, di antara yang lainnya, si Putih ini yang paling manja. Baruuu aja kami buka pintu, dia udah ngeong-ngeong. Minta dipuk-puk lah, minta dikasih makan lah, terus gelendotan di sekitar kaki lah.

 

Sebenarnya mau bermanja-manja juga nggak apa-apa. Toh, semua kucing kami perlakukan sama dan setara (ceilah!): sama-sama dielus-elus, sama-sama diajak main, saat kasih jajan dan adanya sedikit ya semua dikasih sedikit/ada banyak ya semua dikasih banyak, kalo reseh ya semuanya kena marah.

 

Masalah muncul kira-kira dua minggu belakangan.

Saat itu, ada beberapa anak kucing/kitten yang muncul di kampung. Nggak kecil-kecil banget, sih, udah agak gede dan kelihatannya udah bisa eksplor sekitar/cari makan sendiri. Entahlah ini ada induk yang baru nyapih anaknya atau (seperti desas-desus tetangga) ada orang yang buang kucing.

 

Nah, salah satu kitten ini ada yang main ke rumah. Awalnya kayaknya nyasar karena masih takut-takut; timid sekali. Setelah diajak main, dia mulai berani dekat-dekat. Ini anak lucu banget! Mari kita sebut si Belang. Si Belang memang nggak terlalu gembul kayak anak kucing di video-video viral, tapi raut mukanya… polos.

 

Adik imut ini anteng dan penurut. Maksudnya nggak reseh dan clingy gitu. Mana ada satu kejadian yang bikin terharu: ketika dia main di jalan depan, kemudian saya yang nggak sengaja ngelihat keluar ngelihat dia, lalu saya panggil, kemudian dia yang sebelumnya nampak jalan sambil plonga-plongo ngelihatin sekitar langsung lari-lari kecil menghampiri saya sambil ngeong pelan lalu merem-melek saat saya puk-puk. Duh, melting saya…. Ini anak imut sekali! Mana suaranya kalau ngeong tuh pelaaan banget. Siapa yang nggak gemes, coba! Tampak plonga-plongo belum tahu kejamnya dunia dan tanpa dosa.

 

Sedihnya, dia akan segera tahu kejamnya dunia. Hiks.

Dan ‘kekejaman’ itu berasal dari si Putih.

 

Awalnya saya kira semua fine aja. Dengar-dengar kucing itu hewan teritorial alias punya daerah kekuasaan sendiri-sendiri. Tapi ngelihat kucing-kucing yang selama ini mampir rumah dan oke-oke wae, saya kira hubungan mereka pun baik-baik aja. Toh biasanya nampak si Putih dan 1-2 kucing lain goleran bareng di teras dalam jarak dekat. Dan nggak berantem. Jadi saya pikir si Putih cukup welcome.

 

Nope.

 

Kali kedua si Belang bertandang, si Putih emang tampak penasaran. Mereka saling mengendus (kenalan kali, ya?). Lalu si Belang lari menjauh. Pikir saya, ‘Oh mungkin karena anak baru, masih takut-takut’. Pertemuan selanjutnya agak dramatis. Setelah si Putih mengendus si Belang, dia nabok si kecil! Ya ampun. Kami refleks berseru, “Heh, nggak boleh!” Namun si Belang udah keburu lari. Waktu itu kami masih berprasangka baik: kali aja si Putih cuma gemes. Nah, kali ketigalah yang bikin patah hati dan pengin ngamuk.

 

Saat itu kurang lebih semingguan sejak kemunculan si Belang. Sore itu, saya lagi duduk di depan rumah. Seperti biasa, si Putih sudah nyamperin dari tadi dan kini sedang tiduran santai setelah dikasih jajan. Nah, waktu saya berbalik, eh ada si Belang muncul! Dia ngeong pelan.

 

Saya berjongkok, mengelusnya sebentar. “Sebentar ya, kuambilin makan,” ujar saya sambil berbalik mau masuk rumah.

 

Eh lho, kok si Putih yang tadinya dua meteran dari kami, kini sudah di sebelah kaki saya.

Perasaan saya mulai nggak enak.

 

Si Putih mendekati si Belang, berusaha mengendus. Si adik kecil mundur beberapa langkah, tampak ragu.

“Adik nggak apa-apa, sini aja,” kata saya pada si Belang sambil menghalangi si Putih.

 

Si Putih mendekat lagi, yang langsung saya dorong menjauh dengan kaki (takut kecakar euy kalau pakai tangan/langsung gendong). Entah imajinasi atau bukan, rasanya dengar suara mendesis pelan. Hissing? Saya yang tadi berdiri di samping si Putih kini berpindah ke depannya, supaya ini kucing gede nggak nabok si adik kecil kayak kemarin. Nggak lupa tetap ngedorong si Putih menjauh. Saya juga minta bantuan ibu buat menarik perhatian si Belang supaya dia menjauh sebentar.

 

Kejadian selanjutnya berlangsung dalam hitungan detik. Wussh! Si Putih tiba-tiba melompati kaki saya dan mendarat di tempat si Belang tadi duduk. Sepersekian detik sebelumnya, si Belang mundur menjauh. Kaki kecilnya cukup lincah menghindari serangan rupanya. Pada titik ini, si Putih udah nggak hissing lagi tapi udah ngeong-ngeong marah, macam orang ngomel.

 

“Heh, nggak boleh!!! Itu masih anak kecil!” seru saya tertahan.

 

Si Putih malah mengejar. Kali ini si Belang sudah lari dan sembunyi di kolong. Tetap sambil ngomel, si Putih merangsek ke kolong, mengikuti terus si adik kecil yang sudah merelakan tidak makan malam hari itu.

 

Saya nggak ngelihat gimana pertengkaran mereka di dalam kolong. Cuma sebentar saya dengar si Putih marah-marah kenceng banget dan terus mengejar si Belang. Seakan nggak rela. Mungkin dia ngomel, “Ini daerahku! Tempatku makan dan tiduran. Kamu anak baru nggak usah ke sini, cari tempat lain!”

 

Waktu saya nunduk lihat kolong, sekilas saya lihat si Belang merapatkan badan. Gesturnya seperti meringkuk di pojokan dengan berkata, “Aku cuma pengin main dan jajan, Kak. Aku nggak akan ngerebut apa-apa….”

 

Sepersekian detik kemudian, si Putih lari macam ngejar prajurit musuh. Badan putihnya cepat melintasi kolong, keluar pagar, menuju jalanan. Sekelebat saya lihat warna abu-abu kecil juga tunggang-langgang ke jalanan depan rumah karena dikejar. Si Putih teriak-teriak kencang. Dia kejar si Belang sampai ke 2-3 rumah sebelah dan masih ngeong kenceng banget sampai tetangga yang lagi nongkrong juga kaget. Sesaat terdengar suara grubak-grubuk. Mungkin itu suara si Belang grubak-grubuk cari persembunyian supaya nggak terjangkau.

 

Suara cempreng si Putih baru berhenti setelah beberapa detik. Kemudian, semua tenang. Seakan nggak terjadi apa-apa. Tinggal saya, keluarga, dan para tetangga yang masih tercengang akan kejadian barusan. Belum mampu mencerna.

“Lapo iku mau? Tukaran?” Terdengar suara tetangga yang depan rumahnya dilewati saat ‘peristiwa pengejaran’. Ya gimana, peristiwa pengusiran di atas terjadi hanya dalam hitungan detik!

 

Eh, ketika saya masih berdiri terpaku dan mau buka pagar buat nyari si Belang, si Putih dengan santainya melenggang kembali rumah kami. Dia berusaha mendekat.

 

“Nggak mau! Kamu jahat! Nggak usah dekat-dekat!” kata saya yang udah sadar dari syok. Perlahan saya jauhi pagar, urung mencari si Belang karena diadang si Putih. “Kamu jahat sama anak kecil!”

 

Mengingat kucing yang teritorial, kami paham mungkin si Putih merasa keberadaan si Belang mengancam dirinya. Tapi, kenapa sama si Belang aja, sama kucing lain enggak? Ada kucing lain di depan rumah pun dia santuy aja. Apa karena Belang anak baru? Atau karena Belang anak kecil, jadi mudah diintimidasi?

 

Yah, apa pun itu, jelasnya si Putih mungkin cemburu. Atau iri. Takut jatah perhatian dan jajannya berkurang.

 

Ya ampun, kenapa dah. Sama anak kecil, juga. Masa nggak ada kasihannya? Dia, kan, juga kucing jalanan yang susah cari makan. Masa nggak ada empatinya pada sesama (ke anak kecil, lagi!) yang juga cari rezeki? Toh, meski ada si Belang, si Putih tetap diberi makan dengan porsi seperti biasanya. Malah porsi makan si Belang jauh lebih sedikit (mungkin karena masih bocil, porsi makannya juga kecil).

 


Mematikan Lilin

Sejak kejadian itu, saya dan orang rumah jadi jaga jarak dengan si Putih. Jarang elus-elus, jarang kasih jajan, jarang ajak main. Ya masih, tapi nggak sesering dulu; nggak seramah dulu. Selain karena sebal dia ngusir Belang, kami juga ngebiasaain si Putih supaya nggak terlalu tergantung atau merasa “the only one”. Supaya nggak merasa, “Pokoknya di sini yang boleh diperlakukan baik cuma aku! Yang lain minggir!”

 

Mana rasanya si Putih jadi lebih clingy. Ngeongnya lebih kenceng, ndusel-nya jadi lebih ndusel. Kalau kata ibu, “Gara-gara kejadian kemarin, dia jadi minta diperhatikan, pengin diyakinkan kalau dia masih disayang.”

 

Meski ada si Belang juga kemarin dia tetap disayang. Coba nggak gaplokin Belang, mungkin sekarang akan tetap disayang.

 

Drama perkucingan itu keingat sampai hari ini. Masih nggak tega aja kalau keingat si kecil yang harus berjuang sendiri, terus ditabok dan dikejar kayak kriminal sampai harus lari tunggang-langgang. Padahal yang ‘kriminal’ kan kucing dewasa yang ‘ngehajar’ kucing kecil, kan, ya? Tahu, sih, dunia hewan memang pakai hukum rimba, tapi tetap aja nggak tega. Apalagi sama anak kecil kayak gitu.

 

Saya jadi teringat sebuah kutipan:

Nggak perlu mematikan lilin orang lain untuk membuat lilin kita menyala lebih terang.

Nggak perlu mematikan kebahagiaan orang lain untuk membuat kita jadi lebih bahagia. Pun soal rezeki. Fine, lilin itu akan tampak seolah-olah jadi lebih terang karena nggak ada lilin lain. Namun, kalau dihitung intensitas cahayanya, sebenarnya nggak ada perubahan.

 

Itu kan kebahagiaan, gimana kalau rezeki? Konsepnya mirip. Okelah kalau harta dan semacamnya mungkin akan jadi lebih banyak. Tapi, kan, ini ngomongin rezeki yang artinya nggak hanya harta, tapi juga kesehatan, berkah, ketenangan, dsb.

 

Kalau dari kejadian si Putih vs Belang ini, berasa si Putih matiin ‘lilinnya’ sendiri. Dengan ngusir si Belang, mungkin dia merasa ancamannya nggak ada. ‘Cahaya lilinnya’ seakan lebih terang karena nggak ada ‘lilin’ lain; milik si Belang. Namun efeknya adalah perhatian dan porsi jajan dia justru berkurang karena kami—salah satu pemberi jajan dan teman mainnya—telanjur kesal.

 

Mungkin, sama aja dengan ‘lilin’ kebahagiaan manusia. Memadamkan kebahagiaan orang lain nggak akan menambah kebahagiaan diri sendiri. (Plus, berbuat nggak baik akan selalu punya konsekuensi, sooner or later). Kebahagiaan/rezeki yang ‘mati’ tadi nggak otomatis berubah haluan menjadi milik kita, tapi bisa aja malah jadi milik orang lain lagi, kan?

 

Tentu aja kutipan di atas nggak berlaku dalam beberapa kasus; (pasti) ada beberapa pengecualian. Namun, poinnya adalah keegoisan dan rasa iri berlebihan yang sampai ngerusak atau ganggu hidup orang lain akan ‘balik’ ngerusak diri sendiri. Ya kayak cerita si Putih tadi.


Sejak saat itu, si Belang nggak pernah kelihatan. Sesaat setelah kejadian, sempat lihat dia digendong anak kecil yang tinggal di blok tetangga. Entah kemudian dia dipiara anak itu atau diajak main ke bloknya sehingga nggak pernah lewat depan rumah kami lagi. 

 

Duh, Belang, semoga nasibmu lebih baik sekarang. Sampai kita ketemu lagi, ya  :’)

 


=====


 

Anyway jadi ingat salah satu adegan di sebuah komik. Ada pasangan, sebut aja A dan B. Namun ada sosok C‍👧 yang suka B👨. Udahlah si C ngefitnah A dan sebagainya sehingga reputasi A jelek banget dan hubungannya dengan B jadi renggang. 

‍👧: “A jelek dan jahat banget, kan. Udahlah kamu nggak usah sama dia.”

👨: (menatap tajam) “Meski udah nggak sama A, kamu pikir aku jadi mau sama kamu?”

 


1 komentar:

  1. Antara pengin ngakak sama kasihan sama si Belang. Sepertinya si Putih tahu kalau Belang punya peluang untuk mengklaim rumah sebagai teritorinya, sedangkan terhadap kucing lain, dia tahu mereka cuma numpang lewat 🤣

    BalasHapus