Hijaubiru: CatPer -- Alam
Tampilkan postingan dengan label CatPer -- Alam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CatPer -- Alam. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 Mei 2025

Pendakian Argopuro Part 1: Baderan - Mata Air 1
Mei 03, 20250 Comments


Truk bak terbuka membawa kami meninggalkan Alun-Alun Besuki menuju Desa Baderan. Setelah kemarin berangkat dari Surabaya dan sempat bermalam di alun-alun Besuki, pagi ini kami melanjutkan perjalanan ke pintu masuk Gunung Argopuro.

 

Pemandangan perkotaan dengan deretan rumah dan pertokoan mulai disisipi ladang. Berderet-deret batang jagung berbaris, warnanya matang kekuningan; menggoda nafsu makan, “Enak kali, ya, buat jagung bakar.”

 

Seiring truk mulai memanjat ketinggian, udara yang tadi panas berubah lebih sejuk. Jalanan nggak sehalus tadi. Di bak belakang, kami bertujuh serta beberapa orang dari tim lain berusaha tetap berdiri sambil berpegangan ke badan truk. Saat truk berguncang, tubuh kami bertumbukan turut jedag-jedug bersama tas-tas carrier penuh muatan. Percakapan sudah jauh berkurang. Kami lebih banyak diam sambil asyik memandangi pemandangan pedesaan.

 

Sekitar sejam kemudian, sampailah kami di Desa Baderan. Di sinilah letak pos lapor pendakian Gunung Argopuro lewat timur, via Kab. Situbondo.

 

[ NB: meski hal-hal terkait kebumian dan sejarah diambil dari referensi, bisa jadi dalam tulisan ini ada yang keliru sebab saya salah tulis, salah memahami, atau keliru ambil sumber. Mohon maaf bila ada ketidaktepatan, pembaca disarankan check dan recheck ke sumber yang lebih kredibel ]

 

[ Disclaimer: karena pendakian ini udah bertahun-tahun lalu, pastinya ada hal-hal atau info yang udah berubah seperti peraturan dsb. Harap cek info terbaru dari laman resmi Dataran Tinggi Yang dan ikuti peraturan terkini ]

 


Basecamp Baderan

Spanduk informasi yang terbentang di teras depan menyambut kami masuk. Tulisan “Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang” tercetak tebal. Gunung Argopuro memang terletak di dataran tinggi ini. Saya manggut-manggut, misteri ejaan nama resmi tempat ini akhirnya terkuak. Sebelumnya saya sempat bingung: yang benar Hyang atau Iyang? Ternyata justru Yang.

 

Apa mungkin ada perubahan ejaan? Bisa jadi. Beberapa media dan catatan perjalanan orang Indonesia yang kami baca sebelum keberangkatan menuliskan Hyang atau Iyang. Menurut Neuman von Padang (ahli vulkanologi) ejaan lama zaman Belanda adalah “Hijang”, lalu berganti “Iyang” setelah Indonesia merdeka. Di beberapa catatan lawas Belanda/Jerman pun ada beberapa penulisan: Ajang, Jang. Kemungkinan karena mereka nyebut ‘j’ sebagai ‘y’.

 

Seorang pemuda dan bapak polhut (polisi hutan) menyambut. Setelah berkenalan, mulailah kami mengurus administrasi pendaftaran.

 

Nama lengkap kami ditulis di daftar, lengkap dengan identitas dan ketua tim. Kalau nggak salah ingat, ngumpulin fotokopi KTP plus surat keterangan sehat juga. Rencana turun di pos mana (rencananya di Bermi) dan kapan (kalau lancar sesuai planning, lima hari kemudian) juga dicatat, lalu bayar karcis.

 

Saat itu tarif per orang per hari adalah Rp20.000,00 di hari kerja dan Rp30.000,00 di akhir pekan atau hari libur nasional. Jadi kalau ditotal, kami bayar Rp120.000,00/per orang. Harga tiket buat WNA beda lagi.

 

Setelah mengurus administrasi, kami ngobrol-ngobrol dengan bapak polhut. Beliau memberitahu bahwa izin kegiatan bisa beda-beda tergantung tujuannya. Karena aktivitas kami hanya mendaki, maka izin dan syaratnya relatif straight and simple. Alurnya akan beda kalau masuk Argopuro untuk penelitian, misalnya. Ada izin-izin khusus. Ada petugas yang menemani sepanjang perjalanan. Juga untuk syuting liputan dan semacamnya. Beliau mencontohkan peristiwa beberapa tahun sebelumnya ketika ada rombongan kru TV yang syuting di sana.

 

“Itu, lho, yang acara petualangan.”

 

“Ooh,” kami serempak koor begitu mendengar nama acaranya. Emang bagus. Dulu saya juga senang mantengin acara itu dari awal sampai selesai, hehehe.

 

“Izinnya memang rinci karena ini kan bukan hutan biasa, tapi suaka margasatwa,” lanjut beliau.

 

Seumur-umur baru kali ini saya masuk suaka margasatwa. Sebelumnya saya pikir ini gunung atau taman nasional biasa. Saat cari info tentang Argopuro, barulah tahu bahwa statusnya ‘nggak biasa’. Saat udah sampai lokasi baru beneran terasa excitement-nya.

 

Karena memang daerah perlindungan satwa, jangan heran kalau nanti ketemu hewan-hewan yang nggak umum dijumpai di gunung-gunung lainnya, tambah beliau. Kalau terpaksa harus berhadapan pun kudu bijak karena ini emang rumah mereka, bukan habitat manusia. Kabarnya masih ada macan, hewan yang disebut-sebut diburu Ledeboer era 1900-an awal dan disebut Junghuhn sebagai konigstigger di catatan perjalanannya.

 

Selain satwanya, medan Argopuro juga luar biasa. Inilah gunung dengan jalur pendakian terpanjang di Jawa, antara 40 sampai 60-an kilometer. Puncaknya ada tiga: puncak Argopuro (3.088 mdpl, puncak tertinggi), puncak Arca/Hyang (±3.060 mdpl), dan puncak Rengganis (±3.040 mdpl). Medannya bervariasi: dari hutan lebat sampai sabana. Oleh karena itu beliau juga memastikan kesiapan kami. Udah ada pengalaman hiking sebelumnya, siapa aja? Udah bawa peta atau kompas? Bawa GPS? Sepatunya udah safety? Makanan cukup buat lima hari?

 

Karena bahkan dengan tim dan logistik yang matang pun bisa aja terjadi hal yang nggak diperkirakan. (Seperti pendakian kami kali ini. Kejadian apa? Stay tuned!)

 

Sebab kondisi alam memang nggak bisa diprediksi secara tepat.

 

Beliau juga memberi banyak wejangan yang kami simak sungguh-sungguh. Pengalaman beliau mendaki Argopuro berkali-kali tentu jadi sumber ilmu yang berharga banget. Cerita langsung dari saksi nyata!

 

Berkali-kali kami termenung atau takjub mendengar cerita beliau. Tanah yang menantang. Savana luas sejauh mata memandang. Sisa-sisa reruntuhan bangunan Belanda dan bekas stasiun radio yang bisa ditemui kalau sampai di Cikasur nanti. Suhu dingin menggigit kulit yang kadang bisa mendekati 0°C. Dari beliaulah saya pertama mendengar bekas kolam di reruntuhan puri Rengganis, yang kemudian kami cari-cari ketika sampai puncak.

 

Kalau waktu itu memungkinkan, pengin rasanya saya catat semua cerita beliau. Rinci banget soalnya. That’s a gem!

 

Percakapan itu mau-nggak-mau harus berakhir. Kami pun pamit keluar. Matahari masih bersinar terang siang itu, meski ada sedikit mendung.

 

“Semoga sampai nanti mataharinya masih ada,” celetuk saya.

 

Rombongan yang tadi berangkat bareng ke Baderan udah naik duluan tampaknya. Kami menimbang-nimbang, naik sekarang atau nanti? Ngelihat jam yang udah mendekati dhuhur, kami putuskan nanti sekalian setelah shalat dan makan siang. Melihat rundown pendakian yang disusun, harusnya masih kekejar ke Mata Air 1.

 

Sekitar pukul 12.30, kami mengayun langkah pertama.

 

Persiapan sebelum berangkat

 

Anyhooow, karena banyak cerita menarik sepanjang pendakian (dan saya nggak pengin lupa detailnya sehingga saya tulis di tag 🔗Pendakian Argopuro ini. Supaya nanti kalau kangen atau lupa bisa dibaca lagi, hehe), seperti biasa postingan-nya akan agak lumayan... panjang 😄 Jadi untuk memudahkan nyari bagian tertentu bisa langsung klik part di bawah. Masih di halaman ini juga.



 DAFTAR ISI: 



Menuju Mata Air 1

Trek pertama diawali dengan jalur yang bikin sakit kaki: makadam. Pecahan batu-batu berujung runcing terasa menusuk telapak meski kaki ini sudah dibalut kaus kaki dan sepatu bersol tebal. Tapi saya lebih suka ngadepin makadam daripada jalur tanah liat yang superlicin kala kena air sedikiiit aja.

 

Kami berjalan satu-satu, memanjang seperti berbaris. Karena masih makadam, maka jalurnya kelihatan jelas sejak dari basecamp Baderan. Pun cukup lebar. Beberapa kali kami berpapasan dengan bapak/ibu petani.

 

Perladangan memenuhi kanan-kiri jalur pendakian. Pada sebelah kanan, pemandangan itu tertutup kabut yang mulai naik.

 

Gerimis turun.

 

“Mau pakai jas hujan ta?”

“Nggak usah. Mungkin cuma kabut lewat.”

“Kalau cuma gerimis, lanjut jalan aja.”

Teringat sekilas percakapan kami.

 

Nggak sampai semenit kemudian, gerimis berubah hujan deras.

 

Tetes air yang tadinya kayak saputan halus di pipi langsung berubah jadi butiran air besar-besar. Kalau semenit lalu rasanya seperti kena semprotan salon potong rambut, sekarang rasanya udah nggak kayak di-spray lagi tapi digerojok!

 

Buru-buru kami menurunkan carrier, mengeluarkan jas hujan. Untunglah cover bag udah dipasang sejak awal jalan sehingga tas kami nggak kehujanan. Jas hujan pun sengaja kami taruh paling atas saat packing. Tujuannya kayak di kejadian ini: supaya gampang plus cepat diambil kalau hujan datang tanpa tedheng aling-aling.

 

Rasanya ini pasang jas hujan ter-sat-set yang pernah saya rasain. Ya gimana, hujannya deras, kanan-kiri medannya terbuka dan cukup miring sehingga nggak memungkinkan berteduh meski barang sebentar. Setelah semua raincoat warna-warni itu udah dipakai, kami langsung saling bantu memanggul carrier kembali supaya lebih mudah.

 

Fyuh! Kami (atau saya?) terlalu berharap pada cuaca yang tadi cerah sampai lupa kalau ini awal tahun; hujan masih deras-derasnya apalagi di pegunungan. Dan... seperti biasa bila turun hujan pas hiking, mood saya pun memburuk pelan-pelan.

 

Di mindset saya, hujan saat hiking sama dengan kerepotan yang bertambah pesat. Berjalan jadi susah, licin, atau gampang kepeleset. Belum lagi riweuh dengan jas hujan yang kadang berubah posisi karena badan gerak terus. Meski udah pakai raincoat, kadang lembapnya air masih terasa di baju atau kulit bahkan menembus sepatu dan kaus kaki.

 

Khawatir pun singgah saat mikirin barang-barang yang dibawa. Basah nggak, ya? Meski udah dibungkus kresek tebal atau pouch plastik, tapi masih kepikiran. Kebayang kalau ada yang basah, pasti nggak nyaman dipakai. Mendirikan tenda dan nge-set camp pun jadi lebih ribet karena harus cari tempat aman buat carrier dulu, lalu berkutat dengan rangka, lalu masukin carrier ke tenda. Gali parit, mastiin rain cover nggak nempel badan tenda. Tidur pun jadi kurang nyenyak. Belum risiko tenda kebanjiran kalau ada miskalkulasi.

 

Banyak, ya? Hehe.

Kayaknya ini efek trauma(?) karena dulu pernah isi carrier saya basah-sah-sah hampir separuhnya. Pernah juga kebanjiran saat enak-enaknya tidur, sehingga harus ngabisin malam dengan duduk meringkuk sambil kedinginan kena angin pantai.

 

‘Terus lu ngapain naik pas musim hujan?’

Saya pun bertanya-tanya, yang lalu saya jawab sendiri. Salah satu alasan adalah pengin lihat Argopuro pas hijau-hijaunya. Itu savana pasti cakep banget kalau sedang ijo royo-royo. Jadi meski saat itu mood rada turun, saya nguat-nguatin hati dengan dua hal: (1) nanti bisa lihat savana hijau dan (2) mumpung hujan, jalan jauh jadi nggak kerasa capek dan panas.

 

Kami kembali menyusuri makadam. Lumayanlah, jalur batu begini membantu banget karena jalannya nggak licin. Kami melihat lurus ke depan. Bukan apa-apa, tapi karena yang kelihatan cuma jalan di depan, lainnya nggak nampak apa-apa. Kabut membekap semuanya. Sisi kiri masih kelihatan sedikit. Semak keabu-abuan dan pepohonan sesekali menyembul dari balik balutan halimun.

 

Jalur makadam hanya sepanjang satu jam, setelah itu jalur tanah. Pemandangan kebun rendah dan ladang sepertinya udah berganti hutan dan kebun tua dengan pohon-pohon (kopi?) yang agak menjulang. Entah kapan peralihannya; nggak terasa karena kabut.

 

Jalur tanah. Perjuangan baru, dimulai.

 

Seperti yang diduga, tanah itu licin. Awal-awal belum terlalu terasa, tapi begitu treknya makin curam, beuh itu tanah cokelat berasa kayak kulit belut. Masing-masing kami makin berjarak untuk jaga-jaga supaya kalau kepeleset nggak ngegebuk orang di belakangnya. Makin sering nengok juga, jaga-jaga kalau teman di belakang ada yang perlu dibantu naik.

 

Makin ke atas, jalur tanah ini makin ada aja cobaannya. Kalau tadi antara trek dan tanah sekitar tingginya setara, sekarang posisi trek lebih rendah daripada tanah sekitarnya. Kami macam lagi jalan di dalam parit. Sepanjang jalur pun tercetak lubang-lubang atau bekas tanah tergali benda tajam.

 

“Bekas ban motor, nih,” ujar seorang teman.

 

Saya memicingkan mata, mencoba melihat di antara rinai hujan besar-besar. Iya, ya, ini jejak ban.

 

Jalur ke Mata Air 1 memang merangkap sebagai jalan untuk para pekebun dan peladang. Mereka pulang-pergi ke lokasi kerja selain berjalan ada juga yang pakai—apa lagi kalau bukan—motor. Karena medannya susah dan curam, motor-motor ini dimodifikasi. Salah satu modifnya adalah memasang rantai ke ban motor supaya nggak mudah tergelincir.

 

Selain jejak ban yang meninggalkan ceruk dalam, rantainya juga membekas seperti tanah kelar digali tadi. Masalahnya itu tanah jadi gembur. Thus, kalau diinjak mudah runtuh sehingga gampang kepeleset. Kena hujan pula. Bekasnya banyak pula.

 

Kami ngelihat kanan-kiri, bingung mau nginjak, mana yang kayaknya lebih kokoh? Menapak tengah jalannya hancur, nginjak tepi tanahnya miring. Ke mana harus kulangkahkan kaki~ *nyanyi

 

Hujan deras. Trek yang licin dan mulai curam. Tanah yang gembur.

Hari pertama yang ujiannya sudah bertubi-tubi.

 

Apa hanya itu?

Oh, enggak. Hujan yang deras berarti ada air yang banyak. Jika air ketemu lahan miring, tahu kan apa yang terjadi? Betul, airnya bakal ngalir ke bawah. Kayak sungai.

 

Jalur pendakian itu udah berubah kayak jalur aliran sungai.

 

Pada beberapa bagian trek terutama yang miring banget, rasanya kayak jalan di sungai berarus deras. Air setinggi betis menggelontor jalur pendakian. Warnanya cokelat kemerahan seperti tanah liat yang ia lindikan. Namun kadang karena saking banyaknya air, warna air yang lewat sampai hampir bening.

 

Udah macam air terjun kecil.

 

Terbit kecemasan, “Ini jalannya beneran ini, nih?”

“Ini bukan jalur sungai, kan?”

 

Musa yang memimpin di depan memastikan dengan GPS. Betul, kok, jalannya ini. Lagipula dari tadi kami nggak ketemu percabangan apa pun; jalannya benar-benar cuma satu. Oke lanjut!

 

Hujan turun sporadis. Kadang deras sampai banjir, kadang rintik aja. Saat rintik inilah kami menyadari bahwa makhluk-makhluk penghuni tanah mulai banyak bermunculan ke permukaan.

 

Cacing tanah mulai mudah dijumpai setiap beberapa meter. Awalnya saya sempat ngeri karena ada beberapa catper (catatan perjalanan) bilang bahwa cacing-cacing di sini banyak. Bahkan ada yang klaim bisa menuhin satu cekungan di trek, full! Dan panjangnya bisa sampai 50 cm. Wah, gedek saya. Meski nggak jijik sama cacing, tapi kalau segitu... byeee!

 

Yang mereka bilang ada benarnya. Saya ngelihat cacing gede-gede. Untungnya nggak sebanyak yang diklaim catper (alhamdulillah!) dan nggak yang gede banget. Namun tetap lebih besar daripada cacing di halaman rumah atau kampus yang cuma sebesar lidi. Yang ini diameternya ada kali seukuran pulpen kecil. Makhluk berbadan gilig itu panjangnya standar; 10 cm-an lah. Namun mata saya sempat menangkap ada satu-dua yang sampai 25 cm-an.

 

Gemuk amat. Tanda tanah/alamnya sehat.

 

Pacet-pacet juga berparade. Sayangnya nggak seperti cacing yang ngerasa cukup dengan mejeng di atas tanah, pacet-pacet ini penginnya pesta makan. Dan darah manusia (baca: darah kami) adalah hidangannya. *sigh

 

Jadilah mereka nempel-nempel di betis, kaki, paha. Saat rest kami copotin mereka, nanti rest selanjutnya udah ada lagi yang nempel. Gitu terus sampai bosan ngambilinnya. Nggak kerasa juga, sih, kalau lagi diisap. Tahu-tahu pacetnya udah gemuk aja.

 

Sejujurnya saya nggak ingat berapa kali kami rest di perjalanan hari ini. Kalau sesuai planning harusnya sejam sekali. Tapi mungkin karena hujan yang mengguyur non-stop dan medan yang nggak memungkinkan, kami nggak ‘rest besar’ tapi cukup mandek sambil berdiri dan ngemil biskuit. Minumnya nadah air hujan, wkwkwk. Setengahnya karena malas ngeluarin botol, setengah lagi karena air hujan pegunungan itu bersih, kan? Nampaknya segar pula.


Capek? Iya, karena jalannya panjang. Namun karena diguyur hujan terus-menerus, letih itu berkurang; badan nggak berasa panas karena ‘didinginkan’ hujan. Malah maunya jalan terus karena kalau berhenti jadi kedinginan. Makanya kami bolak-balik ngelihatin jam tangan, saling ngingetin untuk rest kalau udah jalan lama. Soalnya bahaya juga buat tubuh kalau jalan terus tanpa jeda meski nggak kerasa capek. Jangan sampai nanti lemasnya numpuk di akhir.



Tentang Jalur Pendakian Argopuro

6,5+ kilometer. Saat nulis ini, saya iseng ngukur jarak antara basecamp Baderan dan Mata Air 1 di Google Maps. Seketika ngebatin, ‘Dekat, ya, tapi kok lama?’, yang langsung ditangkis suara batin yang lain, ‘Ya iyalah mikirnya dekat karena ngebandingin jarak di kota’.

 

6,5 km kira-kira setara jarak Bundaran Waru ke Taman Bungkul. Kalau gowes emang nggak kerasa jauh. Tapi ini, kan, jalan kaki ya. Mana jalannya nggak halus dan nggak lurus-lurus aja. Naik terus malah.

 

Secara elevasi juga naik banget, dari 750+ mdpl di Baderan hingga 1.800-an mdpl di Mata Air 1. Beda ketinggiannya sendiri udah 1 kilometer lebih. Burj Khalifa yang menjulang aja tingginya 800-an meter.

 

Beberapa tahun setelah pendakian ini, dengar-dengar ada ojek motor yang bisa ngantar dari basecamp Baderan sampai Mata Air 1. Ada pro-kontra, apalagi setelah ada kejadian rombongan motor trail nerabas sampai Cikasur. Dikhawatirkan kendaraan yang masuk bisa merusak area yang dilindungi. Setelah kejadian itu kayaknya pihak suaka margasatwa dan Perhutani mastiin batas wilayah kawasannya; yang intinya setelah basecamp emang ada bagian yang motor masih boleh masuk karena di luar batas wilayah konservasi. Namun setelah batas, kendaraan apa pun dilarang. Batas ini sebelum Mata Air 1, di hutan/jalur antara basecamp-Mata Air 1.

 

Dengar-dengar sekarang jalan dari Baderan juga udah diperlebar. Sampai beberapa km setelah basecamp juga dibangun jalan oleh pemkab dan Perhutani. Malah ada viewing platform-nya, namanya Plaza Rengganis. Namun dari beberapa review pengunjung katanya kurang terawat kini.

 

Oh, well.

 

Nama daerah Baderan udah nggak asing bahkan sejak zaman kolonial Belanda. J. Corver, seorang Belanda yang mendaki Argopuro, menuturkan bahwa rombongannya sempat bertemu beberapa pemburu dari Baderan dan Tamon Kursi (Tamankursi = desa di samping Baderan) saat berada di savana. Para pemburu bersuku Madura itu berombongan sekitar lima-enam orang.

 

Rombongan pendaki dengan kuda melintasi Alun-Alun Kecil (Foto dari artikel van Gennep bertahun 1926)

Catatan Corver diterbitkan tahun 1903 di sebuah majalah. Dia ngerasa kagum pada pemburu-pemburu itu karena meski senapan mereka jadul dan kualitasnya nggak bagus, tapi cara nembaknya luar biasa. Rusa dikelilingi pelan-pelaaan banget sampai para pemburu bisa mendekat, baru ditembak. Daging ini kemudian dijemur dan dibuat dendeng, lalu mereka jual. Corver dan rombongannya juga beli daging hasil buruan mereka buat makan di perjalanan.

 

Luar biasa emang. Ketemu nggak sengaja di tengah gunung pun bisa jadi transaksi jual-beli macam di pasar.

 

Pendakian atau penjelajahan ke Argopuro, meski jarang, emang bukan barang baru. Seratus tahun lalu udah ada. Bahkan dua abad lalu—era 1800-an plus—udah ada yang hiking ke sini. Itu pas masanya orang Eropa atau Belanda. Sebelum itu, penduduk lokal juga udah masuk pegunungan ini, bahkan membuat sebuah bangunan di puncak Rengganis. Jadi nggak heran kalau ada beberapa catatan tentang Argopuro sekaligus tempat-tempat yang sekarang jadi pos-pos/checkpoint jalur pendakian.

 

Tempat-tempat di masa lalu itu masih ada dan dipakai hingga dua abad kemudian.

 

Berjalan di tempat-tempat itu, rasanya seperti sedang meniti sejarah.

 

Kita kilas balik sebentar ke pendakian di masa lalu itu. Tentu aja style dan cara pendakiannya beda dengan masa kini. Contohnya, mereka nggak cuma jalan kaki tapi juga naik kuda. Para penjelajah Barat itu juga pakai jasa kuli pribumi buat ngangkut barang. Jangan dibayangin kulinya cuma beberapa; bisa belasan atau lebih (bahkan puluhan!). Barang bawaannya (tentu) lebih gede dan banyak daripada gear sekarang yang (meski masih berat) lebih enteng.

 

Contohnya? Bawa selimut beneran, lho! Iya, kemul yang tebel itu. Wol, lagi. Nggak cuma satu tapi beberapa. Sekarang kalikan jumlah orang yang ikut (tanpa kuli, kuli tidur komunal di luar/bivak/duduk sarungan di sekitar api unggun. Kok bisa kuat ya… Apa pegnaruh genetiknya karena warga lokal?). Mereka juga bawa senapan untuk alat pertahanan (banyak macan) sekaligus berburu. Dulu masih boleh berburu di sini. Bahkan nggak jarang daging hewan buruan itulah jadi menu makanan harian.

 

Orang Barat yang pernah mendaki Argopuro sendiri ada beberapa, di antaranya:

  • Charles Bosch, controller Bondowoso (nggak tahu ini jabatannya apa kalau diterjemahin), ditemani ronggo Bondowoso
  • Franz Junghuhn, seorang naturalis (semacam ahli Biologi gitu) juga naik beberapa hari setelah Bosch; ditemani saudara ronggo Bondowoso yang namanya Kiai Ngabehi Kreto Adi Wikromo . Mereka naik tahun 1844.
  • J.L. van Gennep, PNS dan pejabat setempat. Dialah pencetus pendirian kota kecil di Dataran Tinggi Yang.
  • C.W. Wormser berkelana ke sini di era 1900-an plus bareng Neuman. Pendakiannya jadi satu bab dalam buku catatan perjalanannya "Bergenweelde" (versi terjemahan: "Kemewahan Gunung-Gunung").
  • Ledeboer. Era 1900-an. Dulu tanah di dataran tinggi ini 'miliknya' karena dia sewa.

Masih ada beberapa nama lain sebenarnya, tapi itu aja dulu karena nama mereka bakal sering disebut di cerita tentang pos-pos pendakian nanti.

 

Pegunungan Yang-Argopuro difoto dari udara, 1948. (Foto oleh Marine Luchtvaart Dienst Indië via University of Leiden)

Junghuhn kaart. Peta pengamatan dan pengukuran Dataran Tinggi Yang, dibuat oleh Franz Junghuhn, 1844. Tampak sabana luas di tengah dan tiga puncak Argopuro di pojok kiri atas
 

Jalur naik-turun orang-orang di atas pun nggak sama. Kalau sekarang kita naik/turun di Baderan (Kab. Situbondo) atau Bermi (Kab. Probolinggo). Namun Junghuhn naik dan balik turun lewat Jember; selatannya Argopuro. Tepatnya melalui Desa Rambi lalu Kemuning (nama tempat-tempat ini ada di peta sekarang tapi saya kurang tahu apa on point sama kayak dulu apa enggak). Bosch naik dari tempat yang sama tapi turunnya lewat utara, yaitu lewat Kraksaan (Kab. Probolinggo), meski sempat nyasar dua harian. Wormser naik lewat Air Dingin (Ayerdingin?) dan turun lewat Kraksaan juga.

 

Jarak antara pendakian kami dan Wormser sekitar satu abad. Namun perjalanannya jadi yang paling ‘dekat’ dibandingkan dengan Bosch atau Junghuhn.

 

Menurut Wormser, di zamannya ada tiga pintu masuk ke Yang plateau. Pertama lewat pesanggrahan Air Dingin. (Kalau dicocokin di Google Maps, di area Bermi ada area namanya Ayerdingin. Apa itu artinya Wormser naik via Bermi?) Yang kedua dari timur, yaitu lewat Sumberwringin dan Baderan. Jalur ketiga adalah lewat Kraksaan/Plaosan.

 

Sekarang kayaknya jalur Plaosan/Kraksaan udah ditutup. Apa karena jalurnya sulit atau jalannya mbingungi? Bosch nyasar di utara arah situ; bilang jalannya curam bahkan kehadang tebing. Corver yang turun lewat situ juga bilang jalannya supersempit sampai rombongan paling belakang pun kelihatan karena jalannya mengular. Padahal menurut rencana pengembangan susunan van Gennep, Kraksaan jadi salah satu area pintu masuk resort Yang plateau dan akan dibangun jalan raya. Sementara itu, dua jalur pertama ngelewati lahan sewaan 'milik' Ledeboer. Luas banget tanah sewaan Ledeboer ini. Namun nggak heran karena Dataran Tinggi Yang emang luas banget. Savananya aja luas, belum rantai pegunungan yang banyak banget sampai berjajar.

 


Tentang Argopuro Tua

Foto udara Argopuro era 2000-an (foto oleh Lee Siebert via Smithsonian Institution)

Jajaran gunung yang berdiri di Yang Plateau melalui proses pembentukan bertahap. Namun Pegunungan Yang-Argopuro sekarang sudah non-aktif sehingga udah nggak erupsi lagi. Letusan terakhirnya ditengarai terjadi sebelum tahun 1600-an (1597 M). Namun duluuu sekali, dia pernah aktif banget. Perbukitan dan pegunungan sepanjang jalur pendakian adalah hasil aktivitasnya.

 

Pegunungan Yang-Argopuro terbentuk ratusan ribu tahun lalu (masa Pleistosen akhir). Setelah masa Pra-Argopuro itu, muncullah gunung-gunung api yang termasuk golongan Argopuro Tua, contohnya Gunung Gilap, Cemoro Kandang, dan Kukusan; yang ada di sekitar Cikasur. Masih ada beberapa lagi sebenarnya.

 

Nah, selama kerucut-kerucut itu terbentuk, ternyata ada aktivitas lain yang membentuk Puncak Argopuro Tua. Puncak ini terbentuk (kayaknya) di sekitar 3 puncak yang sekarang. Aktivitas pembentukan puncak ini juga ikut ngebentuk Gunung Cemara Lima (di jalur Bermi) dan Gunung Jambangan (di pinggir sabana Cikasur).

 

Seperti lazimnya gunung api, Puncak Argopuro Tua lalu meletus. Badan gunungnya runtuh. Apa aktivitasnya berhenti sampai di situ? Oh enggak. Di pinggir-pinggir kawah Argopuro Tua ini justru muncul aktivitas baru yang kemudian memunculkan Gunung Argopuro Muda (yang masih ada sampai zaman kita ini), Puncak Rengganis, Gunung Semeru/Semar (bukan Semeru yang puncak tertinggi Jawa), dan Gunung Pandu. Dua Gunung yang disebut terakhir berlokasi dekat dengan jalur pendakian arah Cisentor-Rawa Embik.

 

Aktivitas Argopuro di masa lalu membentuk dua rantai pegunungan di dataran tinggi ini: rangkaian sisi timur dan barat (tempat ketiga puncak berada). Konon hasil aktivitas Argopuro inilah yang membuat Besuki sekarang berbentuk seperti pantai serupa bulan sabit, karena itu adalah lavanya Argopuro dan gunung-gunung di area tsb yang mengalir ke laut.

(*cmiiw)

 

Meskipun sekarang Pegunungan Yang-Argopuro udah nggak aktif, tapi masih ada sisa-sisa batuan dan aktivitasnya. Ada tempat-tempat yang masih menghasilkan gas belerang. Puncak Rengganis salah satunya. Sungai di Cisentor juga mengandung belerang.

 

Dengan kegiatan begitu aktif yang menghasilkan muka bumi yang bervariasi, nggak heran kalau alamnya Argopuro—baik flora maupun faunanya—jadi menakjubkan banget.



Di Mata Air 1

Oke, setelah menyambangi Argopuro di masa lalu, kita balik ke masa kini. Matahari mulai tenggelam di balik pepohonan. Bahkan sebelum magrib pun pencahayaan sudah remang-remang karena tertutup kanopi hutan. Jauh juga pos pertama ini…

 

Badan yang seharian diguyur hujan, makin terasa dingin saat rest sejenak. Kami mengecek GPS lagi. Alhamdulillah pos pertama udah nggak jauh. Kami sempat khawatir kalau kemalaman di jalan, mau istirahat di mana? Kayaknya rimbun dan sulit cari lahan datar. Ngelihat kondisi medan, kami juga nggak berencana jalan malam.

 

Malam akhirnya datang. Untungnya gerimis pun sudah memudar.

 

Pukul tujuh lebih kami sampai di Mata Air 1. Lama banget! Dari habis dhuhur sampai masuk isya.

 

Mungkin karena treknya yang jauh dan kenaikan elevasi yang cukup drastis. Mungkin juga karena ritme jalan kami nggak terlalu ngoyo apalagi karena kena hujan.

 

Apa pun itu, kami lega akhirnya bisa nge-camp.

 

Pos Mata Air 1 nggak terlalu luas. Hanya cukup beberapa tenda. Di tengah rinai kabut yang menyaput lembut, gotong royong kami mendirikan dua tenda berhadapan. Di tengahnya dipasang flysheet untuk penghubung kedua dome sekaligus untuk area masak, makan, dan hang out.

 

Semacam melingkar di tengah api unggun. Namun karena nggak boleh bikin api unggun, kami melingkar ngelilingin kompor.

 

Setelah tenda berdiri kokoh dan terpasang raincover, kami segera masuk tenda dan ganti baju. Kehujanan seharian tetap bikin baju lembap meski pakai jas hujan. Pengin segera bebersih badan rasanya. Sekaligus nyopotin pacet yang udah lama berpesta di betis…

 

Sesudah berganti pakaian yang kering plus hangat, kami mulai masak. Dinner, we’re coming!

 

Nampak tenda dari luar, pagi hari kedua


Logistik, Pakaian, Menu Makanan

Menu utama malam itu adalah nasi dan kari ayam + telur. Tambahannya apa aja, lupa. Yang jelas, berasa nikmat banget menyantap nasi dengan kuah kari kental nan panas setelah perjalanan panjang. Yummy yummy in my tummy!

 

Anyway ini bahasannya rada teknis. Dan tiap orang/tiap tim bisa banget punya cara yang beda-beda.

 

(Dan ini cara di tahun itu. Tahun-tahun berselang, mungkin sekarang ada cara baru yang lebih baik, efektif, atau ringkas. So, feel free to share if you know another method.)

 

Menu makan, terutama makan malam, dalam pendakian kali ini memang 'berat-berat'. Kari, soto, sup, sarden, dsb. Karbohidrat utamanya seringkali nasi atau pasta. Kadang kalau masih lapar, nambah bikin mi instan. Kalau nggak salah, bawa bubur instan dan oatmeal juga. Camilannya? Segambreng: cokelat, biskuit, roti, you name it.

 

Saat pertama ngelihat rancangan menu sebelum berangkat, mata saya membesar. 'Wah, full meal! Makan kenyang, nih. Asiiik!'

 

Selain supaya tetap selera makan (nggak tahu kenapa kayaknya kalau hiking, selera makan jadi rada turun. Efek ketinggian?), menu yang kenyang itu bertujuan supaya kami nggak kekurangan energi selama pendakian. Oleh karena itulah mie dan bubur instan hanya jadi menu tambahan.

 

Sekadar saran, makanan utama saat mendaki sebaiknya bukan mi instan. Kalorinya nggak cukup. Apalagi kalau medan gunungnya waw. Kalau belum bisa masak nasi, paling nggak, makan bahan yang karbonya tinggi macam oatmeal, pasta, dan semacamnya. Itu pun harus ada tambahan lauk; jadi nggak karbo doang. Ada juga tuh nasi kalengan kayak ransum TNI; tinggal dihangatin dan voila langsung jadi. Asli kenyang banget makan itu. Satu kaleng bisa buat berdua/bertiga.

 

Menu harian pun disusun dari bahan apa yang paling gampang basi. Semakin cepat basi, bahan itulah yang dimasak di hari-hari awal. Meskipun kami udah antisipasi dengan penyimpanan yang sedemikian rupa supaya bahahannya lebih tahan lama.

 

Sayur-mayur dilap sampai kering dan dibungkus tisu sebelum masuk wadah. Telur mentah dimasukin boks khusus. Ayam dan daging diungkep dan digoreng sampai kesat. Beberapa bumbu basah dibeli plastikan di pasar, sedangkan yang ngeracik sendiri udah ditumis garing. Setelah urusan bahan kelar, bagian yang tricky adalah cari wadah yang enteng tapi kuat dan dimensinya nggak menuh-menuhin tas.

 

Bahan makanan, done!



Ayam goreng menu pendakian. Nyammm!


Karena perjalanannya panjang, maka bekal selain makanan juga ada lumayan banyak. Sempat jeri juga waktu ngelihat begitu banyak barang dijembrengin sebelum dibagi-bagi, menuhin ruang tamu dan teras. Kepikir, 'Kuat nggak, ya, bawa barang segini?'

 

Kayaknya yang banyak makan tempat adalah alat masak plus bahan makanan. Kompor dua (atau tiga?), dua set alat masak. Masing-masing orang bawa satu tabung gas atau lebih, plus minimal tiga liter air.

 

Soal air, di Argopuro ada beberapa sumber air. So asal manajemen airnya tepat, insyaallah nggak kekurangan air karena bisa isi ulang di beberapa sungai. Namun mesti hati-hati juga karena ada sungai yang mengandung belerang sehingga nggak bisa diminum, contohnya di Cisentor.

 

Tiap orang bawa matras dan sleeping bag. Ada beberapa set pakaian ganti dan satu set pakaian hangat.

 

Pakaian hangat adalah set baju+celana+jaket yang hanya dipakai saat tidur. Kenapa? Soalnya saat tidur harus hangat. Nggak ada aktivitas, kan, jadi risiko kedinginan lebih tinggi. Set ini juga harus selalu kering. Just in case nyasar atau apalah, paling nggak ada baju hangat buat bertahan. Apa saklek dipakai pas tidur aja? Nggak juga, sih. Biasanya saya pakai kalau udah settle di dalam tenda dan tinggal masak-masak atau nyantai aja.

 

Kalau nggak salah waktu itu tim juga bawa selimut thermal yang kayak aluminium itu. Buat jaga-jaga. Tiap orang bawa obat pribadi juga, tapi ada tas P3K tim.

 

Barangnya banyak, ya? Memang. Karena saat pendakian, selain ngitung barang yang dibutuhkan juga perlu dilebihi sedikit buat antisipasi bila ada hal nggak terduga. Misalnya nyasar, durasi yang ternyata lebih lama dari prakiraan, sakit, dsb.

 

Antisipasi tersesat di jalan yang salah juga jadi pertimbangan. Apalagi Argopuro ini rutenya panjang dan jalurnya nggak sedikit yang tertutup semak karena jarang dilewati orang. Maka sebelum berangkat, meski di depan ada pemimpin tim, kami harus hafal jalan dan pos apa aja yang akan dilewati.

 

Sebagai alat navigasi tim, kami bawa GPS dan kompas. Tiap orang menyimpan peta pendakian dan peta kontur di ponsel. Saya dan seorang teman bawa kompas sederhana. Bawa alat tulis sederhana juga (pensil, penggaris, busur) untuk antisipasi kalau-kalau GPS error dan kami terpaksa harus mengukur jarak secara manual.

 

Setelah perut terisi dan hangat, kami beres-beres. Sampah dimasukkan kresek supaya bersih dan nggak mengundang hewan. Alat masak dan makan dibersihkan. Setelah kelar, kami masuk tenda dan meringkuk dalam sleeping bag.

 

Kompas sederhana. Ada penunjuk arah, angka derajat, penggaris. Bukan kompas standar navigasi, tapi lumayan ngebantu untuk jaga-jaga.


Gelap. Semua headlamp dan lampu badai sudah dipadamkan. Mata saya hanya bisa menangkap bayang-bayang gelap atap tenda.

 

Hari pertama yang sungguh menguras mental dan tenaga. Hari pertama yang langsung berat, tanpa ba-bi-bu; langsung dihantam alam. Meski sebelumnya udah memperkirakan perjalanan ini nggak akan gampang dan udah berusaha mengantisipasi, ternyata begitu ngadepin langsung toh masih gelagapan juga. Syukur alhamdulillah bisa terlalui.

 

Kalau dipikir-pikir, kadang pendakian mirip dengan hidup. Udah tahu nggak akan gampang. Udah berusaha mengatasi dan beradaptasi. Namun saat sedang menghadapi, tak pelak masih kaget dan kikuk.

 

No matter how accurate we predict life, it is still unpredictable.

 

And no matter how we wholly understand that it is unpredictable, still, life keeps throwing something more unexpected towards us; something more surprising than the last.

 

Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Besok gimana, ya?” dan “Apa besok akan sesusah hari ini atau lebih struggle lagi?” pun hadir dalam kehidupan. Juga di akhir perjalanan hari pertama ini.

 

Sekeliling sunyi. Hanya terdengar bunyi serangga malam yang beroskestra dalam desibel pelan. Hujan masih turun rintik-rintik. Tes-tes-tes butirnya jatuh bergema di raincover, membawa khawatir sebelum lelap datang, ‘Kalau hujan deras, bakal tembus nggak, ya?’

 

Namun pikiran itu sirna bersama lelap yang perlahan menutup kelopak mata.



- RANGKUMAN -

🚌 Transportasi:

  • Bus Surabaya-Probolinggo: Rp18.000,00/orang
    Terminal Bungurasih – Terminal Probolinggo. 2,5 jam.

  • Bus Probolinggo-Besuki: Rp12.000,00/orang
    Terminal Probolinggo – Alun-Alun Besuki. 2 jam.

  • Carter (truk) Besuki-Baderan: Rp11.000,00/orang

    Lama perjalanan 1 jam.

🔖Harga karcis masuk G. Argopuro 

  • Rp20.000,00/orang/hari Ã  hari kerja
  • Rp30.000,00/orang/hari Ã  weekend, hari libur
  • WNA/foreigner Rp250.000,00-Rp375.000,00/orang/hari

🥾👣 Jalur pendakian Baderan (±775 mdpl) - Mata Air 1 (±1.800 mdpl):

  • 1 jam pertama makadam. Selanjutnya jalur tanah. Awal-awal miring sedikit, lama-lama naik agak curam. Di beberapa bagian agak landai lagi, lalu naik lagi. Makin jauh, naiknya makin curam.
  • Total waktu tempuh ±7 jam (jalan santai)
  • Tempat camp nggak terlalu luas, tapi cukup untuk beberapa tenda.
  • Ada sumber air bersih. Sumber air terpisah dari lokasi camp jadi harus jalan lagi beberapa menit.

 


 

Referensi: 

menyusul di part “Rangkuman”

 



Previous: 🔗Part 0: Surabaya-Besuki 



Updated  on August


 


Reading Time:

Jumat, 28 Maret 2025

Catatan Perjalanan Pendakian Argopuro (part 0)
Maret 28, 2025 6 Comments

 

Akhir-akhir ini hujan turun hampir setiap hari. Hari-hari mendung kelabu begini bikin keingat bermacam memori terutama yang terjadi di musim hujan. Salah satu hal yang hampir selalu muncul di ingatan saya saat hujan turun deras tanpa henti begini adalah perjalanan pendakian ke Gunung Argopuro lewat jalur Baderan-Bermi.

 

Satu hal ikonik yang membuat pendakian  itu identik dengan musim hujan adalah: karena selama enam hari hiking itulah kami bertujuh selalu diguyur hujan. Kami melalui jalur Baderan-Bermi jadi memang jalannya panjang. Waktu itu juga akhir Januari, jadi emang lagi musim penghujan.

 

Kejadiannya memang udah bertahun-tahun lalu, tapi masih memorable. Selain karena ingatan digembleng hujan saban hari, pendakian ke Argopuro jadi salah satu perjalanan paling berkesan buat saya karena banyak ceritanya, baik personal maupun alamnya sendiri.

 

Jalur pendakian Argopuro via Baderan-Bermi adalah jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa. Total jarak yang ditempuh ada kali 60+ kilometer. Sebagai perbandingan, 60 km adalah jarak antara Surabaya North Quay (ujung paling utara kota yang udah berbatasan laut) sampai Pandaan, sebuah daerah di Kab. Pasuruan; artinya udah ngelewatin 3 kota (Surabaya-Sidoarjo-Pasuruan).

 

Sekarang bayangin jalan segitu jauh, dengan jalan yang kadang tanah/lumpur/batu dan kiri-kanan penuh semak dan pohon, dan jalurnya nggak datar-datar aja. Kadang naik, kadang turun, seringkali nanjak tajam. Masih memanggul tas carrier seberat 10-15 kilogram per orang. Oleh karena itulah waktu pendakiannya jadi lama. Mantap bukan 😄

 

Durasi pendakiannya lama, bisa sampai 5-6 hari. Mungkin bisa lebih cepat. Namun waktu itu kami jalan sesuai itinerary karena berbagai pertimbangan. Ini yang bikin memorable buat saya karena nggak pernah naik gunung selama ini, hahaha. Mana kena guyur tiap hari, lagi, wkwkwk. Saat itu, total perjalanan kami jadinya 7 hari = 6 hari hiking + 1 hari transpor umum.

 

Flora-fauna dan vegetasinya beragam. Perladangan, hutan rimbun, hutan pinus, sabana, hutan lumut, danau, sampai karang kapur berbatu ada semua. Dilewati semua. Kayaknya ini salah satu gunung dengan vegetasi paling beragam yang pernah saya daki (meski mendakinya belum banyak gunung, hehe). Di sini jugalah saya ngelihat paling banyak variasi bunga-bungaan dan buah (beri liar!). Di gunung ini jugalah saya paling gampang ketemu hewan liar dan ngelihat dengan lebih jelas. Nggak heran mengingat area ini emang statusnya dilindungi sebagai suaka margasatwa.

 

Sejarah Argopuro amat menarik dan masih bisa disaksikan. Sama seperti ekosistemnya, kisah lawas di gunung ini juga bervariasi; mulai dari zaman kolonial Belanda hingga masa kerajaan nusantara. Uniknya adalah beberapa reruntuhan bangunan berabad-abad lalu itu masih ada hingga kini; masih bisa dilihat dengan mata kepala sendiri, berdiri amat dekat dengan jalur pendakian meski telah diterpa ganasnya cuaca gunung dan dikikis masa ratusan tahun.

 

Nature and history in one place? Yes, please!

 



Anyway karena pendakiannya lama, maka catper (catatan perjalanan) ini akan dibagi jadi beberapa bagian. Soalnya kalau digabung satu postingan bakal panjaaang banget dan pasti pembaca (sekaligus yang nulis, wkwkwk) pusing.

 

Rencananya juga mau bikin satu tulisan yang ngerangkum tujuh hari pendakian ini dalam satu postingan pendek. Well let’s see later...

 

 

Link postingan catatan perjalanan pendakian Argopuro:

🔗 menyusul

  


[NB: beberapa hal yang berhubungan dengan sejarah dan  kebumian disitir dari referensi. Namun, bisa aja ada kekeliruan dalam tulisan ini karena saya keliru memahami. Mohon maaf bila ada ketidaktepatan isi, harap cross-check ke sumber yang lebih kredibel atau sumber primer]


[Disclaimer: karena pendakiannya udah bertahun-tahun lalu, kemungkinan besar ada info-info yang udah berubah seperti peraturan, biaya registrasi, dsb. Untuk info macam ini harap cek info terbaru atau laman resmi Dataran Tinggi Yang dan ikuti peraturan terkini]

 

 


Argopuro dan Dataran Tingginya

Gunung Argopuro sebenarnya bukan gunung tunggal, tapi merupakan pegunungan di sebuah dataran tinggi. Jadi gunungnya ada banyak, puncaknya banyak. Rantai pegunungan ini disebut sebagai ‘Dataran Tinggi Yang’.

 

Sebenarnya ada perbedaan versi nama datarannya: Yang, Hyang, atau Iyang?

Dulu saya pikir namanya ‘Hyang’ (= Yang Kuasa/Tuhan) karena Argopuro sendiri adalah istilah bahasa Jawa yang berarti ‘lokasi atau tempat peribadatan di gunung’ (argo = gunung). Namun setelah sampai di basecamp Baderan, di spanduk resmi tertulis ‘Dataran Tinggi Yang’. Sementara itu dalam catatan zaman kolonial Belanda ada berbagai versi: Jang, Hijang, Iyang (kemungkinan karena orang Belanda melafalkan 'j' sebagai 'y').

 

Baiklah, kita ikuti ejaan resmi dari BKSDA alias balai konservasi aja, yaitu Dataran Tinggi Yang alias Yang plateau.

 

Dataran Tinggi Yang terletak di Jawa Timur. Tepatnya di antara empat kota: Probolinggo, Situbondo, Jember, dan Bondowoso. Kalau ngelihat peta, Jawa Timur bentuknya seperti sepatu. Lihat bagian yang seperti penutup telapak kaki? Nah, Argopuro dan Dataran Tinggi Yang terletak di tengah bagian itu.




 

Kami menyebut daerah ini sebagai ‘Wilayah Tapal Kuda’ karena bentuknya yang seperti tapal kuda. Orang Belanda menyebutnya sebagai ‘De Oosthoek’ (oost = timur, hoek = pojok). Selain khas karena bentuknya, daerah ini juga khas karena meski berada di Jawa, bahasa penutur yang lebih umum digunakan oleh penduduk kota-kota ini adalah bahasa Madura.

 

Kalau dilihat di peta, sekilas antara Argopuro, G. Lemongan (di Lumajang), dan Kaldera Bromo kayak terletak sejajar segaris. Apa cuma kebetulan atau ada hubungannya sama proses pembentukan gunung-gunung ini? Entahlah.

 

Untuk mencapai titik start pendakian, tim kami harus menuju Desa Baderan dulu. Di desa di Kab. Situbondo inilah terletak basecamp pendakian sekaligus tempat lapor para pendaki sebelum mulai hiking.



🚌 Transportasi Umum 

Untuk mencapai Baderan dari Surabaya, pertama-tama kami harus naik bus dulu dari Terminal Bungurasih. Bus pertama yang kami tumpangi adalah bus jurusan Probolinggo (Rp18.000,00/orang). Setelah sampai di Terminal Probolinggo, kami oper ke bus yang lebih kecil untuk menuju Kec. Besuki di Kab. Situbondo (Rp12.000,00/orang).

 

Karena berangkat dari Surabaya sore hari plus ada beberapa hambatan karena kebanjiran, kami baru naik bus menjelang jam sembilan malam. Perjalanan sampai Besuki memakan waktu 4,5 jam sehingga kami sampai di Alun-Alun Besuki lewat jam satu malam.

 

Dini hari begitu, lanjut ke Baderannya gimana?

Nggak lanjut. Perjalanan kami sambung esok pagi. Malam itu kami habiskan dengan beristirahat di pendopo yang ukurannya amat besar. Tas-tas carrier kami jajar dekat tiang sedangkan kami bertujuh tidur bergantian; ada yang tidur dan ada yang bangun untuk jaga tas. Begitu bergantian sampai pagi datang.


Esok hari masih dilanjutkan dengan bagi tugas: ada yang cari sarapan, ada yang jagain tas di pendopo, dan ada yang cari kendaraan. Saya kebagian tugas cari sarapan.

 

Saat memesan pecel pinggir jalan, kami sempat terdiam nggak paham saat ibu penjual bertanya dengan bahasa Madura. Saya dan teman nggak bisa bahasa Madura.... Baru setelah ibu itu beralih ke bahasa Indonesia, kami jadi lebih paham (meski masih rada mikir karena logat dan pelafalannya kental sekali Maduranya).

 

Usai sarapan, teman-teman yang kebagian job-desc cari transport sudah dapat kendaraan. Sbeuah truk sayur berkenan mengantarkan kami sampai Baderan. Rupanya awak truk juga berniat pergi ke Baderan untuk ngangkut hasil bumi dari sana.

 

Tim kami nggak sendirian menuju Baderan. Di pendopo tadi, kami bertemu rombongan lain yang akan naik ke Argopuro di hari yang sama. Ya udah gabunglah kami mencarter truk bareng. Lumayan urunan transpornya jadi lebih ringan plus nambah teman di perjalanan.

 

Sebab seringkali yang bikin perjalanan jadi fun, asyik, menarik—atau segudang kata menyenangkan lainnya—adalah karena orang-orang yang berjalan bersama.

 

 

Personal Story

Kalau boleh jujur, salah satu dua alasan saya mau naik Gunung Argopuro kali ini adalah karena kesiapan dan timnya.

 

Beberapa minggu sebelumnya, saya dihubungi teman yang dulu sama-sama berkegiatan di ekskul Pencinta Alam (PA). Dia ngajak hiking ke Argopuro. Di tanggal yang berdekatan, saya akan ada acara ke Jawa Barat selama kurang lebih seminggu. Namun... ajakan naik ke Argopuro ini kan jarang-jarang karena (saat itu) nggak banyak orang yang minat ke sana.

 

Bimbang. Saya mulai berhitung.

 

Bertanya pada diri sendiri, ‘Bakal kecapekan, nggak? Akan kuat nggak jalan berhari-hari, mengingat jalur pendakiannya nggak main-main?’ Terpanjang se-Jawa pula. Semisal nggak kuat di tengah jalan, mau putar balik pun jauh.

 

Setelah menimbang-nimbang, kayaknya masih kuat. Setelah balik dari Jabar toh masih ada beberapa hari buat istirahat dan siap-siap. Saat itu kondisi fisik juga sedang fit-fit-nya. Jadi diputuskan... bismillah budhal!

 

Bicara soal kesiapan melemparkan memori saya pada beberapa tahun sebelumnya. Saat itu saya dan beberapa teman lainnya disiapkan berangkat ke Argopuro. Namun akhirnya pendakian itu dialihkan ke gunung lain karena saat itu kami belum siap fisik-mental menghadapi panjang dan liarnya trek Argopuro. Personally, waktu itu saya pun nggak sreg di hati dan mendukung untuk ganti gunung; nggak mau ke Argopuro.

 

Waktu berlalu. Jam terbang kami bertambah. Ketika ajakan ke Argopuro datang lagi, saya menyanggupi.

 

Januari penuh kelana. Setelah seminggu melanglang-buana ke Jabar dan Jakarta, pulang dan istirahat sambil persiapan, beberapa hari kemudian saya langsung gas ke Argopuro. Kalau dipikir-pikir, kok ya bisa (dan kuat). Kalau sekarang kayaknya nggak sanggup; kelar dari Jabar pasti udah tepar, hahaha.

 

Rasa-rasanya nggak mungkin pula saya menyelesaikan pendakian kali itu kalau bukan karena perlindungan-Nya. Juga teamwork bareng teman-teman yang membersamai sepanjang kaki melangkah. Dear Lila, Ambar, Zaka, Candra, Adit, dan Musa, terima kasih banyak-banyak! Thanks for the adventure and the warm welcome and laugh and fun through it all *terharu

 

Sebagian teman di tim kali ini emang orang-orang yang udah saya kenal lama; dulu kami sama-sama di PA dan beberapa kali hiking bareng. Jadi sedikit-banyak udah saling tahulah ritme jalan dan style hiking-nya. Jaga-jaga kalau ada yang sakit/nyerah/dll di tengah jalan, kami bisa saling handle karena udah tahu pribadi masing-masing dan bisa saling mengandalkan.

 

Sebagian teman lainnya saya belum kenal, tapi mereka adalah sobat kental teman saya. I trust her, so yes, I trust her choice of team (and their capabilities). Mereka punya background sebagai anggota Mapala di kampusnya.

 

So yes, I believe in us.

 

Sebagai gunung dengan jalur pendakian terpanjang di Jawa, Argopuro nggak main-main medannya. Selain faktor jarak, alamnya juga lebih liar daripada gunung-gunung lain di Jawa apalagi yang rame didaki. Naik Argopuro nggak hanya ‘sekadar’ jalan, tapi juga mikirin manajemen risiko dan logistik; baik sebelum berangkat, saat udah berangkat, dan ketika udah di lokasi. Butuh kekuatan diri sendiri dan tim yang solid dan ready di kondisi nggak terduga.

 

Seperti beberapa kejadian yang menerpa langsung di hari pertama pendakian dimulai.



Sneak peek part 1: kondisi jalur pendakian yang hujan dan berkabut, difoto pakai kamera ponsel yang berembun karena dingin

 


> Next:

  Catatan perjalanan pendakian Argopuro part 1: Basecamp - Mata Air 1

 

Reading Time: