Pemandangan perkotaan dengan deretan rumah dan pertokoan
mulai disisipi ladang. Berderet-deret batang jagung berbaris, warnanya matang
kekuningan; menggoda nafsu makan, “Enak kali, ya, buat jagung bakar.”
Seiring truk mulai memanjat ketinggian, udara yang tadi panas
berubah lebih sejuk. Jalanan nggak sehalus tadi. Di bak belakang, kami bertujuh
serta beberapa orang dari tim lain berusaha tetap berdiri sambil berpegangan ke
badan truk. Saat truk berguncang, tubuh kami bertumbukan turut jedag-jedug
bersama tas-tas carrier penuh muatan. Percakapan sudah jauh berkurang. Kami
lebih banyak diam sambil asyik memandangi pemandangan pedesaan.
Sekitar sejam kemudian, sampailah kami di Desa Baderan. Di
sinilah letak pos lapor pendakian Gunung Argopuro lewat timur, via Kab.
Situbondo.
[ NB: meski hal-hal terkait kebumian dan sejarah diambil dari
referensi, bisa jadi dalam tulisan ini ada yang keliru sebab saya salah tulis,
salah memahami, atau keliru ambil sumber. Mohon maaf bila ada ketidaktepatan,
pembaca disarankan check dan recheck ke sumber yang lebih
kredibel ]
[ Disclaimer: karena pendakian ini udah bertahun-tahun lalu,
pastinya ada hal-hal atau info yang udah berubah seperti peraturan dsb. Harap
cek info terbaru dari laman resmi Dataran Tinggi Yang dan ikuti peraturan
terkini ]
Basecamp Baderan
Spanduk informasi yang terbentang di teras depan menyambut
kami masuk. Tulisan “Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang” tercetak tebal. Gunung
Argopuro memang terletak di dataran tinggi ini. Saya manggut-manggut, misteri
ejaan nama resmi tempat ini akhirnya terkuak. Sebelumnya saya sempat bingung:
yang benar Hyang atau Iyang? Ternyata justru Yang.
Apa mungkin ada perubahan ejaan? Bisa jadi. Beberapa media
dan catatan perjalanan orang Indonesia yang kami baca sebelum keberangkatan
menuliskan Hyang atau Iyang. Menurut Neuman von Padang (ahli vulkanologi) ejaan
lama zaman Belanda adalah “Hijang”, lalu berganti “Iyang” setelah Indonesia
merdeka. Di beberapa catatan lawas Belanda/Jerman pun ada beberapa penulisan:
Ajang, Jang. Kemungkinan karena mereka nyebut ‘j’ sebagai ‘y’.
Seorang pemuda dan bapak polhut (polisi hutan) menyambut.
Setelah berkenalan, mulailah kami mengurus administrasi pendaftaran.
Nama lengkap kami ditulis di daftar, lengkap dengan identitas
dan ketua tim. Kalau nggak salah ingat, ngumpulin fotokopi KTP plus surat
keterangan sehat juga. Rencana turun di pos mana (rencananya di Bermi) dan
kapan (kalau lancar sesuai planning, lima hari kemudian) juga dicatat,
lalu bayar karcis.
Saat itu tarif per orang per hari adalah Rp20.000,00 di hari
kerja dan Rp30.000,00 di akhir pekan atau hari libur nasional. Jadi kalau
ditotal, kami bayar Rp120.000,00/per orang. Harga tiket buat WNA beda lagi.
Setelah mengurus administrasi, kami ngobrol-ngobrol dengan
bapak polhut. Beliau memberitahu bahwa izin kegiatan bisa beda-beda tergantung
tujuannya. Karena aktivitas kami hanya mendaki, maka izin dan syaratnya relatif
straight and simple. Alurnya akan beda kalau masuk Argopuro untuk
penelitian, misalnya. Ada izin-izin khusus. Ada petugas yang menemani sepanjang
perjalanan. Juga untuk syuting liputan dan semacamnya. Beliau mencontohkan
peristiwa beberapa tahun sebelumnya ketika ada rombongan kru TV yang syuting di
sana.
“Itu, lho, yang acara petualangan.”
“Ooh,” kami serempak koor begitu mendengar nama acaranya.
Emang bagus. Dulu saya juga senang mantengin acara itu dari awal sampai selesai,
hehehe.
“Izinnya memang rinci karena ini kan bukan hutan biasa, tapi
suaka margasatwa,” lanjut beliau.
Seumur-umur baru kali ini saya masuk suaka margasatwa.
Sebelumnya saya pikir ini gunung atau taman nasional biasa. Saat cari info
tentang Argopuro, barulah tahu bahwa statusnya ‘nggak biasa’. Saat udah sampai
lokasi baru beneran terasa excitement-nya.
Karena memang daerah perlindungan satwa, jangan heran kalau
nanti ketemu hewan-hewan yang nggak umum dijumpai di gunung-gunung lainnya,
tambah beliau. Kalau terpaksa harus berhadapan pun kudu bijak karena ini emang rumah
mereka, bukan habitat manusia. Kabarnya masih ada macan, hewan yang
disebut-sebut diburu Ledeboer era 1900-an awal dan disebut Junghuhn sebagai konigstigger
di catatan perjalanannya.
Selain satwanya, medan Argopuro juga luar biasa. Inilah
gunung dengan jalur pendakian terpanjang di Jawa, antara 40 sampai 60-an
kilometer. Puncaknya ada tiga: puncak Argopuro (3.088 mdpl, puncak
tertinggi), puncak Arca/Hyang (±3.060 mdpl), dan puncak Rengganis (±3.040 mdpl). Medannya bervariasi: dari hutan lebat sampai sabana.
Oleh karena itu beliau juga memastikan kesiapan kami. Udah ada pengalaman hiking
sebelumnya, siapa aja? Udah bawa peta atau kompas? Bawa GPS? Sepatunya udah
safety? Makanan cukup buat lima hari?
Karena bahkan dengan tim dan logistik yang matang pun bisa
aja terjadi hal yang nggak diperkirakan. (Seperti pendakian kami kali ini.
Kejadian apa? Stay tuned!)
Sebab kondisi alam memang nggak bisa diprediksi secara tepat.
Beliau juga memberi banyak wejangan yang kami simak
sungguh-sungguh. Pengalaman beliau mendaki Argopuro berkali-kali tentu jadi
sumber ilmu yang berharga banget. Cerita langsung dari saksi nyata!
Berkali-kali kami termenung atau takjub mendengar cerita
beliau. Tanah yang menantang. Savana luas sejauh mata memandang. Sisa-sisa
reruntuhan bangunan Belanda dan bekas stasiun radio yang bisa ditemui kalau
sampai di Cikasur nanti. Suhu dingin menggigit kulit yang kadang bisa mendekati
0°C. Dari beliaulah saya pertama mendengar bekas kolam di
reruntuhan puri Rengganis, yang kemudian kami cari-cari ketika sampai puncak.
Kalau waktu itu memungkinkan, pengin rasanya saya catat semua
cerita beliau. Rinci banget soalnya. That’s a gem!
Percakapan itu mau-nggak-mau harus berakhir. Kami pun pamit
keluar. Matahari masih bersinar terang siang itu, meski ada sedikit mendung.
“Semoga sampai nanti mataharinya masih ada,” celetuk saya.
Rombongan yang tadi berangkat bareng ke Baderan udah naik
duluan tampaknya. Kami menimbang-nimbang, naik sekarang atau nanti? Ngelihat
jam yang udah mendekati dhuhur, kami putuskan nanti sekalian setelah shalat dan
makan siang. Melihat rundown pendakian yang disusun, harusnya masih
kekejar ke Mata Air 1.
Sekitar pukul 12.30, kami mengayun langkah pertama.
![]() |
Persiapan sebelum berangkat |
Anyhooow, karena banyak cerita menarik sepanjang pendakian (dan saya
nggak pengin lupa detailnya sehingga saya tulis di tag 🔗Pendakian Argopuro ini. Supaya nanti
kalau kangen atau lupa bisa dibaca lagi, hehe), seperti biasa postingan-nya
akan agak lumayan... panjang 😄 Jadi untuk memudahkan nyari bagian tertentu bisa langsung klik part di
bawah. Masih di halaman ini juga.
DAFTAR ISI:
- Basecamp Baderan
- Menuju Mata Air 1
- Tentang Jalur Pendakian Argopuro
- Gunung Argopuro Tua
- Di Mata Air 1
- RANGKUMAN
Menuju Mata Air 1
Trek pertama diawali dengan jalur yang bikin sakit kaki: makadam. Pecahan
batu-batu berujung runcing terasa menusuk telapak meski kaki ini sudah dibalut kaus
kaki dan sepatu bersol tebal. Tapi saya lebih suka ngadepin makadam daripada
jalur tanah liat yang superlicin kala kena air sedikiiit aja.
Kami berjalan satu-satu, memanjang seperti berbaris. Karena
masih makadam, maka jalurnya kelihatan jelas sejak dari basecamp Baderan.
Pun cukup lebar. Beberapa kali kami berpapasan dengan bapak/ibu petani.
Perladangan memenuhi kanan-kiri jalur pendakian. Pada sebelah
kanan, pemandangan itu tertutup kabut yang mulai naik.
Gerimis turun.
“Mau pakai jas hujan ta?”
“Nggak usah. Mungkin cuma kabut lewat.”
“Kalau cuma gerimis, lanjut jalan aja.”
Teringat sekilas percakapan kami.
Nggak sampai semenit kemudian, gerimis berubah hujan deras.
Tetes air yang tadinya kayak saputan halus di pipi langsung
berubah jadi butiran air besar-besar. Kalau semenit lalu rasanya seperti kena semprotan
salon potong rambut, sekarang rasanya udah nggak kayak di-spray lagi
tapi digerojok!
Buru-buru kami menurunkan carrier, mengeluarkan jas
hujan. Untunglah cover bag udah dipasang sejak awal jalan sehingga tas
kami nggak kehujanan. Jas hujan pun sengaja kami taruh paling atas saat packing.
Tujuannya kayak di kejadian ini: supaya gampang plus cepat diambil kalau hujan
datang tanpa tedheng aling-aling.
Rasanya ini pasang jas hujan ter-sat-set yang pernah saya
rasain. Ya gimana, hujannya deras, kanan-kiri medannya terbuka dan cukup miring
sehingga nggak memungkinkan berteduh meski barang sebentar. Setelah semua raincoat
warna-warni itu udah dipakai, kami langsung saling bantu memanggul carrier
kembali supaya lebih mudah.
Fyuh! Kami (atau saya?) terlalu berharap pada cuaca yang tadi
cerah sampai lupa kalau ini awal tahun; hujan masih deras-derasnya apalagi di
pegunungan. Dan... seperti biasa bila turun hujan pas hiking, mood saya
pun memburuk pelan-pelan.
Di mindset saya, hujan saat hiking sama dengan
kerepotan yang bertambah pesat. Berjalan jadi susah, licin, atau gampang
kepeleset. Belum lagi riweuh dengan jas hujan yang kadang berubah posisi
karena badan gerak terus. Meski udah pakai raincoat, kadang lembapnya
air masih terasa di baju atau kulit bahkan menembus sepatu dan kaus kaki.
Khawatir pun singgah saat mikirin barang-barang yang dibawa. Basah
nggak, ya? Meski udah dibungkus kresek tebal atau pouch plastik, tapi masih
kepikiran. Kebayang kalau ada yang basah, pasti nggak nyaman dipakai.
Mendirikan tenda dan nge-set camp pun jadi lebih ribet karena harus cari
tempat aman buat carrier dulu, lalu berkutat dengan rangka, lalu masukin
carrier ke tenda. Gali parit, mastiin rain cover nggak nempel
badan tenda. Tidur pun jadi kurang nyenyak. Belum risiko tenda kebanjiran kalau
ada miskalkulasi.
Banyak, ya? Hehe.
Kayaknya ini efek trauma(?) karena dulu pernah isi carrier
saya basah-sah-sah hampir separuhnya. Pernah juga kebanjiran saat
enak-enaknya tidur, sehingga harus ngabisin malam dengan duduk meringkuk sambil
kedinginan kena angin pantai.
‘Terus lu ngapain naik pas musim hujan?’
Saya pun bertanya-tanya, yang lalu saya jawab sendiri. Salah
satu alasan adalah pengin lihat Argopuro pas hijau-hijaunya. Itu savana pasti
cakep banget kalau sedang ijo royo-royo. Jadi meski saat itu mood rada
turun, saya nguat-nguatin hati dengan dua hal: (1) nanti bisa lihat savana
hijau dan (2) mumpung hujan, jalan jauh jadi nggak kerasa capek dan panas.
Kami kembali menyusuri makadam. Lumayanlah, jalur batu begini
membantu banget karena jalannya nggak licin. Kami melihat lurus ke depan. Bukan
apa-apa, tapi karena yang kelihatan cuma jalan di depan, lainnya nggak nampak
apa-apa. Kabut membekap semuanya. Sisi kiri masih kelihatan sedikit. Semak keabu-abuan
dan pepohonan sesekali menyembul dari balik balutan halimun.
Jalur makadam hanya sepanjang satu jam, setelah itu jalur
tanah. Pemandangan kebun rendah dan ladang sepertinya udah berganti hutan dan
kebun tua dengan pohon-pohon (kopi?) yang agak menjulang. Entah kapan
peralihannya; nggak terasa karena kabut.
Jalur tanah. Perjuangan baru, dimulai.
Seperti yang diduga, tanah itu licin. Awal-awal belum terlalu
terasa, tapi begitu treknya makin curam, beuh itu tanah cokelat berasa kayak
kulit belut. Masing-masing kami makin berjarak untuk jaga-jaga supaya kalau kepeleset
nggak ngegebuk orang di belakangnya. Makin sering nengok juga, jaga-jaga kalau
teman di belakang ada yang perlu dibantu naik.
Makin ke atas, jalur tanah ini makin ada aja cobaannya. Kalau
tadi antara trek dan tanah sekitar tingginya setara, sekarang posisi trek lebih
rendah daripada tanah sekitarnya. Kami macam lagi jalan di dalam parit.
Sepanjang jalur pun tercetak lubang-lubang atau bekas tanah tergali benda
tajam.
“Bekas ban motor, nih,” ujar seorang teman.
Saya memicingkan mata, mencoba melihat di antara rinai hujan
besar-besar. Iya, ya, ini jejak ban.
Jalur ke Mata Air 1 memang merangkap sebagai jalan untuk para
pekebun dan peladang. Mereka pulang-pergi ke lokasi kerja selain berjalan ada
juga yang pakai—apa lagi kalau bukan—motor. Karena medannya susah dan curam,
motor-motor ini dimodifikasi. Salah satu modifnya adalah memasang rantai ke ban
motor supaya nggak mudah tergelincir.
Selain jejak ban yang meninggalkan ceruk dalam, rantainya
juga membekas seperti tanah kelar digali tadi. Masalahnya itu tanah jadi
gembur. Thus, kalau diinjak mudah runtuh sehingga gampang kepeleset.
Kena hujan pula. Bekasnya banyak pula.
Kami ngelihat kanan-kiri, bingung mau nginjak, mana yang
kayaknya lebih kokoh? Menapak tengah jalannya hancur, nginjak tepi tanahnya
miring. Ke mana harus kulangkahkan kaki~ *nyanyi
Hujan deras. Trek yang licin dan mulai curam. Tanah yang
gembur.
Hari pertama yang ujiannya sudah bertubi-tubi.
Apa hanya itu?
Oh, enggak. Hujan yang deras berarti ada air yang banyak. Jika
air ketemu lahan miring, tahu kan apa yang terjadi? Betul, airnya bakal ngalir
ke bawah. Kayak sungai.
Jalur pendakian itu udah berubah kayak jalur aliran
sungai.
Pada beberapa bagian trek terutama yang miring banget,
rasanya kayak jalan di sungai berarus deras. Air setinggi betis menggelontor
jalur pendakian. Warnanya cokelat kemerahan seperti tanah liat yang ia lindikan.
Namun kadang karena saking banyaknya air, warna air yang lewat sampai hampir
bening.
Udah macam air terjun kecil.
Terbit kecemasan, “Ini jalannya beneran ini, nih?”
“Ini bukan jalur sungai, kan?”
Musa yang memimpin di depan memastikan dengan GPS. Betul,
kok, jalannya ini. Lagipula dari tadi kami nggak ketemu percabangan apa pun;
jalannya benar-benar cuma satu. Oke lanjut!
Hujan turun sporadis. Kadang deras sampai banjir, kadang
rintik aja. Saat rintik inilah kami menyadari bahwa makhluk-makhluk penghuni
tanah mulai banyak bermunculan ke permukaan.
Cacing tanah mulai mudah dijumpai setiap beberapa meter.
Awalnya saya sempat ngeri karena ada beberapa catper (catatan perjalanan)
bilang bahwa cacing-cacing di sini banyak. Bahkan ada yang klaim bisa menuhin
satu cekungan di trek, full! Dan panjangnya bisa sampai 50 cm.
Wah, gedek saya. Meski nggak jijik sama cacing, tapi kalau segitu... byeee!
Yang mereka bilang ada benarnya. Saya ngelihat cacing
gede-gede. Untungnya nggak sebanyak yang diklaim catper (alhamdulillah!) dan
nggak yang gede banget. Namun tetap lebih besar daripada cacing di halaman
rumah atau kampus yang cuma sebesar lidi. Yang ini diameternya ada kali
seukuran pulpen kecil. Makhluk berbadan gilig itu panjangnya standar; 10 cm-an
lah. Namun mata saya sempat menangkap ada satu-dua yang sampai 25 cm-an.
Gemuk amat. Tanda tanah/alamnya sehat.
Pacet-pacet juga berparade. Sayangnya nggak seperti cacing
yang ngerasa cukup dengan mejeng di atas tanah, pacet-pacet ini penginnya pesta
makan. Dan darah manusia (baca: darah kami) adalah hidangannya. *sigh
Jadilah mereka nempel-nempel di betis, kaki, paha. Saat rest
kami copotin mereka, nanti rest selanjutnya udah ada lagi yang
nempel. Gitu terus sampai bosan ngambilinnya. Nggak kerasa juga, sih, kalau
lagi diisap. Tahu-tahu pacetnya udah gemuk aja.
Sejujurnya saya nggak ingat berapa kali kami rest di
perjalanan hari ini. Kalau sesuai planning harusnya sejam sekali. Tapi
mungkin karena hujan yang mengguyur non-stop dan medan yang nggak memungkinkan,
kami nggak ‘rest besar’ tapi cukup mandek sambil berdiri dan ngemil
biskuit. Minumnya nadah air hujan, wkwkwk. Setengahnya karena malas ngeluarin
botol, setengah lagi karena air hujan pegunungan itu bersih, kan? Nampaknya
segar pula.
Capek? Iya, karena jalannya panjang. Namun karena diguyur
hujan terus-menerus, letih itu berkurang; badan nggak berasa panas karena ‘didinginkan’
hujan. Malah maunya jalan terus karena kalau berhenti jadi kedinginan. Makanya
kami bolak-balik ngelihatin jam tangan, saling ngingetin untuk rest kalau
udah jalan lama. Soalnya bahaya juga buat tubuh kalau jalan terus tanpa jeda
meski nggak kerasa capek. Jangan sampai nanti lemasnya numpuk di akhir.
Tentang Jalur Pendakian Argopuro
6,5+ kilometer. Saat nulis ini, saya iseng ngukur jarak
antara basecamp Baderan dan Mata Air 1 di Google Maps. Seketika ngebatin,
‘Dekat, ya, tapi kok lama?’, yang langsung ditangkis suara batin yang
lain, ‘Ya iyalah mikirnya dekat karena ngebandingin jarak di kota’.
6,5 km kira-kira setara jarak Bundaran Waru ke Taman Bungkul.
Kalau gowes emang nggak kerasa jauh. Tapi ini, kan, jalan kaki ya. Mana
jalannya nggak halus dan nggak lurus-lurus aja. Naik terus malah.
Secara elevasi juga naik banget, dari 750+ mdpl di Baderan
hingga 1.800-an mdpl di Mata Air 1. Beda ketinggiannya sendiri udah 1 kilometer
lebih. Burj Khalifa yang menjulang aja tingginya 800-an meter.
Beberapa tahun setelah pendakian ini, dengar-dengar ada ojek
motor yang bisa ngantar dari basecamp Baderan sampai Mata Air 1. Ada
pro-kontra, apalagi setelah ada kejadian rombongan motor trail nerabas
sampai Cikasur. Dikhawatirkan kendaraan yang masuk bisa merusak area yang
dilindungi. Setelah kejadian itu kayaknya pihak suaka margasatwa dan Perhutani
mastiin batas wilayah kawasannya; yang intinya setelah basecamp emang
ada bagian yang motor masih boleh masuk karena di luar batas wilayah
konservasi. Namun setelah batas, kendaraan apa pun dilarang. Batas ini sebelum
Mata Air 1, di hutan/jalur antara basecamp-Mata Air 1.
Dengar-dengar sekarang jalan dari Baderan juga udah
diperlebar. Sampai beberapa km setelah basecamp juga dibangun jalan oleh
pemkab dan Perhutani. Malah ada viewing platform-nya, namanya Plaza
Rengganis. Namun dari beberapa review pengunjung katanya kurang terawat
kini.
Oh, well.
Nama daerah Baderan udah nggak asing bahkan sejak zaman
kolonial Belanda. J. Corver, seorang Belanda yang mendaki Argopuro, menuturkan
bahwa rombongannya sempat bertemu beberapa pemburu dari Baderan dan Tamon Kursi
(Tamankursi = desa di samping Baderan) saat berada di savana. Para pemburu bersuku
Madura itu berombongan sekitar lima-enam orang.
![]() |
Rombongan pendaki dengan kuda melintasi Alun-Alun Kecil (Foto dari artikel van Gennep bertahun 1926) |
Catatan Corver diterbitkan tahun 1903 di sebuah majalah. Dia
ngerasa kagum pada pemburu-pemburu itu karena meski senapan mereka jadul dan
kualitasnya nggak bagus, tapi cara nembaknya luar biasa. Rusa dikelilingi
pelan-pelaaan banget sampai para pemburu bisa mendekat, baru ditembak. Daging
ini kemudian dijemur dan dibuat dendeng, lalu mereka jual. Corver dan
rombongannya juga beli daging hasil buruan mereka buat makan di perjalanan.
Luar biasa emang. Ketemu nggak sengaja di tengah gunung pun
bisa jadi transaksi jual-beli macam di pasar.
Pendakian atau penjelajahan ke Argopuro, meski jarang, emang bukan
barang baru. Seratus tahun lalu udah ada. Bahkan dua abad lalu—era 1800-an
plus—udah ada yang hiking ke sini. Itu pas masanya orang Eropa atau
Belanda. Sebelum itu, penduduk lokal juga udah masuk pegunungan ini, bahkan
membuat sebuah bangunan di puncak Rengganis. Jadi nggak heran kalau ada
beberapa catatan tentang Argopuro sekaligus tempat-tempat yang sekarang jadi
pos-pos/checkpoint jalur pendakian.
Tempat-tempat
di masa lalu itu masih ada dan dipakai hingga dua abad kemudian.
Berjalan di
tempat-tempat itu, rasanya seperti sedang meniti sejarah.
Kita kilas
balik sebentar ke pendakian di masa lalu itu. Tentu aja style dan cara
pendakiannya beda dengan masa kini. Contohnya, mereka nggak cuma jalan kaki
tapi juga naik kuda. Para penjelajah Barat itu juga pakai jasa kuli pribumi
buat ngangkut barang. Jangan dibayangin kulinya cuma beberapa; bisa belasan
atau lebih (bahkan puluhan!). Barang bawaannya (tentu) lebih gede dan banyak
daripada gear sekarang yang (meski masih berat) lebih enteng.
Contohnya? Bawa
selimut beneran, lho! Iya, kemul yang tebel itu. Wol, lagi. Nggak cuma satu
tapi beberapa. Sekarang kalikan jumlah orang yang ikut (tanpa kuli, kuli tidur
komunal di luar/bivak/duduk sarungan di sekitar api unggun. Kok bisa kuat ya…
Apa pegnaruh genetiknya karena warga lokal?).
Mereka juga bawa senapan untuk alat pertahanan (banyak macan) sekaligus
berburu. Dulu masih boleh berburu di sini. Bahkan nggak jarang daging hewan
buruan itulah jadi menu makanan harian.
Orang Barat yang pernah mendaki Argopuro sendiri ada
beberapa, di antaranya:
- Charles Bosch, controller Bondowoso (nggak tahu ini jabatannya apa kalau diterjemahin), ditemani ronggo Bondowoso
- Franz Junghuhn, seorang naturalis (semacam ahli Biologi gitu) juga naik beberapa hari setelah Bosch; ditemani saudara ronggo Bondowoso yang namanya Kiai Ngabehi Kreto Adi Wikromo . Mereka naik tahun 1844.
- J.L. van Gennep, PNS dan pejabat setempat. Dialah pencetus pendirian kota kecil di Dataran Tinggi Yang.
- C.W. Wormser berkelana ke sini di era 1900-an plus bareng Neuman. Pendakiannya jadi satu bab dalam buku catatan perjalanannya "Bergenweelde" (versi terjemahan: "Kemewahan Gunung-Gunung").
- Ledeboer. Era 1900-an. Dulu tanah di dataran tinggi ini 'miliknya' karena dia sewa.
Masih ada
beberapa nama lain sebenarnya, tapi itu aja dulu karena nama mereka bakal
sering disebut di cerita tentang pos-pos pendakian nanti.
![]() |
Pegunungan Yang-Argopuro difoto dari udara, 1948. (Foto oleh Marine Luchtvaart Dienst Indië via University of Leiden) |
![]() |
Junghuhn kaart. Peta pengamatan dan pengukuran Dataran Tinggi Yang, dibuat oleh Franz Junghuhn, 1844. Tampak sabana luas di tengah dan tiga puncak Argopuro di pojok kiri atas |
Jalur
naik-turun orang-orang di atas pun nggak sama. Kalau sekarang kita naik/turun
di Baderan (Kab. Situbondo) atau Bermi (Kab. Probolinggo). Namun Junghuhn naik
dan balik turun lewat Jember; selatannya Argopuro. Tepatnya melalui Desa Rambi
lalu Kemuning (nama tempat-tempat ini ada di peta sekarang tapi saya kurang
tahu apa on point sama kayak dulu apa enggak). Bosch naik dari tempat
yang sama tapi turunnya lewat utara, yaitu lewat Kraksaan (Kab. Probolinggo),
meski sempat nyasar dua harian. Wormser naik lewat Air Dingin (Ayerdingin?) dan
turun lewat Kraksaan juga.
Jarak antara
pendakian kami dan Wormser sekitar satu abad. Namun perjalanannya jadi yang
paling ‘dekat’ dibandingkan dengan Bosch atau Junghuhn.
Menurut
Wormser, di zamannya ada tiga pintu masuk ke Yang plateau. Pertama
lewat pesanggrahan Air Dingin. (Kalau dicocokin di Google Maps, di area Bermi
ada area namanya Ayerdingin. Apa itu artinya Wormser naik via Bermi?) Yang kedua
dari timur, yaitu lewat Sumberwringin dan Baderan. Jalur ketiga adalah
lewat Kraksaan/Plaosan.
Sekarang
kayaknya jalur Plaosan/Kraksaan udah ditutup. Apa karena jalurnya sulit atau
jalannya mbingungi? Bosch nyasar di utara arah situ; bilang jalannya
curam bahkan kehadang tebing. Corver yang turun lewat situ juga bilang jalannya
supersempit sampai rombongan paling belakang pun kelihatan karena jalannya
mengular. Padahal menurut rencana pengembangan susunan van Gennep, Kraksaan
jadi salah satu area pintu masuk resort Yang plateau dan akan dibangun
jalan raya. Sementara itu, dua jalur pertama ngelewati lahan sewaan 'milik'
Ledeboer. Luas banget tanah sewaan Ledeboer ini. Namun nggak heran karena
Dataran Tinggi Yang emang luas banget. Savananya aja luas, belum rantai
pegunungan yang banyak banget sampai berjajar.
Tentang Argopuro Tua
![]() |
Foto udara Argopuro era 2000-an (foto oleh Lee Siebert via Smithsonian Institution) |
Jajaran
gunung yang berdiri di Yang Plateau melalui proses pembentukan bertahap.
Namun Pegunungan Yang-Argopuro sekarang sudah non-aktif sehingga udah nggak
erupsi lagi. Letusan terakhirnya ditengarai terjadi sebelum tahun 1600-an (1597
M). Namun duluuu sekali, dia pernah aktif banget. Perbukitan dan pegunungan
sepanjang jalur pendakian adalah hasil aktivitasnya.
Pegunungan Yang-Argopuro
terbentuk ratusan ribu tahun lalu (masa Pleistosen akhir). Setelah masa
Pra-Argopuro itu, muncullah gunung-gunung api yang termasuk golongan Argopuro
Tua, contohnya Gunung Gilap, Cemoro Kandang, dan Kukusan; yang ada di sekitar
Cikasur. Masih ada beberapa lagi sebenarnya.
Nah, selama
kerucut-kerucut itu terbentuk, ternyata ada aktivitas lain yang membentuk Puncak
Argopuro Tua. Puncak ini terbentuk (kayaknya) di sekitar 3 puncak yang
sekarang. Aktivitas pembentukan puncak ini juga ikut ngebentuk Gunung Cemara
Lima (di jalur Bermi) dan Gunung Jambangan (di pinggir sabana Cikasur).
Seperti
lazimnya gunung api, Puncak Argopuro Tua lalu meletus. Badan gunungnya runtuh.
Apa aktivitasnya berhenti sampai di situ? Oh enggak. Di pinggir-pinggir kawah
Argopuro Tua ini justru muncul aktivitas baru yang kemudian memunculkan Gunung
Argopuro Muda (yang masih ada sampai zaman kita ini), Puncak Rengganis, Gunung
Semeru/Semar (bukan Semeru yang puncak tertinggi Jawa), dan Gunung Pandu. Dua
Gunung yang disebut terakhir berlokasi dekat dengan jalur pendakian arah
Cisentor-Rawa Embik.
Aktivitas Argopuro di masa lalu membentuk dua rantai pegunungan di dataran tinggi ini: rangkaian sisi timur dan barat (tempat ketiga puncak berada). Konon hasil aktivitas Argopuro inilah yang membuat Besuki sekarang berbentuk seperti pantai serupa bulan sabit, karena itu adalah lavanya Argopuro dan gunung-gunung di area tsb yang mengalir ke laut.
(*cmiiw)
Meskipun
sekarang Pegunungan Yang-Argopuro udah nggak aktif, tapi masih ada sisa-sisa
batuan dan aktivitasnya. Ada tempat-tempat yang masih menghasilkan gas
belerang. Puncak Rengganis salah satunya. Sungai di Cisentor juga mengandung
belerang.
Dengan kegiatan begitu aktif yang menghasilkan muka bumi yang bervariasi, nggak heran kalau alamnya Argopuro—baik flora maupun faunanya—jadi menakjubkan banget.
Di Mata Air 1
Oke, setelah
menyambangi Argopuro di masa lalu, kita balik ke masa kini. Matahari mulai
tenggelam di balik pepohonan. Bahkan sebelum magrib pun pencahayaan sudah
remang-remang karena tertutup kanopi hutan. Jauh juga pos pertama ini…
Badan yang
seharian diguyur hujan, makin terasa dingin saat rest sejenak. Kami
mengecek GPS lagi. Alhamdulillah pos pertama udah nggak jauh. Kami sempat
khawatir kalau kemalaman di jalan, mau istirahat di mana? Kayaknya rimbun dan
sulit cari lahan datar. Ngelihat kondisi medan, kami juga nggak berencana jalan
malam.
Malam
akhirnya datang. Untungnya gerimis pun sudah memudar.
Pukul tujuh
lebih kami sampai di Mata Air 1. Lama banget! Dari habis dhuhur sampai masuk
isya.
Mungkin
karena treknya yang jauh dan kenaikan elevasi yang cukup drastis. Mungkin juga
karena ritme jalan kami nggak terlalu ngoyo apalagi karena kena hujan.
Apa pun itu,
kami lega akhirnya bisa nge-camp.
Pos Mata Air
1 nggak terlalu luas. Hanya cukup beberapa tenda. Di tengah rinai kabut yang menyaput
lembut, gotong royong kami mendirikan dua tenda berhadapan. Di tengahnya
dipasang flysheet untuk penghubung kedua dome sekaligus untuk
area masak, makan, dan hang out.
Semacam
melingkar di tengah api unggun. Namun karena nggak boleh bikin api unggun, kami
melingkar ngelilingin kompor.
Setelah tenda
berdiri kokoh dan terpasang raincover, kami segera masuk tenda dan ganti
baju. Kehujanan seharian tetap bikin baju lembap meski pakai jas hujan. Pengin
segera bebersih badan rasanya. Sekaligus nyopotin pacet yang udah lama berpesta
di betis…
Sesudah
berganti pakaian yang kering plus hangat, kami mulai masak. Dinner, we’re
coming!
Nampak tenda dari luar, pagi hari kedua |
Logistik, Pakaian, Menu Makanan
Menu utama
malam itu adalah nasi dan kari ayam + telur. Tambahannya apa aja, lupa. Yang
jelas, berasa nikmat banget menyantap nasi dengan kuah kari kental nan panas
setelah perjalanan panjang. Yummy yummy in my tummy!
Anyway ini
bahasannya rada teknis. Dan tiap orang/tiap tim bisa banget punya cara yang
beda-beda.
(Dan ini cara
di tahun itu. Tahun-tahun berselang, mungkin sekarang ada cara baru yang lebih
baik, efektif, atau ringkas. So, feel free to share if you know another
method.)
Menu makan,
terutama makan malam, dalam pendakian kali ini memang 'berat-berat'. Kari,
soto, sup, sarden, dsb. Karbohidrat utamanya seringkali nasi atau pasta. Kadang
kalau masih lapar, nambah bikin mi instan. Kalau nggak salah, bawa bubur instan
dan oatmeal juga. Camilannya? Segambreng: cokelat, biskuit, roti, you name
it.
Saat pertama
ngelihat rancangan menu sebelum berangkat, mata saya membesar. 'Wah, full
meal! Makan kenyang, nih. Asiiik!'
Selain supaya
tetap selera makan (nggak tahu kenapa kayaknya kalau hiking, selera
makan jadi rada turun. Efek ketinggian?), menu yang kenyang itu bertujuan
supaya kami nggak kekurangan energi selama pendakian. Oleh karena itulah mie
dan bubur instan hanya jadi menu tambahan.
Sekadar
saran, makanan utama saat mendaki sebaiknya bukan mi instan. Kalorinya
nggak cukup. Apalagi kalau medan gunungnya waw. Kalau belum bisa masak nasi,
paling nggak, makan bahan yang karbonya tinggi macam oatmeal, pasta, dan
semacamnya. Itu pun harus ada tambahan lauk; jadi nggak karbo doang. Ada juga
tuh nasi kalengan kayak ransum TNI; tinggal dihangatin dan voila langsung
jadi. Asli kenyang banget makan itu. Satu kaleng bisa buat berdua/bertiga.
Menu harian
pun disusun dari bahan apa yang paling gampang basi. Semakin cepat basi, bahan
itulah yang dimasak di hari-hari awal. Meskipun kami udah antisipasi dengan
penyimpanan yang sedemikian rupa supaya bahahannya lebih tahan lama.
Sayur-mayur
dilap sampai kering dan dibungkus tisu sebelum masuk wadah. Telur mentah
dimasukin boks khusus. Ayam dan daging diungkep dan digoreng sampai kesat.
Beberapa bumbu basah dibeli plastikan di pasar, sedangkan yang ngeracik sendiri
udah ditumis garing. Setelah urusan bahan kelar, bagian yang tricky adalah
cari wadah yang enteng tapi kuat dan dimensinya nggak menuh-menuhin tas.
Bahan
makanan, done!
Karena
perjalanannya panjang, maka bekal selain makanan juga ada lumayan banyak.
Sempat jeri juga waktu ngelihat begitu banyak barang dijembrengin sebelum
dibagi-bagi, menuhin ruang tamu dan teras. Kepikir, 'Kuat nggak, ya, bawa
barang segini?'
Kayaknya yang
banyak makan tempat adalah alat masak plus bahan makanan. Kompor dua (atau
tiga?), dua set alat masak. Masing-masing orang bawa satu tabung gas atau lebih,
plus minimal tiga liter air.
Soal air, di
Argopuro ada beberapa sumber air. So asal manajemen airnya tepat, insyaallah
nggak kekurangan air karena bisa isi ulang di beberapa sungai. Namun mesti
hati-hati juga karena ada sungai yang mengandung belerang sehingga nggak bisa
diminum, contohnya di Cisentor.
Tiap orang
bawa matras dan sleeping bag. Ada beberapa set pakaian ganti dan satu
set pakaian hangat.
Pakaian
hangat adalah set baju+celana+jaket yang hanya dipakai saat tidur.
Kenapa? Soalnya saat tidur harus hangat. Nggak ada aktivitas, kan, jadi risiko
kedinginan lebih tinggi. Set ini juga harus selalu kering. Just in
case nyasar atau apalah, paling nggak ada baju hangat buat bertahan. Apa
saklek dipakai pas tidur aja? Nggak juga, sih. Biasanya saya pakai kalau udah settle
di dalam tenda dan tinggal masak-masak atau nyantai aja.
Kalau nggak
salah waktu itu tim juga bawa selimut thermal yang kayak aluminium itu. Buat
jaga-jaga. Tiap orang bawa obat pribadi juga, tapi ada tas P3K tim.
Barangnya
banyak, ya? Memang. Karena saat pendakian, selain ngitung barang yang
dibutuhkan juga perlu dilebihi sedikit buat antisipasi bila ada hal nggak
terduga. Misalnya nyasar, durasi yang ternyata lebih lama dari prakiraan,
sakit, dsb.
Antisipasi
tersesat di jalan yang salah juga jadi pertimbangan. Apalagi Argopuro ini
rutenya panjang dan jalurnya nggak sedikit yang tertutup semak karena jarang
dilewati orang. Maka sebelum berangkat, meski di depan ada pemimpin tim, kami
harus hafal jalan dan pos apa aja yang akan dilewati.
Sebagai alat
navigasi tim, kami bawa GPS dan kompas. Tiap orang menyimpan peta pendakian dan
peta kontur di ponsel. Saya dan seorang teman bawa kompas sederhana. Bawa alat
tulis sederhana juga (pensil, penggaris, busur) untuk antisipasi kalau-kalau
GPS error dan kami terpaksa harus mengukur jarak secara manual.
Setelah perut
terisi dan hangat, kami beres-beres. Sampah dimasukkan kresek supaya bersih dan
nggak mengundang hewan. Alat masak dan makan dibersihkan. Setelah kelar, kami
masuk tenda dan meringkuk dalam sleeping bag.
![]() |
Kompas sederhana. Ada penunjuk arah, angka derajat, penggaris. Bukan kompas standar navigasi, tapi lumayan ngebantu untuk jaga-jaga. |
Gelap. Semua headlamp dan lampu badai sudah dipadamkan. Mata saya hanya bisa menangkap bayang-bayang gelap atap tenda.
Hari pertama
yang sungguh menguras mental dan tenaga. Hari pertama yang langsung berat,
tanpa ba-bi-bu; langsung dihantam alam. Meski sebelumnya udah memperkirakan
perjalanan ini nggak akan gampang dan udah berusaha mengantisipasi, ternyata
begitu ngadepin langsung toh masih gelagapan juga. Syukur alhamdulillah bisa
terlalui.
Kalau
dipikir-pikir, kadang pendakian mirip dengan hidup. Udah tahu nggak akan
gampang. Udah berusaha mengatasi dan beradaptasi. Namun saat sedang menghadapi,
tak pelak masih kaget dan kikuk.
No matter how accurate we predict life, it is still unpredictable.
And no matter how we wholly understand that it is unpredictable, still, life keeps throwing something more unexpected towards us; something more surprising than the last.
Pertanyaan-pertanyaan
seperti, “Besok gimana, ya?” dan “Apa besok akan sesusah hari ini atau lebih struggle
lagi?” pun hadir dalam kehidupan. Juga di akhir perjalanan hari pertama ini.
Sekeliling sunyi.
Hanya terdengar bunyi serangga malam yang beroskestra dalam desibel pelan.
Hujan masih turun rintik-rintik. Tes-tes-tes butirnya jatuh bergema di raincover,
membawa khawatir sebelum lelap datang, ‘Kalau hujan deras, bakal tembus
nggak, ya?’
Namun pikiran itu sirna bersama lelap yang perlahan menutup kelopak mata.
- RANGKUMAN -
🚌 Transportasi:
- Bus Surabaya-Probolinggo: Rp18.000,00/orang
- Bus Probolinggo-Besuki: Rp12.000,00/orang
- Carter (truk) Besuki-Baderan: Rp11.000,00/orang
Lama
perjalanan 1 jam.
🔖Harga karcis masuk G. Argopuro
- Rp20.000,00/orang/hari à hari kerja
- Rp30.000,00/orang/hari à weekend, hari libur
- WNA/foreigner Rp250.000,00-Rp375.000,00/orang/hari
🥾👣 Jalur pendakian Baderan (±775 mdpl) - Mata Air 1 (±1.800 mdpl):
- 1 jam pertama makadam. Selanjutnya jalur tanah. Awal-awal miring sedikit, lama-lama naik agak curam. Di beberapa bagian agak landai lagi, lalu naik lagi. Makin jauh, naiknya makin curam.
- Total waktu tempuh ±7 jam (jalan santai)
- Tempat camp nggak terlalu luas, tapi cukup untuk beberapa tenda.
- Ada sumber air bersih. Sumber air terpisah dari lokasi camp jadi harus jalan lagi beberapa menit.
Referensi:
menyusul di part “Rangkuman”
Previous: 🔗Part 0: Surabaya-Besuki
Updated on August